Pradnya Paramitha
270 halaman
PlotPoint, Juni 2013 (cetakan pertama)
Rp. 20.000
(Promo Diskon Bentang PengenBuku)
Pelukis
satu itu tidak seperti umumnya pelukis yang pernah dikenal Sadina. Tubuhnya
kurus tapi tak kerempeng. Kulitnya bersih. Rambut iklanya sedikit panjang namun
tak berantakan. Penampilannya segar dan sedap dipandang. Tapi tak hanya itu
yang membuat Andi Samandjaya bergitu berbeda bagi Sadina. Andi juga mantan
aktivis antikoruptor garis keras.
Saat
ini hidup Sadina seolah sedang dijungkirbalikkan oleh fakta bahwa ayahnya masuk
penjara karena korupsi. Untuk meringankan beban tanggung jawab ibunya, Sadina
bekerja sebagai reporter freelance
di sebuah majalah. Salah satu tugasnya adalah mewawancarai Andi Samandjaya,
pelukis muda yang sedang menanjak kariernya. Perjumpaan itu membuat Sadina
mengubah pandangannya tentang dunia seni yang selama ini asing baginya.
Namun
ketika cinta mulai hadir, apakah Sadina siap mengungkapkan bahwa dirinya adalah
anak koruptor? Sebab, kesungguhan perasaan Andi terhadap Sadina justru
menciptakan kerumitan baru dalam hidup Sadina, yang sedang berjuang dengan
segala tantangan tanpa kemewahan dan kemudahan yang dulu dimiliki olehnya.
Ada satu saat aku berjalan-jalan
ke toko buku dan membeli buku baru. Buku yang menarik perhatianku adalah Picture Perfect. Covernya cantik,
sinopsis ceritanya terbilang sangat Indonesia, dan harganya diskon. Godaan
belanja tanpa rencana itu berhasil aku tepis. Beruntung sekali, karena setahun
kemudian, ada promo diskon. Aku membeli banyak buku, termasuk yang satu ini.
Aku jadi bangga dengan pertahananku (tapi agak malu dengan fakta aku memborong
buku, hehe). Now, let’s review it
;D
"Sadina
datang seperti mimpi, mimpi yang tidak bisa dia kendalikan sesuka hati. Namun mimpi
yang ini, Andi sengaja membiarkannya hadir. Andi membiarkan dirinya larut dalam
kebersamaannya dengan Sadina." – halaman 149
Kehidupan Sadina Anjani Harries drastis
saat ayahnya, Efendi, terbelit kasus korupsi. Kini dia tinggal di sebuah rumah
kecil yang tidak terurus dan ibunya, Utari, harus bekerja. Sadina sempat bolos
dari kuliahnya yang sebentar lagi selesai. Teman baiknya, Ben, Gadis dan Tara,
tak henti menanyakan kabarnya. Virga, sepupunya, membantunya bangkit dengan
merekomendasikannya untuk menjadi reporter di sebuah majalah. Laras, pimpinan
majalan tersebut, menugaskan Sadina untuk mewawancarai Andi Samandjaya,
menggantikan seorang reporter yang mendadak sakit. Sadina datang terlambat,
membuat Andi marah dan menolak diwawancarai. Sadina berusaha memperbaiki kesalahannya
dengan datang ke studio lukis sekaligus rumah Andi. Entah kenapa Andi tertarik
dengan kegigihan Sadina. Dia pun mengizinkan Sadina naik ke lantai tiga, di
mana hanya keluarga dan teman terdekat yang boleh masuk.
