Monday, April 21, 2014

3600 Detik

Charon
200 Halaman
PT. Gramedia Pustaka Utama, Mei 2013
Rp. 36.000,-

Sandra sangat terpukul ketika orangtuanya bercerai... Dan hatinya semakin sakit ketika ayahnya memutuskan ia harus tinggal bersama ibunya, yang selama ini tak pernah dekat dengannya. Kemarahan yang menggelora menjadikan Sandra remaja yang bandel. Berulang kali ia dikeluarkan dari sekolah karena kenakalannya di luar batas.

Akhirnya ibunya memutuskan untuk pindah kota. Mungkin suasana dan lingkungan baru akan mengubah perilaku putrinya. Namun di sekolahnya yang baru ini Sandra sudah bertekad untuk membuat dirinya dikeluarkan lagi. Ia bertekad akan membuat ulah agar para guru tak tahan terhadapnya. Namun ia salah perkiraan. Pak Donny sangat sabar menghadapinya. Wali kelasnya itu berpendapat, mengeluarkan Sandra berarti menuruti keinginan anak bandel ini.

Namun, lambat laun Sandra berubah. Orangtua maupun gurunya heran. Mereka yakin, Leon-lah yang membuat gadis itu berubah. Mereka juga bertanya-tanya kenapa Leon bisa bersahabat dengan Sandra, sementara murid-murid yang lain justru menjauhi gadis urakan itu. Apa yang membuat Leon tertarik padanya, padahal keduanya bagaikan langit dan bumi? Leon anak rumahan yang manis, bintang pelajar, sopan, tekun... berbeda 180 derajat dari Sandra....

Sebuah novel jadi lebih menarik untuk dibaca kalo sudah diangkat ke layar lebar. Paling tidak menurutku. Perdebatan perbedaan cerita dan visualisasi di kedua media itu selalu menarik. Kadang aku lebih suka versi filmnya, tapi lebih seringnya sih marah karena udah suka banget sama bukunya. Untuk meminimalisir rasa marah, kesal dan kecewa dengan filmnya, sebisa mungkin aku nonton dulu sebelum baca. Contohnya 3600 Detik ini. Aku sudah nonton filmnya awal bulan April lalu (read my review here) dan sekarang melirik novelnya. Apakah menyimpan sesuatu yang tidak bisa diterjemahkan ke audio visual? Let’s review it J

“Aku tidak takut mati, Sandra. Aku sudah bisa menerimanya sejak dahulu. Itu hanya masalah waktu saja. Yang paling aku takutkan adalah kehilanganmu.”

3600 Detik ini ternyata remaja banget dan tanpa cinta-cintaan. Hubungan dekat Sandra dan Leon benar-benar murni persahabatan. Dialog di antara mereka juga menarik karena terdiri dari celetukan-celetukan yang spontan. Jadi terasa natural dan apa adanya. Yang cukup aneh adalah keterangan cerita dan gaya bahasanya. Tidak ada keterangan detail tentang fisik para karakter, setting maupun latar belakang sebelum Sandra dan Leon bertemu. Ini membingungkan. Bagaimana coba Sandra dan Leon tahu tanggal ulang tahun masing-masing, tahu-tahu ngasih hadiah aja, tahu-tahu dateng ke pesta perayaannya aja. Sedangkan gaya bahasanya menggunakan bahasa yang cukup baku sehingga cenderung terasa kaku. Contohnya penggunaan kata ganti orang, ‘kau’. Penggunaan tanda seru (‘!’) sangat banyak di setiap kalimatnya. Menjadikan setiap dialog terasa penuh penekanan dan kemarahan. Kedua hal aneh ini membuat ceritanya terasa sangat singkat dengan klimaks yang begitu cepat. Endingnya juga singkat. Tapi entah kenapa dada aku tetap kerasa sesak (in the good way) saat membacanya. Very weird!

Book VS Movie

Untuk urutan cerita, buku dan filmnya menggunakan runutan alur yang sama. Bedanya di buku, langsung diceritakan Sandra yang sudah pindah ke sekolah baru sedangkan di film, Sandra bermonolog dulu untuk menceritakan kedua orangtuanya yang bercerai dan efeknya pada pribadinya. Untuk bagian dialog, tidak seperti di bukunya, di film menggunakan bahasa yang tidak baku, ‘lo-gue’. Selain itu, ada satu hal yang sangat berbeda dan mempengaruhi cerita. Di buku, Leon diceritakan menderita kelainan jantung sedangkan di film, dia mengidap penyakit kanker darah. Kenapa diubah? Apakah penyakit jantung tidak cukup ampuh memisahkan kedua sahabat ini? Untuk aku pribadi, aku lebih memilih penyakit yang di buku. Soalnya leukemia udah pasaran banget sih.

At last, walaupun kurang menyukai gaya penceritaannya, 3600 Detik cocok untuk remaja anak sekolahan apalagi buat yang belum mau memikirkan cinta-cintaan. It’s pure about friendship! Kinda refreshing, don’t you think? :D

11 comments:

  1. bagus kak review nya,,, setuju ...
    bentar lagi filmnya mw keluar lohh kak,,,, hihi :D

    ReplyDelete
  2. Filmnya udah lama keluar dan emang lumayan sedih ;(

    ReplyDelete
  3. Suka banget sama reviewnya ;D
    setuju juga soal perbedaan buku sama filmnya. jujur aku juga lebih suka cerita di bukunya :)

    ReplyDelete
  4. bukunya bgus kak... aku udh prnah bca bkin nangis... baca reviewnya jadi ingt lgi...
    beneran udh ada filmnya?? jadi pngen nonton, pasti bkin nangis jga...

    ReplyDelete
  5. uda pernah baca novel nyaa, uda dulu banget malah waktu masih pake seragam putih abu-abu heheee... nice story, ^^

    tapi jujur baru denger ini kalo novel ini uda difilmkan (kemana ja ya aku selama ini??hehehee)

    ReplyDelete
  6. Buku yang aku baca waktu SMP xD
    Nice review kak:) Singkat, padat jelas dan nancap! Aku baru tau kalau keterangan ceritanya kurang lengkap, begitu juga gaya bahasanya *brb buka bukunya kembali,re-read he-he* *angkat jempol buat kakak karena teliti banget:)*
    Pas pertama kali baca, ini buku langsung aku jadikan favorit, bacaan ringan dan akhirnya ituloh yang nggak bisa aku terima :D
    Ah, aku belum nonton film-nya. Seru nggak kak? Lebih enak novelnya atau filmnya? :)

    ReplyDelete
  7. Aku belum pernah baca bukunya, tapi kalau aku setuju sama kakak. Leukimia udah mainstream banget!

    ReplyDelete
  8. Novel sama film kadang emang suka beda.. aku lebih suka baca novelnya

    ReplyDelete
  9. Tau novel ini dari temen. Tapi belum sempet baca bukunya. Btw, saya malah suka sama bacaan yang bahsanya baku. Beda selera ya,

    ReplyDelete
  10. Aiih, jdi mkin pngin baca ni buku..
    so sweet spertiny..

    ReplyDelete
  11. Jdi penasaran pingin bgt baca tu buku..
    So sweet spertinya sist..

    ReplyDelete

Thanks for leave your comment :D