Tia Widiana
248 Halaman
PT. Gramedia Pustaka Utama, September 2015
Rp. 57.000,-
Sebagai penulis novel thriller,
orang kerap menyangka isi kepala Inge hanya seputar urusan pembunuhan. Terlebih
lagi sikapnya yang pendiam dan lebih banyak mengurung diri di kamar.
Namun di mata Alan, Inge semanis penulis romance. Inge teman yang menyenangkan dalam segala
hal. Alan dengan mudah dapat membayangkan Inge menjadi perempuan yang ingin ia
nikahi, bukan Ruby… perempuan yang selama ini berstatus kekasih Alan.
Alan mewakili segala yang Inge inginkan dalam hidup. Kecuali satu hal…
Inge tidak ingin mengulangi hal yang membuat hatinya terluka bertahun-tahun.
Inge tidak mau Alan meninggalkan Ruby demi bersama dirinya.
Sebagai penulis, Inge selalu tahu bagaimana cerita yang ditulisnya akan
berakhir. Tapi untuk kali ini, Inge tidak tahu bagaimana akhir kisahnya dengan
Alan….
Tidak butuh alasan banyak untuk
membeli Sincerely Yours. Karya debut
penulis, Mahogany Hills, membuatku menangis tak henti. Semua hal di dalamnya
aku suka. Aku jadi penasaran dengan karya keduanya ini. Now, let’s review it! :D
"Bagaimanapun,
sulit menyayangi orang lain kalau kau masih membenci diri sendiri." –
halaman 115
Inge membantu tetangganya menjaga Alan
yang tidak enak badan karena salah minum obat. Inge membiarkan Alan menginap di
rumahnya dan memberikan pakaian ganti. Pemilik jasa pembuatan taman dan perawatan
rumah itu dikenal baik dan sopan, tetapi Inge baru tahu Alan juga sangat
menarik. Setelah kejadian itu, Inge dan Alan sering menghabiskan waktu bersama,
untuk makan atau sekedar mengobrol. Profesi Inge sebagai penulis thriller membuat Alan mulai membaca
novel. Kehadiran Alan juga membuat Inge tidak merasa sendirian.
Linda, ibu Inge, yang meninggalkan
Inge empat belas tahun yang lalu, tiba-tiba datang bersama suami barunya, Ilham.
Alan menyaksikan reuni canggung ibu dan anak itu. Inge tidak pernah cerita
karena dia merasa dibuang oleh ibunya. Alan juga sebenarnya punya rahasia, dia sudah
punya pacar bernama Ruby. Mereka sudah bersama selama delapan tahun. Di
saat-saat kebersamaan mereka, Alan kerap menerima telepon dari Ruby secara
pribadi. Inge tidak bertanya karena tidak mau mencampuri urusan Alan. Saat tahu
yang sebenarnya, Inge marah. Dia mulai melihat kesamaan dirinya dengan ibunya
yang dia benci.
"Itu
sebabnya aku tertawa saat mendengar kamu bertanya apakah masih ada harapan
untuk hubungan kami. Yang dibutuhkan bukan sekadar harapan, tapi keajaiban."
– halaman 215
Semua yang ada di Sincerely Yours ini bisa dibilang serba
sederhana. Dari gaya penulisannya, segala hal tentang kedua tokohnya seperti
kebiasaan dan pekerjaan mereka dan konflik utamanya. Tapi efek baper (bawa
perasaan, umumnya milik pribadi hehehe) yang dihasilkan sungguh sangat
dahsyat. Butuh waktu lama untuk bener-bener niatin diri untuk menulis review ini. Aku kena book hangover yang cukup parah dan bisa
kambuh kalau melihat gambar cover novelnya
atau ingat nama tokoh utamanya. Review-review lain jadi tertunda karena yang
ini belum ditulis juga. Ah, mari akhiri penderitaan ini dengan jujur saja
dengan yang kurasakan ketika ceritanya berakhir.
Seperti yang kutulis tadi, cerita
Inge dan Alan ini sederhana. Mereka cocok satu sama lain tapi bertemu di waktu
yang kurang tepat. Dilatarbelakangi masa lalu Inge yang pahit, proses mereka
untuk membereskan masalah jadi sedikit rumit. Setelah menghabiskan waktu
bersama begitu sering dan punya kegiatan rutin, sangat menyakitkan melihat
mereka bersikap seakan-akan tidak ada apa-apa. Sebenarnya kalau mau cepet beres
dan jelas, salah satu pihak harus berkepala dingin. Tapi ego lebih menguasai
keadaan. Baper banget lah. Lebih baper lagi kalau mengingat kehidupan
sehari-hari mereka yang kurasa sangat dekat dengan kehidupan para pembaca. Tidak
semua pembaca adalah penulis yang sudah punya karya yang sudah diterbitkan atau
memiliki usaha sendiri, sih. Yang kumaksud adalah mereka punya profesi yang ‘wajar’
dan tidak terasa terlalu fiktif. Sangat berbeda dengan cerita romance yang kubaca sebelum-sebelumnya
yang punya tokoh utama super kaya, memimpin perusahaan top, dan dikelilingi
barang mewah. Serba berkelas itu memang membuat ceritanya penuh kejutan dan aku
suka. Hanya saja, semuanya sangat berbeda dengan kehidupan sehari-hariku. Setelah
cerita berakhir, perpindahan dari dunia fiksi ke nyata sangat terasa. Jadi begitu
cerita selesai, terasa kekosongan (untuk hal-hal yang tidak kumiliki). Sedangkan
di sini, Inge dan Alan menjalani segala hal yang ‘normal’. Aku merasa begitu
dekat dengan mereka. Baper pun tak bisa dihindari.
