Paula Hawkins
Penerjemah: Inggrid Nimpoeno
Perancang Sampul: Wida Sartika
432 Halaman
Noura Books, September 2015 (Cetakan II)
Rp. 79.000,-
Rachel
menaiki kereta komuter yang sama setiap pagi. Di pinggiran London, keretanya
akan berhenti di sebuah sinyal perlintasan, tepat di depan rumah nomor lima
belas. Tempat sepasang suami istri menjalani kehiduan yang tampak bahagia,
bahkan nyaris sempurna. Pemandangan ini mengingatkan Rachel pada kehidupannya
sendiri yang sebelumnya sempurna.
Pada
suatu hari, Rachel menyaksikan sesuatu yang mengejutkan. Hanya semenit sebelum
kereta mulai bergerak, tapi itu sudah cukup. Kini pandangannya terhadap
pasangan itu pun berubah.
The Girl on the Train meledak di awal tahun 2015. Di Goodreads,
hampir semua temanku memasukkan buku ini ke rak ‘read’ atau ‘to-read’. Aku,
yang suka banget sama kereta api, tentu jadi tertarik untuk membaca buku yang
disebut sebagai penerus Gone Girl ini. Begitu versi terjemahannya terbit tahun
lalu, aku langsung membelinya. Tapi bukunya tidak aku baca sampai aku ingat
bahwa film adaptasinya akan tayang awal Oktober 2016! Now, let’s review it :D
"Setiap
kali aku merasa hendak meraih momen itu, ingatan itu melayang kembali ke dalam
bayang-bayang, persis di luar jangkauanku." – halaman 57
Rachel Watson menaiki kereta komuter
di pagi hari untuk pergi ke tempat kerjanya di London dan sorenya untuk kembali
ke kamar sewaannya di tempat tinggal temannya, Cathy. Rachel punya masalah
dengan minuman beralkohol. Dia sering mabuk dan tidak ingat apa pun keesokan
harinya. Kecanduannya semakin menjadi setelah pernikahannya dengan Tom
berakhir. Mantan suaminya itu berselingkuh dengan perempuan lain, Anna. Rachel
sulit menerima kenyataan itu apalagi pasangan baru itu dengan cepat dikaruniai
seorang anak dan tinggal di rumah yang dulu dia tempati.
Di setiap perjalanannya, kereta Rachel
berhenti sejenak, tak jauh dari rumah lamanya. Dia juga memperhatikan sebuah
rumah yang ditempati sepasang suami istri. Jason dan Jess, begitu Rachel
menyebut pasangan sempurna itu. Pada suatu pagi, Rachel menyaksikan kejadian
mengejutkan di rumah tersebut. Dibantu alkohol, dia memberanikan diri untuk
mengunjungi rumah itu, ingin memperingatkan penghuninya. Yang terjadi kemudian,
Rachel terbangun di kamarnya dengan kondisi babak belur dan Jess dinyatakan
hilang.
“Kegembiraan,
ketakutan, kebingungan, dan perasaan bersalah. Terutama perasaan bersalah."
– halaman 249
The Girl on the Train membuatku merasa frustasi, in a good way! Ceritanya
menyodorkan sebuah misteri yang terbilang sederhana, seorang wanita muda hilang
tanpa jejak. Aku tentu ingin tahu kemana wanita itu pergi, apa yang sebenarnya
terjadi, dan apakah ada hubungannya dengan Rachel. Tapi ceritanya bergulir
sangaaaaaat pelan. Aku kesal, kesal sekali. Aku hanya ingin tahu, itu saja. Aku
bahkan sampai nekat menonton dua trailer film adaptasinya. Aku menghindari
bagian komentarnya, yang kuyakini penuh spoiler. Banyak potongan cerita baru
yang kudapatkan. Namun aku tidak bisa mempercayainya seratus persen karena
ingatan Rachel berantakan. Siapa tahu kan itu hanya mimpi atau bayangan
terburuknya. Menonton trailer itu malah membuatku makin kesal. Aku juga sempat
tergoda untuk langsung membuka bab terakhir, tapi kutahan karena aku ingin
menemukan faktanya sendiri.
