Pages

Friday, August 5, 2016

We Were Liars – Para Pembohong

E. Lockhart
Penerjemah: Nina Ardiana
Desain Sampul: Martin Dima
296 Halaman
Gramedia Pustaka Utama, April 2016
Rp. 68.000,-

Keluarga yang menawan dan disegani.
Pulau pribadi.
Gadis cerdas yang risau; pemuda politis yang penuh semangat.
Empat sahabat—Para Pembohong—dengan pertemanan yang kemudian menjadi destruktif.
Kecelakaan. Rahasia.
Kebohongan demi kebohongan.
Cinta sejati.
Kebenaran.

Para Pembohong merupakan novel suspense modern karya E. Lockhart, finalis National Book Award dan penerima Printz Award. Bacalah.

Dan jika ada yang bertanya bagaimana akhir cerita ini, JANGAN BERITAHUKAN.

We Were Liars – Para Pembohong adalah buku bacaan Quirky Reads di bulan Juli. Di bulan-bulan sebelumnya, aku tidak pernah ikutan karena sibuk dengan satu dan lain hal. Tapi karena bulan Agustus ini ulang tahun pertama QR, aku mengusahakan diri untuk ikut baca dan berdiskusi seperti seharusnya. Novel ini cukup populer di Goodreads. Banyak yang suka karena twist-nya, tapi tidak sedikit yang merasa kecewa karena .. aku nggak tau karena waktu itu aku berusaha menghindari spoiler. Nah, karena aku sudah baca, apa tanggapanku? Let’s review it now! :D

"Aku suka memelintir arti. Kau mengerti?" – halaman 14

Cadence Sinclair Eastman adalah cucu pertama keluarga Sinclair. Keluarga terpandang itu selalu melewatkan musim panas di pulau pribadi, Beechwood, di lepas pantai Massachussets. Cadence dekat dan sering bermain bersama sepupu-sepupunya, Mirren dan Johnny. Di musim panas kedelapan, Gat datang dan mereka mulai dipanggil sebagai Para Pembohong.

Di musim panas kelima belas, Cadence mengalami kecelakaan misterius. Dia menderita migrain parah yang tidak jelas penyebabnya. Rasa sakit itu menghalanginya mengingat apa yang terjadi di hari kecelakaan. Ibu atau keluarga lainnya juga tidak memberikan penjelasan yang cukup. Di musim panas berikutnya, Cadence kembali ke Beechwood dan mencoba menggali ingatannya di sana, terutama tentang Gat yang seolah menghindarinya.


"Aku berbaring dan menunggu, dan mengingatkan diri berulang-ulang bahwa rasa sakitnya tidak abadi. Bahwa akan ada hari esok dan hari esoknya lagi." – halaman 175

Dengan ekspetasi yang lumayan tinggi dan dijanjikan sebuah ‘twist’, We Were Liars – Para Pembohong sebenarnya mengecewakan untukku. Para pembohong ternyata tidak senakal yang kuperkirakan. Aku semula beranggapan mereka dipanggil tersebut karena perilaku mereka yang ekstrim, apalagi mereka berasal dari keluarga yang sangat sejahtera. Yang lebih cocok diberi panggilan seperti itu mungkin orangtua mereka, Harris Sinclair dan Tipper Taft dan ketiga anak perempuannya, Carrie, Bess, dan Penny. Mereka hidup mewah berkat bisnis yang terlalu rumit untuk dimengerti oleh Cadence, yang membuat pembaca juga tidak tahu pasti bagaimana mereka bisa punya pulau pribadi. Mereka sempurna, tapi ternyata tidak. Banyak konflik internal yang menunjukan betapa ‘sakit’-nya keluarga mereka. Dongeng-dongeng buatan Cadence yang seperti refleksi konflik tersebut, secara tidak langsung menunjukan anggota keluarga melakukan sesuatu yang tidak bisa diterima dan kacau. Ini menunjukan sebagus apapun penampilan sesuatu, selalu ada sisi lain yang tidak terungkap dan berusaha tersembunyi. Kurasa hal ini yang membuatku terus membaca dan akhirnya bisa menyelesaikan ceritanya.

