Wednesday, September 7, 2016

The Girl on the Train

Paula Hawkins
Penerjemah: Inggrid Nimpoeno
Perancang Sampul: Wida Sartika
432 Halaman
Noura Books, September 2015 (Cetakan II)
Rp. 79.000,-

Rachel menaiki kereta komuter yang sama setiap pagi. Di pinggiran London, keretanya akan berhenti di sebuah sinyal perlintasan, tepat di depan rumah nomor lima belas. Tempat sepasang suami istri menjalani kehiduan yang tampak bahagia, bahkan nyaris sempurna. Pemandangan ini mengingatkan Rachel pada kehidupannya sendiri yang sebelumnya sempurna.

Pada suatu hari, Rachel menyaksikan sesuatu yang mengejutkan. Hanya semenit sebelum kereta mulai bergerak, tapi itu sudah cukup. Kini pandangannya terhadap pasangan itu pun berubah.

The Girl on the Train meledak di awal tahun 2015. Di Goodreads, hampir semua temanku memasukkan buku ini ke rak ‘read’ atau ‘to-read’. Aku, yang suka banget sama kereta api, tentu jadi tertarik untuk membaca buku yang disebut sebagai penerus Gone Girl ini. Begitu versi terjemahannya terbit tahun lalu, aku langsung membelinya. Tapi bukunya tidak aku baca sampai aku ingat bahwa film adaptasinya akan tayang awal Oktober 2016! Now, let’s review it :D

"Setiap kali aku merasa hendak meraih momen itu, ingatan itu melayang kembali ke dalam bayang-bayang, persis di luar jangkauanku." – halaman 57

Rachel Watson menaiki kereta komuter di pagi hari untuk pergi ke tempat kerjanya di London dan sorenya untuk kembali ke kamar sewaannya di tempat tinggal temannya, Cathy. Rachel punya masalah dengan minuman beralkohol. Dia sering mabuk dan tidak ingat apa pun keesokan harinya. Kecanduannya semakin menjadi setelah pernikahannya dengan Tom berakhir. Mantan suaminya itu berselingkuh dengan perempuan lain, Anna. Rachel sulit menerima kenyataan itu apalagi pasangan baru itu dengan cepat dikaruniai seorang anak dan tinggal di rumah yang dulu dia tempati.

Di setiap perjalanannya, kereta Rachel berhenti sejenak, tak jauh dari rumah lamanya. Dia juga memperhatikan sebuah rumah yang ditempati sepasang suami istri. Jason dan Jess, begitu Rachel menyebut pasangan sempurna itu. Pada suatu pagi, Rachel menyaksikan kejadian mengejutkan di rumah tersebut. Dibantu alkohol, dia memberanikan diri untuk mengunjungi rumah itu, ingin memperingatkan penghuninya. Yang terjadi kemudian, Rachel terbangun di kamarnya dengan kondisi babak belur dan Jess dinyatakan hilang.


“Kegembiraan, ketakutan, kebingungan, dan perasaan bersalah. Terutama perasaan bersalah." – halaman 249

The Girl on the Train membuatku merasa frustasi, in a good way! Ceritanya menyodorkan sebuah misteri yang terbilang sederhana, seorang wanita muda hilang tanpa jejak. Aku tentu ingin tahu kemana wanita itu pergi, apa yang sebenarnya terjadi, dan apakah ada hubungannya dengan Rachel. Tapi ceritanya bergulir sangaaaaaat pelan. Aku kesal, kesal sekali. Aku hanya ingin tahu, itu saja. Aku bahkan sampai nekat menonton dua trailer film adaptasinya. Aku menghindari bagian komentarnya, yang kuyakini penuh spoiler. Banyak potongan cerita baru yang kudapatkan. Namun aku tidak bisa mempercayainya seratus persen karena ingatan Rachel berantakan. Siapa tahu kan itu hanya mimpi atau bayangan terburuknya. Menonton trailer itu malah membuatku makin kesal. Aku juga sempat tergoda untuk langsung membuka bab terakhir, tapi kutahan karena aku ingin menemukan faktanya sendiri.

