Pages

Monday, June 22, 2015

Voilà la France

Lona Hutapea Tanasale
208 Halaman
B first, April 2015
Rp. 44.000,-

And they lived happily ever after …

Kisah cinta yang berakhir bahagia selalu menjadi mimpi setiap orang. Namun siapa sangka, jalinan cinta antara Putri Raja dan Kesatria Pemberani di istana negeri dongeng, terinspirasi dari kemegahan le Mont-Saint-Michel, sebuah kastel di Prancis yang dinobatkan sebagai World Heritage Site.

Prancis dan Paris memang menyimpan sisi romantis di setiap sudutnya. Namun tak hanya itu, kota tercantik itu juga menjadi saksi dari berbagai peristiwa bersejarah dunia.

Melalui buku ini, Anda tak hanya disuguhi Menara Eiffel yang sudah sangat terkenal. Anda akan diajak mengunjungi kafe-restoran tertua di dunia, menikmati segarnya Fountain Wallace-pelepas dahaga para pejalan kaki yang berusia 1,5 abad-menikmati serunya belanja yang tak melulu di branded boutiques, serta merasakan keindahan sudut-sudut Shakespeare and Company, toko buku yang kerap disambangi Hemingway dan para penulis ternama dunia.
Makan, inilah Paris .. si kota cahaya.

"Ingin merasakan Perancis yang tidak mainstream? Buku ini wajib dibaca. Dalam kunjungan saya ke Paris, saya menjadikan catatan-catatan mbak Lona sebagai referensi perjalanan."
- Junanto Herdiawan, penulis Shocking Japan, Shocking Korea, dan Flying Traveler

"Ada jantung Paris di salah satu bilik hati Lona, wajar kalau ia menceritakan denyut nadi kota ini secara fasih dan detail."
- Pepih Nugraha, pendiri Kompasiana

Aku menemukan dan langsung tertarik dengan Voilà la France untuk alasan yang sangat jelas, menara Eiffel. Sinopsisnya sempat membuatku berpikir ini adalah novel ber-setting di Paris. Pas tau ini adalah buku traveling, aku semakin excited. Aku sudah melirik isinya saat berkunjung di Gramedia Merdeka. Cuma sekilas sih tapi cukup yakin untuk membuatku membelinya di acara Midnight Sale Rumah Buku. Let’s review it now :D

"Bagi warga Prancis, liburan adalah sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi. Prinsip mereka adalah ‘bekerja untuk berlibur’." – halaman 43

Voilà la France berisi kumpulan cerita nyata penulis tentang kehidupan warga Prancis terutama Paris dalam masa tugas sang suami di KBRI Paris. 35 cerita yang ada dibagi menjadi lima bagian, sesuai dengan topiknya. Yang pertama ada Selamat Makan! ‘Bon Appétit!’ yang membahas kebiasaan makan dari jenis menu, nilai bintang 3 untuk restoran, sampai kue tradisional berisi kejutan. Lalu adalah Selamat Jalan-Jalan! ‘Bonnes Vacances’ yang membahas kegiatan berlibur, terutama saat musim panas, dan tempat-tempat wisata menarik selain menara Eiffel. Selanjutnya di Paris, si Kota Cahaya ‘La Ville de la Lumière’ membahas gaya hidup yang tidak melulu penuh barang bermerk. Kemudian di Peraturan & Kebijakan (Unik) ‘Règles Bizarres’ membahas peraturan tak biasa yang masih dan sudah tidak berlaku lagi. Dan yang terakhir, Paris yang Kurindukan ‘Paris Me Manque (I Miss Paris)’ membahas beberapa pengalaman pribadi penulis yang menyangkut latar belakangnya sebagai orang ‘baru’ di Paris. Di beberapa cerita diakhiri dengan dua-tiga tip sederhana seperti berbelanja oleh-oleh lebih murah, pilihan transportasi, waspada copet, dan lainnya.

