Editor: Pradita Seti Rahayu
320 Halaman
Elex Media Komputindo, November 2015
Pangeran memalsukan citra saat bertemu Cinderella di belantara
Cinderella memalsukan busana saat berdansa dengan Pangeran di istana
Dan toh, mereka bahagia selamanya
Abhilaasha tak bisa lepas dari gaun mewah, high heels, dan dunia
gemerlapnya. Sedangkan, Aidan selalu lekat dengan kemeja aneh, serbakaku, dan
dunia otomotifnya.
Dua dunia berbeda itu mempertemukan Abby dan Aidan.
Mereka berperan, berpura-pura, beradu dalam rahasia.
Ketika kejujuran ditunjukkan oleh masing-masing pemeran, apakah semua
akan tetap sama?
Tahun lalu, Wheels and Heels bikin aku penasaran dengan warna cover-nya yang ngejreng dan judulnya
yang menggoda. Beruntung bulan Maret kemaren aku bisa mendapatkannya langsung
dari penulisnya. Tapi karena beban menjelang sidang, pekerjaan sambilan, dan
rasa kantuk yang menuntut untuk dipenuhi, novel ini aku baru bisa kubaca di
bulan Mei. Nulis review-nya pun super
telat, akhir bulan Juni. Aku merasa sangat bersalah, kepada penulisnya yang
sudah berbaik hati dan juga tokoh-tokoh di novel ini (masuk akal gak?). Karena ceritanya
super seru dan seharusnya aku lebih cepat menyebar luaskan fakta itu. Now, let’s review it! :D
"Aku menelan
ludah. Tersinggung. Pria lain bisa jatuh tersandung hanya karena terpesona
melihatku. Tapi, monyet satu ini, dia menganggap kerupuk jauh lebih penting
daripada aku. KERUPUK!" – halaman 39
Abhilaasha ‘Abby’ bekerja sebagai
usher dan talent untuk berbagai acara. Berbeda dengan gadis-gadis kaya yang
menjadikan pekerjaan tersebut sebagai hobi, Abby bekerja untuk ibu dan ketiga
adik perempuan di kampung halamannya. Abby sering dibuat kelimpungan karena ada
saja yang ibunya lakukan dan adik-adiknya meminta uang untuk membereskannya.
Nicolette, sahabat Abby, menyarankannya untuk menikah dengan pria mapan. Abby
sudah berkencan dengan beberapa pria kenalan Nicolette sebelum berhenti karena
dia tidak mau mengemis-ngemis.
Di kegiatan training untuk acara peluncuran sebuah mobil, Abby bertemu dengan
Aidan. Pria yang bertugas memberikan pengarahan itu kepergok memandangi
sepasang kaki Abby yang terbuka. Jika Abby berbicara dengannya, wajah Aidan
bisa memerah dan salah tingkah. Sikap kaku Aidan membuat Abby kebingungan. Pria
itu bilang tidak nyaman berdekatan dengan wanita glamor, namun dia tampak
begitu senang bertemu dengan Abby.
"Kamu jelas
punya sepuluh alter ego. Atau lebih. Kamu selalu berubah-ubah, bukan?
Dingin, ketus, menjengkelkan. Lalu, berubah jadi lucu dan baik. Berubah lagi
jadi pria siluman yang jago menghilang. Dan sebagainya. Jadi, Aidan mana yang
asli?"
