Monday, June 27, 2016

Wheels and Heels

Irene Dyah Respati
Editor: Pradita Seti Rahayu
320 Halaman
Elex Media Komputindo, November 2015

Pangeran memalsukan citra saat bertemu Cinderella di belantara
Cinderella memalsukan busana saat berdansa dengan Pangeran di istana 
Dan toh, mereka bahagia selamanya 

Abhilaasha tak bisa lepas dari gaun mewah, high heels, dan dunia gemerlapnya. Sedangkan, Aidan selalu lekat dengan kemeja aneh, serbakaku, dan dunia otomotifnya. 

Dua dunia berbeda itu mempertemukan Abby dan Aidan. 

Mereka berperan, berpura-pura, beradu dalam rahasia. 

Ketika kejujuran ditunjukkan oleh masing-masing pemeran, apakah semua akan tetap sama? 

Tahun lalu, Wheels and Heels bikin aku penasaran dengan warna cover-nya yang ngejreng dan judulnya yang menggoda. Beruntung bulan Maret kemaren aku bisa mendapatkannya langsung dari penulisnya. Tapi karena beban menjelang sidang, pekerjaan sambilan, dan rasa kantuk yang menuntut untuk dipenuhi, novel ini aku baru bisa kubaca di bulan Mei. Nulis review-nya pun super telat, akhir bulan Juni. Aku merasa sangat bersalah, kepada penulisnya yang sudah berbaik hati dan juga tokoh-tokoh di novel ini (masuk akal gak?). Karena ceritanya super seru dan seharusnya aku lebih cepat menyebar luaskan fakta itu. Now, let’s review it! :D

"Aku menelan ludah. Tersinggung. Pria lain bisa jatuh tersandung hanya karena terpesona melihatku. Tapi, monyet satu ini, dia menganggap kerupuk jauh lebih penting daripada aku. KERUPUK!"halaman 39

Abhilaasha ‘Abby’ bekerja sebagai usher dan talent untuk berbagai acara. Berbeda dengan gadis-gadis kaya yang menjadikan pekerjaan tersebut sebagai hobi, Abby bekerja untuk ibu dan ketiga adik perempuan di kampung halamannya. Abby sering dibuat kelimpungan karena ada saja yang ibunya lakukan dan adik-adiknya meminta uang untuk membereskannya. Nicolette, sahabat Abby, menyarankannya untuk menikah dengan pria mapan. Abby sudah berkencan dengan beberapa pria kenalan Nicolette sebelum berhenti karena dia tidak mau mengemis-ngemis.

Di kegiatan training untuk acara peluncuran sebuah mobil, Abby bertemu dengan Aidan. Pria yang bertugas memberikan pengarahan itu kepergok memandangi sepasang kaki Abby yang terbuka. Jika Abby berbicara dengannya, wajah Aidan bisa memerah dan salah tingkah. Sikap kaku Aidan membuat Abby kebingungan. Pria itu bilang tidak nyaman berdekatan dengan wanita glamor, namun dia tampak begitu senang bertemu dengan Abby.

"Kamu jelas punya sepuluh alter ego. Atau lebih. Kamu selalu berubah-ubah, bukan? Dingin, ketus, menjengkelkan. Lalu, berubah jadi lucu dan baik. Berubah lagi jadi pria siluman yang jago menghilang. Dan sebagainya. Jadi, Aidan mana yang asli?" – halaman 130

Wheels and Heels ini cerita romance yang sweeet sekaligus kocak! Dua orang yang berbeda dunia ini tak disangka memberikan cerita asyik yang sangat menghibur. Hal paling kuat di novel ini adalah gaya ceritanya. Cerita dituturkan langsung oleh tokoh utama, Abby. Dia punya gaya cerita yang ceplas-ceplos dan selalu sukses bikin hal paling kecil jadi lucu. Satu bagian yang paling aku ingat adalah saat dia mendeskripsikan lampu mobil Aidan menyalakan lampu untuk belok ke kiri. Sesimpel itu, tapi aku inget banget dan ngakak lagi. Gaya berceritanya seperti ini mengingatkanku dengan novel-novel terjemahan, terutama chicklit GPU, yang berputar pada kehidupan wanita muda yang sibuk menyeimbangkan kehidupan pribadi, cinta, dan karirnya. Kisah Cinderella sering disebut-sebut dan menjadi acuan ‘identitas palsu’ yang dipasang Abby dan Aidan. Ini juga membuatku berpikir ceritanya mungkin retelling ala Indonesia. Benar loh, cerita Abby di sini terasa banget lokalnya. Saat dia menyebutkan makanan Indonesia, seperti sop buntut, cerita tidak terasa ‘jatuh’ atau norak sedikit pun *tepuk tangan*

