Pages

Saturday, October 17, 2015

The Giver – Sang Pemberi

Lois Lowry
232 Halaman
PT. Gramedia Pustaka Utama, Agustus 2014
Rp. 48.000,-

Dunia Jonas adalah dunia yang sempurna. Semuanya terkendali dan teratur. Tak ada perang, ketakutan, atau kesakitan. Juga tak ada yang namanya pilihan.

 Semua orang memiliki peran di Komunitas. Saat Jonas menjadi Dua Belas, dia terpilih menerima latihan khusus dari Sang Pemberi. Selama ini Sang Pemberi memegang ingatan akan rasa sakit sejati dan kenikmatan hidup. Sekarang saatnya bagi Jonas untuk menerima kebenaran. Dan tak ada jalan untuk kembali.

Saat itu menjelang Desember, dan Jonas mulai merasa takut....

Kalau tidak ada film adaptasinya, The Giver – Sang Pemberi tidak akan pernah menarik perhatianku. Aku menonton filmnya tepat setahun yang lalu dan secara keseluruhan filmnya di bawah ekspetasi. Sempat menyurutkan niatku untuk membaca bukunya. Namun, ada sedikit keyakinan kalau bukunya lebih baik. Aku juga penasaran kenapa buku ini dijadikan bacaan wajib anak sekolah di Amerika Serikat. Now, let’s review it! :D

"Aku tahu tidak ada yang harus dicemaskan dan setiap orang dewasa sudah melaluinya. Aku tahu kau sudah melaluinya, Ayah, dan kau juga, Ibu. Tapi Upacaranya yang kukhawatirkan. Sebentar lagi Desember." – halaman 21

Kedatangan bulan Desember membuat Jonas merasa takut. Dia memikirkan Upacara Dua Belas dan Penugasan apa yang akan dia dapat di Komunitas. Dia mengungkapkannya di ritual berbagi perasaan di malam hari kepada Ayah, Ibu, dan adik perempuannya, Lily. Ayah dan Ibu, yang ditugaskan di bagian Pengasuh dan Hukum dan Peradilan, menenangkannya dengan penjelasan Para Tetua pasti menentukan tugas yang pas untuk Jonas. Sementara itu Ayah menceritakan tentang anakbaru yang tidak terlalu sehat. Ayah khawatir anakbaru itu akan diberi Pelepasan. Dia lalu meminta izin ke komite untuk membawa anakbaru ke rumah dan mengasuhnya lebih intens. Jika bertahan, anakbaru itu akan diberi nama Gabriel. Mata pucat Gabriel mengingatkan Jonas akan dirinya sendiri.

Upacara Dua Belas yang ditunggu pun tiba. Tapi tidak seperti yang Jonas bayangkan. Teman-temannya, Asher sebagai Asisten Direktur Rekreasi dan Fiona menjadi Pengurus Lansia, sedangkan Jonas mendapatkan Penugasan istimewa, Penerima Ingatan. Dia akan dilatih oleh Sang Pemberi tentang ingatan masa lalu dan rasa sakit yang sesungguhnya. Peraturan yang dia terima membuatnya tidak nyaman karena sebagian besar melanggar nilai-nilai yang diajarkan kepadanya dari kecil seperti diperbolehkan berbohong. Pelatihannya tidak hanya memberi Jonas sisi menyenangkan dalam hidup seperti macam-macam warna, tapi juga hal-hal yang tak pernah dia ketahui seperti ketakutan dan kesedihan.

"Jonas menyadari sekarang dia sering marah: kemarahan irasional pada teman-teman kelompoknya, lantaran mereka puas dengan kehidupan mereka yang sama sekali tidak bergelora seperti kehidupannya kini. Dan dia marah kepada diri sendiri karena tidak bisa mengubahnya untuk mereka." – halaman 122

Untuk masalah keseruan, The Giver – Sang Pemberi mungkin kalah jauh dengan novel young adult dystopian lainnya. Tapi kalau membicarakan efeknya, kisah Jonas punya berpengaruh yang sangat besar. Pada awalnya, cerita bergulir sangat mirip dengan pengalamanku menonton film adaptasinya. Ada beberapa perbedaan pada hal-hal kecil tapi itu malah membuatku lebih awas. Aku jadi lebih memperhatikan reaksi Jonas dan lebih paham akan rasa frustrasinya kepada kehidupan Komunitas yang terlalu aman. Begitu banyak yang bisa mereka lakukan dalam menjalani hidup, tapi mereka ‘terpaksa’ main di jalur ‘lurus’. Tidak rasa rasa sakit, baik fisik maupun mental, itu yang  ditujunya. Tapi nyatanya, segala kenyamanan itu tetap memiliki resiko dan menghasilkan sesuatu yang lebih buruk. Contohnya Upacara Pelepasan. Kalau tahu arti dari upacara itu, aku yakin tidak ada yang merayakan secara berlebihan, apalagi melakukannya dengan senang hati. Memang banyak yang terjaga, tapi lebih banyak yang hilang sia-sia.

