Monday, February 16, 2015

Picture Perfect

Pradnya Paramitha
270 halaman
PlotPoint, Juni 2013 (cetakan pertama)
Rp. 20.000
(Promo Diskon Bentang PengenBuku)

Pelukis satu itu tidak seperti umumnya pelukis yang pernah dikenal Sadina. Tubuhnya kurus tapi tak kerempeng. Kulitnya bersih. Rambut iklanya sedikit panjang namun tak berantakan. Penampilannya segar dan sedap dipandang. Tapi tak hanya itu yang membuat Andi Samandjaya bergitu berbeda bagi Sadina. Andi juga mantan aktivis antikoruptor garis keras.

Saat ini hidup Sadina seolah sedang dijungkirbalikkan oleh fakta bahwa ayahnya masuk penjara karena korupsi. Untuk meringankan beban tanggung jawab ibunya, Sadina bekerja sebagai reporter freelance di sebuah majalah. Salah satu tugasnya adalah mewawancarai Andi Samandjaya, pelukis muda yang sedang menanjak kariernya. Perjumpaan itu membuat Sadina mengubah pandangannya tentang dunia seni yang selama ini asing baginya.

Namun ketika cinta mulai hadir, apakah Sadina siap mengungkapkan bahwa dirinya adalah anak koruptor? Sebab, kesungguhan perasaan Andi terhadap Sadina justru menciptakan kerumitan baru dalam hidup Sadina, yang sedang berjuang dengan segala tantangan tanpa kemewahan dan kemudahan yang dulu dimiliki olehnya.

Ada satu saat aku berjalan-jalan ke toko buku dan membeli buku baru. Buku yang menarik perhatianku adalah Picture Perfect. Covernya cantik, sinopsis ceritanya terbilang sangat Indonesia, dan harganya diskon. Godaan belanja tanpa rencana itu berhasil aku tepis. Beruntung sekali, karena setahun kemudian, ada promo diskon. Aku membeli banyak buku, termasuk yang satu ini. Aku jadi bangga dengan pertahananku (tapi agak malu dengan fakta aku memborong buku, hehe). Now, let’s review it ;D

"Sadina datang seperti mimpi, mimpi yang tidak bisa dia kendalikan sesuka hati. Namun mimpi yang ini, Andi sengaja membiarkannya hadir. Andi membiarkan dirinya larut dalam kebersamaannya dengan Sadina." – halaman 149

Kehidupan Sadina Anjani Harries drastis saat ayahnya, Efendi, terbelit kasus korupsi. Kini dia tinggal di sebuah rumah kecil yang tidak terurus dan ibunya, Utari, harus bekerja. Sadina sempat bolos dari kuliahnya yang sebentar lagi selesai. Teman baiknya, Ben, Gadis dan Tara, tak henti menanyakan kabarnya. Virga, sepupunya, membantunya bangkit dengan merekomendasikannya untuk menjadi reporter di sebuah majalah. Laras, pimpinan majalan tersebut, menugaskan Sadina untuk mewawancarai Andi Samandjaya, menggantikan seorang reporter yang mendadak sakit. Sadina datang terlambat, membuat Andi marah dan menolak diwawancarai. Sadina berusaha memperbaiki kesalahannya dengan datang ke studio lukis sekaligus rumah Andi. Entah kenapa Andi tertarik dengan kegigihan Sadina. Dia pun mengizinkan Sadina naik ke lantai tiga, di mana hanya keluarga dan teman terdekat yang boleh masuk.