Semula, aku berpikir cara Abby bercerita ini terlalu banyak penjelasan. Segala hal dia jelasin, dari konflik di kampung halaman sampai bingungnya dia sama kelakuan kucing tetangga, si Tumi. Hal yang pertama terlintas di benakku adalah ‘ceritanya terlalu telling, kurang showing’. Penjelasan Abby yang cukup detail itu juga membuat pergerakan ceritanya sangat lambat. Aku malah sempat pusing dan bosan. Namun, lama-lama aku mengerti dan bisa mengikuti celotehan Abby ini. Gaya berceritanya juga pelan-pelan terlihat seperti ‘showing’. Karena walaupun dia membeberkan semuanya, semua hal itu akan lebih bermakna jika pembaca bisa melihat dan menyimpulkan interaksi di antara tokoh-tokohnya. Status Facebook-nya bisa menjadi contoh yang bagus. Isi status yang rata-rata singkat itu ternyata punya cerita yang sangat panjang dan menarik *tepuk tangan lagi*

Untuk Aidan, aku sempat menduga karakternya adalah bad boy, terutama karena hobi otomotifnya. Ternyata hobinya itu tidak terlalu mendapat sorotan dan dia ini good boy yang shy shy shy, hahahaha. Sempet berharap Aidan punya bagian sendiri alias cerita dari sudut pandangnya. Tapi pada umumnya, tokoh cowok lebih cocok bersikap misterius sih. Jadi cerita pun makin menggemaskan hahaha. Geregetan deh tiap Aidan ngusap-ngusap ujung hidungnya. Namun, tingkah lakunya yang sempat terlihat kekanakkan itu tidak menghilangkan sisi dewasanya sebagai pria. Hubungan dia dan Abby termasuk dewasa/mature. Kedekatan mereka lebih dari teman, tapi tidak memberinya label ‘pacar’ atau apa. Ketika hubungan mereka dihadapi batu sandungan pun, mereka masih bisa berpikir jernih dan mengobrolkannya, tidak main kucing-kucingan atau malah jadi perang dingin. Too good to be true sih, tapi masih banyak konflik lain yang bikin pusing dan membangkitkan kegalauan koq hahaha *lalu baper*

Selain sibuk senyum-senyum sendiri dengan tingkah Aidan saat bertemu Abby, aku juga tertarik dengan dua tokoh pendukung lain. Satu, Nicolette. Dia ini orang yang ngomongnya lebih ceplas-ceplos dibandingkan Abby. Sama seperti sahabatnya, Nico sukses bikin aku ngakak. Aku berharap dia ini bisa jadi tokoh utama di buku penulis selanjutnya. Dua, Tumi. Iya, Tumi, si kucing jantan tetangga yang mampir cuma minta makan. Aku suka karena di rumahku ada kucing betina tetangga yang kelakuannya sama persis. Sayangnya aku alergi buku kucing. Jadi aku nggak bisa elus-elus bulunya yang lebat. Makanya aku iri banget dengan Abby yang bisa menjadikan Tumi sebagai tameng segala. Sungguh, ini rasa iri yang agak aneh, ya, hahaha.

At last, Wheels and Heels menghadirkan cerita romantis Abby dan Aidan dalam format dan gaya bercerita yang komikal. Butuh waktu untuk menyesuaikan diri dan pikiran untuk mencernanya. Tetapi begitu temponya bisa diikuti, dijamin kamu akan jatuh cinta dengan tokoh-tokohnya.  Jadi super penasaran dengan karya penulis yang lainnya. Recommended! :D

2 comments:

  1. Kayanya novel lokal berbau terjemahan ya dhy

    ReplyDelete
  2. Halo Annesya. Iya, gaya bahasanya mirip novel terjemahan. Tapi yang ini ada rasa lokalnya :D

    ReplyDelete

Thanks for leave your comment :D