Dahlian
244 Halaman
GagasMedia, Oktober 2010
Rp. 35.000,-
Kau membuat semuanya terasa mudah.
Kau tak mendesakku untuk langsung percaya - kau menunggu. Kau tak
berjanji akan membuat luka di hatiku benar-benar sembuh, tapi kau bersedia
menangis dan merasakan sakitnya bersamaku. Tak peduli sebanyak apa aku
menyangkal arti dirimu, kau tetap disini bersamaku.
Aku tak bisa membayangkan hidup tanpa dirimu. Aku tak bisa membayangkan
hari-hari tanpa senyumanmu. Bagaimana rasanya hidup tanpa suara tawamu? Aku tak
tahu. Aku tak ingin tahu.
Jadi, beri aku sedikit waktu.
Aku akan berusaha semampuku sampai bisa mencintaimu sebesar kau
mencintaiku.
Sedikit waktu lagi sampai aku layak mendapatkanmu....
Sebenarnya aku bingung akan baca
buku apa selanjutnya. ‘Pemberontakan’ dari genre dan jadwal yang sudah kubuat,
malah memberiku kebebasan yang tak terbatas. Lalu aku ingat kalau aku belum
membaca buku untuk salah satu reading
challenge tahun ini, tepatnya untuk membaca semua karya Dahlian. The Pilot's Woman terpilih karena judul
ini yang pertama aku temukan di rak Pittimos dan benar-benar karya penulis
seorang, bukan duet. Now, let’s review it
:D
"Selama
ini, kata ‘lumpuh’ hanyalah sebuah kata tanpa makna baginya. Namun, kata-kata
itu kini menjadi bagian dari dirinya. Bahkan, untuk seumur hidup! Erick merasa
semua impiannya telah lenyap. Semua yang telah diperjuangkannya, semua kerja
kerasnya, tidak lagi berarti." – halaman 5
Kehidupan Erick Corsair, pilot
pesawat F-16 Fighting Falcon, berubah 180 derajat setelah mengalami kecelakaan
tragis yang membuat kedua kakinya lumpuh. Satu persatu orang terdekatnya mulai
meninggalkannya, dari kedua orangtuanya sampai tunangannya, Agnes, yang
seharusnya dia nikahi dalam waktu dekat. Seorang diri, Erick melewati perawatannya
di RUSPAU Lanud Perdanakusuma, menunggu tulangnya kembali menyatu dan menanti
kehidupan barunya di asrama Rehabilitasi Penyandang Cacat.
Rhenata, salah satu perawat,
mendadak harus memenuhi tugas untuk memandikan Erick, menggantikan perawat yang
absen. Rhenata lalu mengenali Erick sebagai pilot ramah dan karismatik yang membuat
masa magangnya lebih menyenangkan bertahun-tahun yang lalu. Tapi Erick tidak
mengenali perempuan itu sedikit pun. Dia malah menolak segala perawatan dan
perhatian semua orang, terutama Rhenata yang menurutnya sangat keras kepala.
Rhenata tidak menyerah begitu saja. Tiap harinya dia mengecek keadaan Erick,
memberi sapaan singkat sampai membawakan makanan, bunga dan novel.
"Rhenata
tidak tahu apakah ia bisa membantu Erick, tapi ia sungguh-sungguh ingin
melakukannya. Ia ingin mendobrak cangkang yang dibangun lelaki itu. Ia ingin
masuk dan menarik Erick ke luar." – halaman 30
The Pilot's Woman punya cerita yang begitu romantis dan mengharukan
sekaligus membosankan dan agak datar dalam saat yang sama. Aneh sekali bisa
begitu menikmati suatu cerita sambil tetap mengkritik beberapa bagiannya dengan
cukup pedas. Itu juga yang terjadi dalam hubungan Erick dan Rhenata. Aku sangat
tersentuh dengan perjuangan Rhenata untuk mendekati Erick. Dia tak menyerah
sampai main tarik ulur segala (yang ternyata berhasil ;p). Saat
Erick mulai menikmati perhatian itu, dia ragu tapi tidak rela untuk menolak.
Rhenata juga merasakan hal yang kurang lebih sama. Rasanya canggung dan serba
salah bila berdekatan dengan orang yang disukai, tetapi rasanya lebih menderita
jika berjauhan dengannya. Dua sudut pandang yang dipakai makin membuatku
geregetan! Pada awalnya aku agak kecewa dengan pergantian sudut pandangnya yang
seenaknya. Tapi semuanya ditulis dengan rapi. Begitu juga dengan narasinya yang
tanpa typo dan sangat detail mendeskripsikan
setiap gerak-gerik sampai detak jantung. Benar-benar sukses mencampuraduk
perasaanku, apalagi ada aksi heroik Erick yang bikin siapapun meleleh. Selain
itu pemaparan kehidupan Erick sebagai pilot, segala istilah perawatan dan kehidupan
difabel cukup menarik. Penulis meriset dan menuliskan hal-hal tersebut dengan
baik.
Namun, aku heran kenapa tidak ada
bagian atau sedikit penjelasan tentang kehidupan Rhenata di luar profesinya
sebagai perawat. Sampai akhir cerita, aku tidak tahu nama akhirnya (atau
mungkin terlewat?). Terlepas dari kebaikan bagai dewi khayangannya, aku sulit
untuk mendukungnya bersama tokoh utama. Bagaimana bisa? Aku tidak tahu
pribadinya secara keseluruhan, apalagi Erick. Lalu aku tidak menemukan konflik
yang menghalangi hubungan Erick dan Rhenata. Lumpuh? Rhenata terlanjur jatuh
hati dan siap dalam segala kondisi. Hubungan pasien dan perawat? Katanya sudah
biasa dan tidak ada larangan khusus. Masalah yang muncul malah kesalahpahaman
yang memalukan. Masalah itu mungkin bisa dihindari kalau Erick dan Rhenata
lebih banyak mengobrol tentang kehidupan sehari-hari, bukan sekedar basa-basi
seperti ‘apa kabar?’, ‘sudah makan? ‘ dan ‘selamat beristirahat’. Minimnya
dialog yang berisi membuat cerita jadi berasa tak berujung. Bahkan, banyak bagian
seperti ungkapan atau gerakan terulang. Apa ‘memasukkan kedua tangan ke saku
seragam’ adalah tanda kegugupan Rhenata atau semua perawat selalu punya
kebiasaan seperti itu? Lalu narasinya lama-lama membuatku capek. Aku sampai
membayangkan bagaimana satu tingkah Erick, seperti diam-diam menatap Rhenata,
tanpa deskripsi tentang perasaannya yang sangat lengkap. Mungkin tatapan itu
akan terlihat sangat sederhana, terlupakan secepat gerakannya dan tidak menyita
seluruh pikiranku.
At last, hubungan Erick dan Rhenata dalam The Pilot's Woman mengacak-ngacak kepalaku sehingga aku bingung
apakah aku suka atau benci dengan ceritanya. Rasa lega saat menyelesaikannya
pun terasa mempunyai makna ganda. Yang pasti, aku tidak kecewa dengan tulisan
Dahlian dan excited buat baca
karya-karyanya yang lain :D
No comments:
Post a Comment
Thanks for leave your comment :D