Satu hal yang beneran bikin baper
adalah cara mereka mengarungi pemasalahan yang memisahkan mereka. Inge
melakukan apa yang sebagian besar perempuan lakukan, menghindar walau sadar masih
ada rasa sayang. Alan, seperti laki-laki baik yang terlalu baik, bingung
sendiri sampai tak sadar mengundang orang baru hadir dan hampir melakukan kesalahan
yang serupa. Kenapa selalu seperti itu? Alan, aku tahu kamu juga terluka tapi
biasakah kamu menegaskan ke ‘calon’ lain kalau kamu unavailable? Jangan membuat salah
paham yang mengelikan, terlebih lagi membiarkannya terlalu lama. Geregetaaaaan! Kamu
itu beneran terlalu baik, ya.
Ngomong-ngomong soal ‘terlalu
baik’, dulu aku bingung kalau ada seseorang yang diputuskan dengan alasan seperti
itu. Alasan yang tidak logis. Kita semua nyari yang terbaik, bukan? Memangnya
ada yang nyari pasangan yang kasar dan posesif? Tapi Alan dan segala
kebaikannya di sini membuatku melihat (dan merasakan secara tidak langsung)
terlalu baik itu juga tidak benar-benar baik dan tetap saja bisa mengundang
permasalahan. Alan ini memang pasangan idaman, tapi aku ingin seseorang yang cuma
baik sama aku. Kalau sama orang lain (terutama untuk perempuan yang lebih segalanya
dari aku), jangan terlalu baik atau agak pilih-pilih dong hahaha. Egois dan
terkesan nggak pede, ya. Tapi sepertinya itu yang membuat ‘terlalu baik’ menjadi
alasan putus yang laku. Orang yang memutuskan mungkin tidak merasa benar-benar
diistimewakan dan lama-lama bosan dengan sikap yang cenderung tidak memunculkan
kejutan itu. Jadi untuk zaman sekarang, semua tidak harus dikelompokkan hanya
hitam putih. Harus ada abu-abu juga. Jika dibutuhkan, seseorang yang baik pun
harus bisa tegas. Semua itu agar tidak ada masalah yang berlarut-larut.
Udah, ah, bapernya. Sekarang bahas
bagian-bagian lain aja.
Mari membahas profesi Inge
sebagai penulis thriller. Tokoh utama yang berprofesi penulis sering kali
kuanggap klise atau terlalu dekat dengan penulisnya. Tapi di sini agak berbeda.
Sebelum masuk ke cerita, ada cuplikan dari novel Inge. Menegangkan dengan
misteri yang tak tertebak. Ketika aku sudah tersedot, cerita itu berakhir lalu
masuklah ke cerita yang sebenarnya. Rasanya aneh sekali, pindah dari cerita thriller ke romance begitu cepat. Mood bacaku agak terganggu, mendadak pengen
baca thriller hehehe. Setelah menyesuai diri dan begitu cepat jatuh cinta
dengan kedua tokoh dan dunia mereka, kegiatan membaca pun mulus lagi. Tapi rasa
penasaran pada misteri itu masih ada. Untungnya jawaban itu muncul saat Inge
berusaha menyelesaikan konflik pribadinya. Memuaskan sekaligus mengejutkan. Aku
jadi pengen baca novel lengkapnya. Mbak Tia, tolong nulis cerita thriller
jugaaa. Selain potongan cerita itu, banyak referensi novel populer. Judul dan
penulis novel yang dicantumkan cukup up
to date, apalagi kalau membandingkan jadwal terbit novel-novel itu. Beruntung
aku bacanya cepat, ya.
Walaupun super baper, banyak hal
yang kurang kusuka dari novel ini. Dari segi cerita, aku berharap kisah Inge
dan Alan tidak berakhir seperti itu. Setelah menghabiskan puluhan halaman penuh
kegalauan, penyelesaian masalah ke cerita benar-benar selesai terlalu cepat. Jadi,
seperti sudah makan, bayar, lalu pulang. Tidak ada sedikit penjelasan tentang
bagaimana kehidupan mereka setelahnya, apa yang berubah dan tetap sama. Dari
segi lain, mungkin judulnya. Entah lah, kurasa ada judul lain yang lebih cocok
menggambarkan kisah cinta ini. Dan yang terakhir adalah ekspetasiku yang
terlalu tinggi. Aku sangat suka (dan baper) juga di novel debut penulis,
Mahagony Hills. Aku mengharapkan hal yang tak jauh dari itu di novel keduanya
ini. Ternyata cerita yang ini lebih sederhana dan singkat. Namun harus kuakui
tidak banyak cerita yang bisa membuatku super baper ini. So, good job!
At last, kesederhanaan dalam Sincerely
Yours membuat ceritanya sangat dekat dengan pembaca. Kedua tokoh utamanya
memang punya pekerjaan yang tidak begitu wah, tapi chemistry mereka sangat ampuh memicu virus kebaperan. Hanya saja
aku berharap penulis memberikan cerita dengan konflik yang lebih kompleks.
Novel berikutnya mungkin? :)
Kayaknya ini novel mellow ya Mbak?
ReplyDeleteTapi, kok kelihatannya seru, ya... hahaha... aduh, galau nih.
Pada dasarnya, aku suka sama tulisan Tia Widiana pas baca novel pertamanya itu.
Tapi, kisahnya kok kerasa ngenes amat.
Kapan2 kalo ada diskonan novel, coba mau beli novel ini, ah