Aku tidak bisa sepenuhnya menyalahkan alurnya
yang lambat karena ini kan novel thriller psikologis. Kelebihan dan kekurangan
setiap tokoh membawa sekaligus mengungkapkan rahasia dalam cerita ini. Ada tiga
sudut pandang yang digunakan, Rachel, Anna, dan Jess. Rachel mendapatkan bagian
yang paling besar. Itu juga membuatku berpikir dia terlibat langsung dalam
misteri ini. Jess mendapat bagian yang lebih sedikit. Di bagian awal, bagian
Rachel dan Jess muncul secara bergantian. Di bagian pertengahan, porsi Jess agak
berkurang dan digantikan oleh bagian Anna. Ah, kenapa sih wanita ini bisa
diberi bagian. Isinya hanya kekesalannya terhadap Rachel. Mengingat dia mencuri
segala hal dari Rachel, aku tidak terlalu suka ketika membaca bagiannya. Tapi di
sisi lain, dari tiga tokoh itu tidak ada yang benar-benar menarik simpati.
Mereka memiliki sisi gelap masing-masing dan sering sekali jatuh kembali ke
lubang hitam itu. Setiap langkah dan pilihan yang mereka ambil tidak selalu
benar dan tepat. Tapi menyukai bagaimana karakter mereka berkembang dan
berusaha mengatasi masalah-masalah.
Ketika ketiga wanita itu menceritakan
sesuatu yang mengarah pada satu orang, aku menolak untuk langsung percaya. Ini pasti
jebakan yang lain, seperti jebakan-jebakan lain sepanjang cerita. Tapi
kebenaran itu semakin kuat, membuatku sedikit ketakutan. Ternyata ini bukan
sekedar menjawab misteri hilangnya wanita. Ada yang lain yang lebih besar dan
langsung mengubah segala pandanganku pada kejadian-kejadian sebelumnya. Setelah
dipikir ulang, terutama saat menulis review
ini, aku sadar kalau selama membaca aku tertipu. Setiap tanggal yang
dicantumkan, pilihan kata yang digunakan, semuanya sebenarnya adalah kumpulan
petunjuk yang tersembunyi.
Walaupun aku cukup tercengang
dengan jawaban misterinya, aku tetap berharap tempo ceritanya sedikit lebih
cepat dan memacu adrenalin. Dari sinopsisnya, aku sudah membayangkan Rachel
melihat suatu kejadian yang membuatnya terlibat dengan kepolisian. Aku ingin
dia lebih kuat dan bisa diandalkan. Di sisi lain, kecanduannya terhadap alkohol
memang berperan sangat penting dalam ceritanya. Selain itu, aku sempat
kebingungan dengan bahasa terjemahannya. Ada beberapa ungkapan yang terdengar
asing buatku, seperti ‘bermobil’ dan ‘membosankan kami’. Tapi aku salut
terjemahannya menggunakan kata-kata yang berhasil menyembunyikan sekaligus
menguak pelakunya.
Book vs Movie Adaptation
Dua trailer The Girl on the Train sudah dirilis pada bulan April dan Juli.
Trailer pertama sebenarnya hanya teaser tapi isinya tidak jauh beda dengan
trailer resminya. Jika kamu belum baca bukunya, mungkin kamu akan kebingungan
dengan potongan gambar yang ada. Jika kamu sudah baca, terutama baru beres
sepertiku, kamu akan sangat excited
ketika mengenali potongan gambar itu, sekaligus bingung dan penasaran dengan
potongan lain yang rasanya tidak ada di buku. Filmnya akan tayang 7 Oktober.
Kuharap filmnya diputar di Indonesia dan tanggal rilisnya tidak terlalu jauh
dari tanggal 7.
At last, The Girl on the Train mempunyai alur cerita yang agak lambat tapi tidak membuatku berhenti
membuka halaman selanjutnya, selanjutnya, dan selanjutnya. Gaya penulisannya berhasil
mengelabuiku. Tiga sudut pandang yang digunakan memberikan sebuah cerita
thriller psikologis yang bagus. Kuharap filmnya bisa memberika rasa frustrasi
yang sama. Recommended! :D
Ini udah masuk tbr dari lama tapi belum beli juga.. Makasih reviewnyaaa.. Jadi pengen baca :)
ReplyDeleteSegera dibaca ya. Penasaran apakah pembaca lain juga ngerasa alurnya lambat :)
DeleteAlur yang lambatlah yang membuatku maju-mundur untuk memulai baca buku ini. Tapi karena aku tim baca-bukunya-baru-tonton-filmnya, mungkin aku akan coba baca sebelum filmnya rilis.
ReplyDeleteAku sempet pengen nyerah karena alur maju mundur itu susah dicerna. Tapi di akhir, semuanya terbayar koq.
Delete