Tuesday, March 31, 2015

The Pilot's Woman

 Dahlian
244 Halaman
GagasMedia, Oktober 2010
Rp. 35.000,-

Kau membuat semuanya terasa mudah.

Kau tak mendesakku untuk langsung percaya - kau menunggu. Kau tak berjanji akan membuat luka di hatiku benar-benar sembuh, tapi kau bersedia menangis dan merasakan sakitnya bersamaku. Tak peduli sebanyak apa aku menyangkal arti dirimu, kau tetap disini bersamaku.

Aku tak bisa membayangkan hidup tanpa dirimu. Aku tak bisa membayangkan hari-hari tanpa senyumanmu. Bagaimana rasanya hidup tanpa suara tawamu? Aku tak tahu. Aku tak ingin tahu.

Jadi, beri aku sedikit waktu.
Aku akan berusaha semampuku sampai bisa mencintaimu sebesar kau mencintaiku.

Sedikit waktu lagi sampai aku layak mendapatkanmu....

Sebenarnya aku bingung akan baca buku apa selanjutnya. ‘Pemberontakan’ dari genre dan jadwal yang sudah kubuat, malah memberiku kebebasan yang tak terbatas. Lalu aku ingat kalau aku belum membaca buku untuk salah satu reading challenge tahun ini, tepatnya untuk membaca semua karya Dahlian. The Pilot's Woman terpilih karena judul ini yang pertama aku temukan di rak Pittimos dan benar-benar karya penulis seorang, bukan duet. Now, let’s review it :D

"Selama ini, kata ‘lumpuh’ hanyalah sebuah kata tanpa makna baginya. Namun, kata-kata itu kini menjadi bagian dari dirinya. Bahkan, untuk seumur hidup! Erick merasa semua impiannya telah lenyap. Semua yang telah diperjuangkannya, semua kerja kerasnya, tidak lagi berarti." – halaman 5

Kehidupan Erick Corsair, pilot pesawat F-16 Fighting Falcon, berubah 180 derajat setelah mengalami kecelakaan tragis yang membuat kedua kakinya lumpuh. Satu persatu orang terdekatnya mulai meninggalkannya, dari kedua orangtuanya sampai tunangannya, Agnes, yang seharusnya dia nikahi dalam waktu dekat. Seorang diri, Erick melewati perawatannya di RUSPAU Lanud Perdanakusuma, menunggu tulangnya kembali menyatu dan menanti kehidupan barunya di asrama Rehabilitasi Penyandang Cacat.

Rhenata, salah satu perawat, mendadak harus memenuhi tugas untuk memandikan Erick, menggantikan perawat yang absen. Rhenata lalu mengenali Erick sebagai pilot ramah dan karismatik yang membuat masa magangnya lebih menyenangkan bertahun-tahun yang lalu. Tapi Erick tidak mengenali perempuan itu sedikit pun. Dia malah menolak segala perawatan dan perhatian semua orang, terutama Rhenata yang menurutnya sangat keras kepala. Rhenata tidak menyerah begitu saja. Tiap harinya dia mengecek keadaan Erick, memberi sapaan singkat sampai membawakan makanan, bunga dan novel.


"Rhenata tidak tahu apakah ia bisa membantu Erick, tapi ia sungguh-sungguh ingin melakukannya. Ia ingin mendobrak cangkang yang dibangun lelaki itu. Ia ingin masuk dan menarik Erick ke luar." – halaman 30

The Pilot's Woman punya cerita yang begitu romantis dan mengharukan sekaligus membosankan dan agak datar dalam saat yang sama. Aneh sekali bisa begitu menikmati suatu cerita sambil tetap mengkritik beberapa bagiannya dengan cukup pedas. Itu juga yang terjadi dalam hubungan Erick dan Rhenata. Aku sangat tersentuh dengan perjuangan Rhenata untuk mendekati Erick. Dia tak menyerah sampai main tarik ulur segala (yang ternyata berhasil ;p). Saat Erick mulai menikmati perhatian itu, dia ragu tapi tidak rela untuk menolak. Rhenata juga merasakan hal yang kurang lebih sama. Rasanya canggung dan serba salah bila berdekatan dengan orang yang disukai, tetapi rasanya lebih menderita jika berjauhan dengannya. Dua sudut pandang yang dipakai makin membuatku geregetan! Pada awalnya aku agak kecewa dengan pergantian sudut pandangnya yang seenaknya. Tapi semuanya ditulis dengan rapi. Begitu juga dengan narasinya yang tanpa typo dan sangat detail mendeskripsikan setiap gerak-gerik sampai detak jantung. Benar-benar sukses mencampuraduk perasaanku, apalagi ada aksi heroik Erick yang bikin siapapun meleleh. Selain itu pemaparan kehidupan Erick sebagai pilot, segala istilah perawatan dan kehidupan difabel cukup menarik. Penulis meriset dan menuliskan hal-hal tersebut dengan baik.

Namun, aku heran kenapa tidak ada bagian atau sedikit penjelasan tentang kehidupan Rhenata di luar profesinya sebagai perawat. Sampai akhir cerita, aku tidak tahu nama akhirnya (atau mungkin terlewat?). Terlepas dari kebaikan bagai dewi khayangannya, aku sulit untuk mendukungnya bersama tokoh utama. Bagaimana bisa? Aku tidak tahu pribadinya secara keseluruhan, apalagi Erick. Lalu aku tidak menemukan konflik yang menghalangi hubungan Erick dan Rhenata. Lumpuh? Rhenata terlanjur jatuh hati dan siap dalam segala kondisi. Hubungan pasien dan perawat? Katanya sudah biasa dan tidak ada larangan khusus. Masalah yang muncul malah kesalahpahaman yang memalukan. Masalah itu mungkin bisa dihindari kalau Erick dan Rhenata lebih banyak mengobrol tentang kehidupan sehari-hari, bukan sekedar basa-basi seperti ‘apa kabar?’, ‘sudah makan? ‘ dan ‘selamat beristirahat’. Minimnya dialog yang berisi membuat cerita jadi berasa tak berujung. Bahkan, banyak bagian seperti ungkapan atau gerakan terulang. Apa ‘memasukkan kedua tangan ke saku seragam’ adalah tanda kegugupan Rhenata atau semua perawat selalu punya kebiasaan seperti itu? Lalu narasinya lama-lama membuatku capek. Aku sampai membayangkan bagaimana satu tingkah Erick, seperti diam-diam menatap Rhenata, tanpa deskripsi tentang perasaannya yang sangat lengkap. Mungkin tatapan itu akan terlihat sangat sederhana, terlupakan secepat gerakannya dan tidak menyita seluruh pikiranku.

At last, hubungan Erick dan Rhenata dalam The Pilot's Woman mengacak-ngacak kepalaku sehingga aku bingung apakah aku suka atau benci dengan ceritanya. Rasa lega saat menyelesaikannya pun terasa mempunyai makna ganda. Yang pasti, aku tidak kecewa dengan tulisan Dahlian dan excited buat baca karya-karyanya yang lain :D

No comments:

Post a Comment

Thanks for leave your comment :D