– halaman 130
Wheels and Heels ini cerita romance
yang sweeet sekaligus kocak! Dua
orang yang berbeda dunia ini tak disangka memberikan cerita asyik yang sangat
menghibur. Hal paling kuat di novel ini adalah gaya ceritanya. Cerita
dituturkan langsung oleh tokoh utama, Abby. Dia punya gaya cerita yang
ceplas-ceplos dan selalu sukses bikin hal paling kecil jadi lucu. Satu bagian
yang paling aku ingat adalah saat dia mendeskripsikan lampu mobil Aidan
menyalakan lampu untuk belok ke kiri. Sesimpel itu, tapi aku inget banget dan
ngakak lagi. Gaya berceritanya seperti ini mengingatkanku dengan novel-novel
terjemahan, terutama chicklit GPU, yang berputar pada kehidupan wanita muda
yang sibuk menyeimbangkan kehidupan pribadi, cinta, dan karirnya. Kisah
Cinderella sering disebut-sebut dan menjadi acuan ‘identitas palsu’ yang
dipasang Abby dan Aidan. Ini juga membuatku berpikir ceritanya mungkin retelling ala Indonesia. Benar loh, cerita
Abby di sini terasa banget lokalnya. Saat dia menyebutkan makanan Indonesia,
seperti sop buntut, cerita tidak terasa ‘jatuh’ atau norak sedikit pun *tepuk
tangan*
Semula, aku berpikir cara Abby
bercerita ini terlalu banyak penjelasan. Segala hal dia jelasin, dari konflik
di kampung halaman sampai bingungnya dia sama kelakuan kucing tetangga, si
Tumi. Hal yang pertama terlintas di benakku adalah ‘ceritanya terlalu telling, kurang showing’. Penjelasan Abby yang cukup detail itu juga membuat
pergerakan ceritanya sangat lambat. Aku malah sempat pusing dan bosan. Namun,
lama-lama aku mengerti dan bisa mengikuti celotehan Abby ini. Gaya berceritanya
juga pelan-pelan terlihat seperti ‘showing’.
Karena walaupun dia membeberkan semuanya, semua hal itu akan lebih bermakna
jika pembaca bisa melihat dan menyimpulkan interaksi di antara tokoh-tokohnya. Status
Facebook-nya bisa menjadi contoh yang bagus. Isi status yang rata-rata singkat
itu ternyata punya cerita yang sangat panjang dan menarik *tepuk
tangan lagi*
Untuk Aidan, aku sempat menduga
karakternya adalah bad boy, terutama
karena hobi otomotifnya. Ternyata hobinya itu tidak terlalu mendapat sorotan
dan dia ini good boy yang shy shy shy, hahahaha. Sempet berharap
Aidan punya bagian sendiri alias cerita dari sudut pandangnya. Tapi pada
umumnya, tokoh cowok lebih cocok bersikap misterius sih. Jadi cerita pun makin
menggemaskan hahaha. Geregetan deh tiap Aidan ngusap-ngusap ujung hidungnya.
Namun, tingkah lakunya yang sempat terlihat kekanakkan itu tidak menghilangkan
sisi dewasanya sebagai pria. Hubungan dia dan Abby termasuk dewasa/mature. Kedekatan mereka lebih dari
teman, tapi tidak memberinya label ‘pacar’ atau apa. Ketika hubungan mereka
dihadapi batu sandungan pun, mereka masih bisa berpikir jernih dan
mengobrolkannya, tidak main kucing-kucingan atau malah jadi perang dingin. Too good to be true sih, tapi masih
banyak konflik lain yang bikin pusing dan membangkitkan kegalauan koq hahaha *lalu
baper*
Selain sibuk senyum-senyum
sendiri dengan tingkah Aidan saat bertemu Abby, aku juga tertarik dengan dua
tokoh pendukung lain. Satu, Nicolette. Dia ini orang yang ngomongnya lebih
ceplas-ceplos dibandingkan Abby. Sama seperti sahabatnya, Nico sukses bikin aku
ngakak. Aku berharap dia ini bisa jadi tokoh utama di buku penulis selanjutnya.
Dua, Tumi. Iya, Tumi, si kucing jantan tetangga yang mampir cuma minta makan.
Aku suka karena di rumahku ada kucing betina tetangga yang kelakuannya sama
persis. Sayangnya aku alergi buku kucing. Jadi aku nggak bisa elus-elus bulunya
yang lebat. Makanya aku iri banget dengan Abby yang bisa menjadikan Tumi sebagai
tameng segala. Sungguh, ini rasa iri yang agak aneh, ya, hahaha.
At last, Wheels and Heels
menghadirkan cerita romantis Abby dan Aidan dalam format dan gaya bercerita
yang komikal. Butuh waktu untuk menyesuaikan diri dan pikiran untuk
mencernanya. Tetapi begitu temponya bisa diikuti, dijamin kamu akan jatuh cinta
dengan tokoh-tokohnya. Jadi super penasaran dengan karya penulis yang lainnya. Recommended! :D
Kayanya novel lokal berbau terjemahan ya dhy
ReplyDeleteHalo Annesya. Iya, gaya bahasanya mirip novel terjemahan. Tapi yang ini ada rasa lokalnya :D
ReplyDelete