"Jangan berharap mereka akan tersenyum ramah dan mempersilakan untuk sekedar melihat-lihat. Apalagi kalau kita main nyelonong masuk tanpa mengucapkan ‘bonjour’ sama sekali." – halaman 99

Sesuai dengan dugaanku, Voilà la France memang berbeda dari buku-buku tentang Paris yang sudah aku baca. Kebanyakan dari buku-buku sebelumnya lebih condong ke kegiatan traveling, sedangkan di buku ini fokus pada kehidupan warga Prancis sebagai .. ya warga Prancis. Dengan gaya tulisan yang enak dibaca, hal-hal menarik dan tak biasa tentang kehidupan di Prancis, terutama Paris, jadi menghibur dan kaya infomasi berharga. Foto-foto yang disertakan sangat membantuku membayangkan bagaimana tempat-tempat dan suasana sesuai ceritanya. Banyak sekali hal baru yang kini aku ketahui. Banyak juga penjelasan yang melegakanku, seperti larangan berkerudung. Peraturan itu sempet aku kecewa dan ragu-ragu menempatkan Paris sebagai tempat impianku. Tapi setelah dijelaskan, ternyata larangan itu tidak berlaku pada gaya kerudung yang kukenakan. Lagian, ternyata di sana penduduk muslimnya adalah terbanyak di Eropa. Makin cinta deh! :p

Banyak cerita yang menjadi favoritku. Di bagian pertama, Selamat Makan! ‘Bon Appétit!’, aku suka sekali dengan hubungan erat antara sastra dan kafe yang dijelaskan di ‘Kafe Aroma Seni dan Sastra’ dan tradisi unik yang berhubungan dengan kue di ‘Galette des Rois’. Di Selamat Jalan-Jalan! ‘Bonnes Vacances’, aku kini tahu masih banyak kegiatan dan tempat wisata menarik selain naik menara Eiffel seperti mengunjungi kastel bersejarah yang dijelaskan di ‘The Real Castle’ dan berkunjung ke ‘Toko Buku Istimewa’ yang tak lain adalah Shakespeare and Company. Di Paris, si Kota Cahaya ‘La Ville de la Lumière’, aku suka dengan cerita ‘Paris Syndrome’ yang seringkali menyerang wisatawan asal Jepang. Gambaran sempurna Paris dan bentrokan budaya yang mereka alami kadang membuat mereka sampai depresi. Di Peraturan & Kebijakan (Unik) ‘Règles Bizarres’, selain cerita tentang berkerudungan di ‘Terkecoh dengan Laïcité’, cerita ‘Dilarang Rnovasi Sembarangan’ membuatku kagum dengan ketegasan hukum di sana dan wajar saja kehidupan mereka mengundang banyak wisatawan. Dan di Paris yang Kurindukan ‘Paris Me Manque (I Miss Paris)’, aku secara tidak langsung merasakan naik menara Eiffel di ‘Ke Puncak La Tour Eiffel’. Bener kata penulis, sebagai penduduk lokal, kita jarang merasa terdesak untuk mengunjungi tempat wisata setempat. Aku, sebagai orang Bandung, jarang tuh nongkrong di kafe di Dago, berbelanja ke factory outlet di jalan Riau atau main ke taman tematik seperti Taman Film, Taman Jomblo dan Alun-Alun. Seringnya lewat doang hahaha. Tapi dalam hati aku juga pengen main dan mungkin semua itu akan aku coba satu per satu.




Di akhir beberapa cerita, ada tip-tip singkat, sederhana namun sangat berguna untuk calon wisatawan. Sayangnya tip itu seringkali hanya malah tidak nyambung dengan cerita sebelumnya atau rangkuman dari cerita di bab sebelumnya. Tidak hanya itu, banyak hal yang diulang seperti fasilitas Vélib (sepeda sewaan). Sebenarnya pengulangan itu berguna untuk menjelaskan satu cerita yang kebetulan butuh penjelasan yang serupa. Tapi aku membaca cerita-cerita itu cukup cepat dan masih ingat jelas informasi itu. Jadinya pengulangan itu agak menganggu. Hal lain yang kurang enak menurutku adalah cerita yang berakhir begitu saja, seperti cerita ‘Presiden ‘Normal’’. Aku menginginkan cerita yang lebih detail, eh taunya berakhir begitu saja. Aku juga sebenarnya berharap foto hitam putihnya di cetak di kertas yang agak terang biar terlihat lebih jelas. Sayangnya kertas yang digunakan buram dan terkesan agak kucel.  Pilihan lainnya mungkin ada beberapa foto yang berwarna. Memang harganya nanti akan sedikit lebih mahal. Tapi dengan isinya yang bagus, cukup pantas, kan.


At last, cerita-cerita dalam Voilà la France membawaku menikmati Paris sebagai warga ‘biasa’, bukan traveler. Hal-hal unik, foto-foto yang menarik dan didukung gaya penulisan yang mengalir membuatku lebih tahu bagaimana kehidupan dan kebiasaan di sana. Semoga ada buku sekuelnya, karena aku yakin masih banyak hal yang bisa diceritakan penulis. Recommended! :D

No comments:

Post a Comment

Thanks for leave your comment :D