Aku tidak bisa sepenuhnya menyalahkan alurnya yang lambat karena ini kan novel thriller psikologis. Kelebihan dan kekurangan setiap tokoh membawa sekaligus mengungkapkan rahasia dalam cerita ini. Ada tiga sudut pandang yang digunakan, Rachel, Anna, dan Jess. Rachel mendapatkan bagian yang paling besar. Itu juga membuatku berpikir dia terlibat langsung dalam misteri ini. Jess mendapat bagian yang lebih sedikit. Di bagian awal, bagian Rachel dan Jess muncul secara bergantian. Di bagian pertengahan, porsi Jess agak berkurang dan digantikan oleh bagian Anna. Ah, kenapa sih wanita ini bisa diberi bagian. Isinya hanya kekesalannya terhadap Rachel. Mengingat dia mencuri segala hal dari Rachel, aku tidak terlalu suka ketika membaca bagiannya. Tapi di sisi lain, dari tiga tokoh itu tidak ada yang benar-benar menarik simpati. Mereka memiliki sisi gelap masing-masing dan sering sekali jatuh kembali ke lubang hitam itu. Setiap langkah dan pilihan yang mereka ambil tidak selalu benar dan tepat. Tapi menyukai bagaimana karakter mereka berkembang dan berusaha mengatasi masalah-masalah.

Ketika ketiga wanita itu menceritakan sesuatu yang mengarah pada satu orang, aku menolak untuk langsung percaya. Ini pasti jebakan yang lain, seperti jebakan-jebakan lain sepanjang cerita. Tapi kebenaran itu semakin kuat, membuatku sedikit ketakutan. Ternyata ini bukan sekedar menjawab misteri hilangnya wanita. Ada yang lain yang lebih besar dan langsung mengubah segala pandanganku pada kejadian-kejadian sebelumnya. Setelah dipikir ulang, terutama saat menulis review ini, aku sadar kalau selama membaca aku tertipu. Setiap tanggal yang dicantumkan, pilihan kata yang digunakan, semuanya sebenarnya adalah kumpulan petunjuk yang tersembunyi.

Walaupun aku cukup tercengang dengan jawaban misterinya, aku tetap berharap tempo ceritanya sedikit lebih cepat dan memacu adrenalin. Dari sinopsisnya, aku sudah membayangkan Rachel melihat suatu kejadian yang membuatnya terlibat dengan kepolisian. Aku ingin dia lebih kuat dan bisa diandalkan. Di sisi lain, kecanduannya terhadap alkohol memang berperan sangat penting dalam ceritanya. Selain itu, aku sempat kebingungan dengan bahasa terjemahannya. Ada beberapa ungkapan yang terdengar asing buatku, seperti ‘bermobil’ dan ‘membosankan kami’. Tapi aku salut terjemahannya menggunakan kata-kata yang berhasil menyembunyikan sekaligus menguak pelakunya.

Book vs Movie Adaptation


Dua trailer The Girl on the Train sudah dirilis pada bulan April dan Juli. Trailer pertama sebenarnya hanya teaser tapi isinya tidak jauh beda dengan trailer resminya. Jika kamu belum baca bukunya, mungkin kamu akan kebingungan dengan potongan gambar yang ada. Jika kamu sudah baca, terutama baru beres sepertiku, kamu akan sangat excited ketika mengenali potongan gambar itu, sekaligus bingung dan penasaran dengan potongan lain yang rasanya tidak ada di buku. Filmnya akan tayang 7 Oktober. Kuharap filmnya diputar di Indonesia dan tanggal rilisnya tidak terlalu jauh dari tanggal 7.

At last, The Girl on the Train mempunyai alur cerita yang agak lambat tapi tidak membuatku berhenti membuka halaman selanjutnya, selanjutnya, dan selanjutnya. Gaya penulisannya berhasil mengelabuiku. Tiga sudut pandang yang digunakan memberikan sebuah cerita thriller psikologis yang bagus. Kuharap filmnya bisa memberika rasa frustrasi yang sama. Recommended! :D

4 comments:

  1. Ini udah masuk tbr dari lama tapi belum beli juga.. Makasih reviewnyaaa.. Jadi pengen baca :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Segera dibaca ya. Penasaran apakah pembaca lain juga ngerasa alurnya lambat :)

      Delete
  2. Alur yang lambatlah yang membuatku maju-mundur untuk memulai baca buku ini. Tapi karena aku tim baca-bukunya-baru-tonton-filmnya, mungkin aku akan coba baca sebelum filmnya rilis.

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aku sempet pengen nyerah karena alur maju mundur itu susah dicerna. Tapi di akhir, semuanya terbayar koq.

      Delete

Thanks for leave your comment :D