Ada semacam koneksi yang terjalin lantaran aku merasa pengalaman hidupku tidak jauh berbeda. Rasa nyaman selalu menjadi hal yang kuutamakan dalam keseharian. Aku tidak pernah memikirkan kesempatan-kesempatan berharga yang terbuang selama ini. Pengalamanku sederhana saja, sepasang sepatu wedges cantik yang sudah dipersiapkan malam sebelumnya, bisa batal dipakai di pagi hari karena aku takut tidak nyaman melangkah di jalanan yang kurang halus. Ada resiko kepeleset, terpaksa tidak berjalan dalam garis lurus, dan ancaman lain untuk kenyamanan hariku. Apa yang hilang? Kalau saja aku mau mengambil resiko dan terus mencoba berjalan di berbagai medan, aku mungkin sudah berhenti iri kepada teman-teman yang ‘jago’ pake heels dan uang yang kukeluarkan untuk membeli sepatu itu tidak percuma. Di sini aku beneran paham arti ungkapan ‘no pain, no gain’. Betul-betul ada sesuai yang dikorbankan untuk mencapai tujuan kita.

Pesan penting lain yang kudapatkan dari pelatihan Jonas sebagai Penerima Ingatan adalah lebih menghargai hal-hal yang dianggap sepele, seperti warna saja. Kalau aku mungkin sudah bosan melihat koleksi bukuku tiap hari. Lalu bagaimana dengan orang lain yang tidak punya cukup uang untuk membeli buku atau belum bisa membaca sama sekali? Gila ya kalau dipikir-pikir. Namun, kehidupan tidak berhenti di sana. Seperti perjuangan Jonas, jadilah berani yang keluar dari zona nyaman dengan mencari tahu dan mencoba sesuatu yang baru. Terdengarnya biasa saja, tapi kesederhanaan ceritanya benar-benar menggerakanku. Orang dewasa saja bisa begitu tersentuh, anak-anak umur 12 tahun apalagi. Kebayang mereka pasti kaget saat tahu masih banyak kejutan di luar perlindungan orang tuanya. Mereka juga bisa saja ketakutan. Pantas saja selain pujian dan penghargaan, buku ini juga mendapatkan kritikan pedas.

Selain kesan kuat yang kudapat dari ceritanya, aku senang dengan diksi yang digunakan Jonas dan rang-orang Komunitas. Bahasa juga jadi salah satu yang diatur sedemikian rupa. Ada kata yang dihilangkan. Itu mendorong mereka menjadi kata lain yang sepadan. Saat diterjemahkan ke bahasa Indonesia, ada tantangan tersendiri. Kata-kata yang asing buatku muncul dan memperkaya reviewku yang selama ini berputar di kata ‘menarik’. Ya, aku juga sadar ;p. Lalu di awal dan akhir bagian, ada pengantar dari penulis. Pidato penulis saat menerima penghargaan Newbery, di simpan di akhir, sekali lagi mengubah pandanganku kepada cerita yang dulu aku anggap mengecewakan. Aku juga kagum dengan pengalaman-pengalaman pribadinya yang kini hadir dalam buku.

Book vs Movie Adaptation

Selama pengalamanku membandingkan buku dan film, The Giver adalah film adaptasi yang paling setia dengan cerita aslinya. Memang sih banyak perbedaan yang signifikan, seperti umur Jonas yang 16 padahal harusnya 12, porsi tokoh sampingan yang lebih banyak (Taylor Swift as Rosemary!), dan ending- yang tidak terlalu menggantung. Lalu kenapa aku baru tergerak setelah baca bukunya? Sepertinya faktornya adalah film itu sendiri. Aku terlalu fokus pada visualnya sehingga tidak sempat memahami idenya. Sedangkan saat membaca buku, aku membuat visual sendiri yang pastinya lebih lekat dengan kehidupan pribadi. Jadi, kalau kamu kecewa dengan satu film adaptasi, lebih baik tidak langsung menuduh cerita di bukunya jelek juga ya :)

At last, di balik kesederhaan ceritanya, The Giver – Sang Pemberi memberikan pesan dan kesan yang sangat kuat tentang kehidupan. Segala hal yang kita anggap aman, mungkin saja mengandung hal yang tidak baik dan menghambat kemajuan diri sendiri. Sesuatu yang terlalu sempurna malah sebenarnya tidak sempurna. Teruslah memperbesar zona nyamanmu. Recommended! :D

1 comment:

  1. "Segala hal yang kita anggap aman, mungkin saja mengandung hal yang tidak baik dan menghambat kemajuan diri sendiri. Sesuatu yang terlalu sempurna malah sebenarnya tidak sempurna." Nice statement, kak! Btw kakak sudah baca A List of Cages yang versi bahasa Indonesia?

    ReplyDelete

Thanks for leave your comment :D