"Orang
bilang jatuh cinta itu absurd. Aneh. Tidak masuk akal. Sadina merasa dirinya
hanya buang-buang waktu jika dia terus berusaha memikirkan alasan untuk menolak
dari segala sesuatu yang absurd dan tidak masuk akal ini." – halaman 207
Banyak yang mengecewakan dari Picture Perfect ini. Tokoh utamanya
menyebalkan, sudut pandang orang ketiga tak terbatas yang membingungkan
sekaligus terlalu ‘informatif’, terlalu banyak narasi, ada konflik emas yang
tersia-siakan, dan di akhir aku sadar kalau sinopsisnya berlebihan. Anehnya aku
masih bisa menikmati ceritanya dan bertahan sampai halaman akhir. Aku rasa ini
karena gaya penulisannya yang enak dibaca. Aku juga menyukai chemistry antara Sadina dan Andi. Kalau
mereka bertemu, mengobrol bahkan berantem, dunia serasa milik mereka berdua
saja. Tokoh lain yang sedang bersama mereka, siapapun itu, jadi terlupakan dan
tidak penting, hahaha. Lalu ada bagian yang aku suka dan cukup membekas. Bagian
ini sebenarnya salah satu pertengkaran antara Sadina dan Andi, di mana Sadina
minta dilukis oleh Andi, sama seperti Andi melukis wanita lainnya. Ada
referensi ke film Titanic pula. Aku jadi ngebayangin Sadina sebagai Rose
berkata kepada Andi sebagai Jack, ‘draw me
like one of your French girls’.
Walaupun begitu, gaya penulisan
yang mengalir tidak bisa terus-terusan menutupi kekurangan yang ada. Sadina
sebagai tokoh utama di sini tidak berhasil mengambil rasa simpatiku. Dia
menyikapi kasus korupsi yang menimpa ayahnya dan kehidupannya dengan kekanak-kanakan
dan menyebalkan. Ini mungkin masuk ke fase denial
dan dipikir-pikir pas juga. Tapi aku sudah terlanjur ilfeel. Lalu sudut pandang orang ketiga tak terbatas yang digunakan
malah mengurangi rasa penasaran. Sudut pandang yang utamanya sih dari Sadina.
Tapi posisinya akan berubah jika Sadina sedang terinteraksi dengan tokoh lain
seperti Andi, Utari dan teman-temannya. Semuanya jadi dijelaskan. Aku mengerti
maksudnya, agar pembaca tahu yang Sadina tidak tahu atau menjelaskan latar
belakang tokoh tanpa dikatakan oleh yang bersangkutan, tapi ini berlebihan. Mungkin
akan lebih baik sudut pandangnya fokus pada Sadina, kalau mau ditambah bisa
sama Andi, yang punya peran cukup besar.
Selanjutnya, cerita ini kekurangan
dialog. Aku jadi merasa ceritanya agak datar dan berjarak dengan
tokoh-tokohnya. Ada satu bagian di mana Sadina bertemu dengan Andi setelah
wawancara selesai. Mereka mengobrol dan katanya menjadi lebih dekat. Tapi semua
itu hanya dinarasikan saja, tidak ada dialog atau detail percakapannya seperti
apa. Bagian itu jadi sia-sia dan gampang terlupakan. Hal lain yang
tersia-siakan adalah konflik Sadina dengan mantannya, Ben dan teman baiknya,
Gadis. Entah kenapa masalah ini dimunculkan, dilupakan lalu muncul di bagian akhir
dengan penyelesaian yang tidak memuaskan. Padahal konflik itu berpotensi besar
untuk menguji hubungan Sadina dengan Andi. Apalagi hubungan mereka belum
menemukan batu sandungan yang benar-benar berat. Kasus korupsi? Tidak
disebut sampai halaman 200an. Tidak pula muncul di sesi wawancara atau menginspirasi
karya-karya Andi. Oleh sebab itu aku merasa sinopsis di bagian belakang cover itu berlebihan, agak spoiler malahan. Sayang sekali, karena topik
korupsi itu cukup ‘Indonesia banget’ dan menarik buat digali.
At last, Picture Perfect
belum bisa menyajikan cerita cinta berlatar belakang korupsi dengan baik. Tapi
gaya penulisannya membuatku menikmati ceritanya. Kuharap modal itu bisa
dipertahankan. Untuk aspek-aspek lainnya
semoga bisa dikembangkan dan dilatih agar lebih baik. Untuk penulisnya, terus
berkarya, ya ;D
No comments:
Post a Comment
Thanks for leave your comment :D