"Orang bilang jatuh cinta itu absurd. Aneh. Tidak masuk akal. Sadina merasa dirinya hanya buang-buang waktu jika dia terus berusaha memikirkan alasan untuk menolak dari segala sesuatu yang absurd dan tidak masuk akal ini." – halaman 207

Banyak yang mengecewakan dari Picture Perfect ini. Tokoh utamanya menyebalkan, sudut pandang orang ketiga tak terbatas yang membingungkan sekaligus terlalu ‘informatif’, terlalu banyak narasi, ada konflik emas yang tersia-siakan, dan di akhir aku sadar kalau sinopsisnya berlebihan. Anehnya aku masih bisa menikmati ceritanya dan bertahan sampai halaman akhir. Aku rasa ini karena gaya penulisannya yang enak dibaca. Aku juga menyukai chemistry antara Sadina dan Andi. Kalau mereka bertemu, mengobrol bahkan berantem, dunia serasa milik mereka berdua saja. Tokoh lain yang sedang bersama mereka, siapapun itu, jadi terlupakan dan tidak penting, hahaha. Lalu ada bagian yang aku suka dan cukup membekas. Bagian ini sebenarnya salah satu pertengkaran antara Sadina dan Andi, di mana Sadina minta dilukis oleh Andi, sama seperti Andi melukis wanita lainnya. Ada referensi ke film Titanic pula. Aku jadi ngebayangin Sadina sebagai Rose berkata kepada Andi sebagai Jack, ‘draw me like one of your French girls’.

Walaupun begitu, gaya penulisan yang mengalir tidak bisa terus-terusan menutupi kekurangan yang ada. Sadina sebagai tokoh utama di sini tidak berhasil mengambil rasa simpatiku. Dia menyikapi kasus korupsi yang menimpa ayahnya dan kehidupannya dengan kekanak-kanakan dan menyebalkan. Ini mungkin masuk ke fase denial dan dipikir-pikir pas juga. Tapi aku sudah terlanjur ilfeel. Lalu sudut pandang orang ketiga tak terbatas yang digunakan malah mengurangi rasa penasaran. Sudut pandang yang utamanya sih dari Sadina. Tapi posisinya akan berubah jika Sadina sedang terinteraksi dengan tokoh lain seperti Andi, Utari dan teman-temannya. Semuanya jadi dijelaskan. Aku mengerti maksudnya, agar pembaca tahu yang Sadina tidak tahu atau menjelaskan latar belakang tokoh tanpa dikatakan oleh yang bersangkutan, tapi ini berlebihan. Mungkin akan lebih baik sudut pandangnya fokus pada Sadina, kalau mau ditambah bisa sama Andi, yang punya peran cukup besar.

Selanjutnya, cerita ini kekurangan dialog. Aku jadi merasa ceritanya agak datar dan berjarak dengan tokoh-tokohnya. Ada satu bagian di mana Sadina bertemu dengan Andi setelah wawancara selesai. Mereka mengobrol dan katanya menjadi lebih dekat. Tapi semua itu hanya dinarasikan saja, tidak ada dialog atau detail percakapannya seperti apa. Bagian itu jadi sia-sia dan gampang terlupakan. Hal lain yang tersia-siakan adalah konflik Sadina dengan mantannya, Ben dan teman baiknya, Gadis. Entah kenapa masalah ini dimunculkan, dilupakan lalu muncul di bagian akhir dengan penyelesaian yang tidak memuaskan. Padahal konflik itu berpotensi besar untuk menguji hubungan Sadina dengan Andi. Apalagi hubungan mereka belum menemukan batu sandungan yang benar-benar berat. Kasus korupsi? Tidak disebut sampai halaman 200an. Tidak pula muncul di sesi wawancara atau menginspirasi karya-karya Andi. Oleh sebab itu aku merasa sinopsis di bagian belakang cover itu berlebihan, agak spoiler malahan. Sayang sekali, karena topik korupsi itu cukup ‘Indonesia banget’ dan menarik buat digali.


At last, Picture Perfect belum bisa menyajikan cerita cinta berlatar belakang korupsi dengan baik. Tapi gaya penulisannya membuatku menikmati ceritanya. Kuharap modal itu bisa dipertahankan. Untuk aspek-aspek  lainnya semoga bisa dikembangkan dan dilatih agar lebih baik. Untuk penulisnya, terus berkarya, ya ;D

No comments:

Post a Comment

Thanks for leave your comment :D