Elemen lain yang menarik adalah gaya penulisannya. Cerita mengambil sudut pandang Cadence. Dia sudah mengalami kecelakaan dan terserang sakit kepala hebat saat mengulang ingatannya dan bercerita kepada pembaca. Maka dari itu ceritanya berbentuk seperti curhatan. Cadence hanya bisa menceritakan hal-hal yang dia bisa ingat saja dan sering kali melewatkan detail penting. Gaya bercerita seperti ini tentunya cocok untuk buku yang mengandung misteri. Tapi yang paling menarik buatku adalah susunan paragrafnya, yang mungkin bisa dibilang dirangkai seperti bait puisi? Aku kurang tahu apa nama pastinya. Yang bisa kusampaikan, satu kalimat utuh bisa dibagi menjadi beberapa paragraf atau dia menekan enter di tengah kalimat. Penyusunan itu seperti menekankan perasaan yang Cadence punya. Di sisi lain, ini seperti menunjukan isi kepalanya tidak sebagus sebelum kecelakaan musim panas kedelapan.

Sepertinya gaya bercerita itu lebih enak dibaca dalam versi bahasa Inggrisnya. Mungkin saja kalimat itu sengaja dipotong untuk menunjukan rimanya atau hal-hal unik lainnya. Aku juga sepertinya butuh baca versi aslinya untuk mengerti beberapa ungkapan yang terdengar sangat asing dan kaku di bahasa Indonesia. Kalimat ungkapan yang kurasa janggal itu mungkin merupakan ungkapan yang tidak dipakai di sini atau memang tidak berlaku karena perbedaan budaya. Hal itu tentu sangat menganggu dan membuatku sedikit bertanya-tanya. Kan ini cerita yang penuh rahasia, aku mencoba tidak melewatkan satu pun petunjuk kecil yang bisa saja sangat penting.

Nah, saatnya membahas misteri di musim panas kedelapan itu. Kalian mungkin bertanya-tanya kenapa aku tidak kunjung membahasnya (geer). Misterinya agak lama untuk muncul dan kuanggap sebagai masalah utama di sini. Sepanjang cerita, tidak ada bagian naik turun yang membuat pencarian Cadence ini menarik untuk diselesaikan selain .. misteri ini harus terjawab, terpecahkan. Tidak ada motif yang kuat yang mendorongku untuk bersemangat, pokoknya. Saat misterinya terungkap, jujur, aku kaget. Tak menyangka akan sebesar dan separah itu. Keempat remaja itu mungkin memang pantas diberi sebutan, tapi tetap bukan Para Pembohong. Lalu kejutan lain datang dan membuatku agak merinding. Aku bolak-balik ke halaman depan, membaca pelan-pelan, dan menarik napas sejenak untuk memprosesnya. WOW. Segudang jawaban dan pertanyaan baru pun muncul, termasuk kenyataan selama ini aku menyudutkan pihak yang tidak benar-benar bersalah. Namun, semua itu tu diakhiri dengan hal yang menurutku menggelikan dan … now what? Aku tidak puas. Aku bahkan tidak yakin bagian mana yang disebut sebagai ‘twist’ oleh pembaca lain.

At last, misteri kehidupan Cadence dalam We Were Liars – Para Pembohong sebenarnya dibangun dengan baik. Potret keluarga sempurna dan pulau pribadi merupakan dasar yang cocok untuk cerita penuh rahasia. Tetapi aku merasa ending ceritanya memuaskan, hanya terkaget-kaget saja. Kecewa, lumayan lah. Tetapi aku senang akhirnya bisa ikut baca bareng Quirky Reads bulan ini :)

2 comments:

  1. Cadence, Dhyn. Bukan Candece. Hihihi.

    ReplyDelete
  2. Malah jadi penasaran habis batja review ini. Padahal selama ini kagak kepengen sama sekali batja buku itu xD

    ReplyDelete

Thanks for leave your comment :D