Wednesday, October 2, 2013

Fade In Fade Out

Wiwien Wintarto
328 Halaman
PT. Gramedia Pustaka Utama, Maret 2013
Rp. 49.000,-

Sinetron itu tidak berkualitas, tidak mendidik, tidak logis, dan karenanya tidak humanis!

Itu yang selalu ditulis Seto dalam resensinya di tabloid remaja Abege. Lalu takdir berkehendak lain ketika ia diberi kesempatan terjun dan masuk langsung ke dunia produksi sinetron. Naskah-naskahnya dilirik beberapa PH di Jakarta. Salah satunya PH besar yang sinetron produksinya kerap ia kritik keras di media.

Bisakah ia mempertahankan idealismenya? Ataukah ia terpaksa realistis dan menyerah terhadap tuntutan dunia bisnis broadcasting dan entertainment yang keras dan tak pandang bulu?

Seto tahu pilihan harus diambil. Begitu pula ketika ia harus menentukan siapa di antara dua sosok cantik yang akan menjadi teman hidupnya. Masalahnya, kedua wanita itu sama-sama tak terjangkau...

Fade In Fade Out menjadi novel ketiga yang aku pinjam dari Pitimoss. Aku udah tertarik dengan novel Metropop ini sejak diterbitkan awal tahun ini. Sinopsis dibagian belakangnya terdengar menarik. Tapi sayangnya masih banyak novel incaran lain yang aku ingin beli dan novel belum masuk daftar. Saat menemukannya di rak Pitimoss, kondisi novel ini masih bagus dan rapi. Hmm, belum banyak yang minjem sepertinya. Apakah para anggota, yang kebanyakan adalah anak sekolahan, tidak tertarik dengan isu ini atau mereka memang menggemar sinetron yang bikin pusing itu? Yaah, apapun itu, aku harusnya seneng-seneng aja karena akhirnya bisa baca novel ini :)

Fade In Fade Out menceritakan tentang seorang editor tabloid Abege di Semarang bernama Seto. Bersama teman-teman sekantornya, Seto senang sekali mengkritik kualitas sinetron primetime. Cerita yang diperlihatkan sinetron tersebut tidak realistis dan hanya menunjukkan konflik, emosi ataupun fisik, yang tidak penting. Jika diberikan kesempatan, Seto ingin sekali merombak ulang dan menjadikan sinetron menjadi tontonan yang lebih baik dan mendidik. Tepat saat itu, dua sinopsis karyanya dilirik dua PH di Jakarta, salah satunya SineStar yang biasa memproduksi sinetron primetime. Cerita Seto itu dipermak abis oleh produser dan jadinya tidak jauh beda dengan sinetron yang biasa Seto kritik. Seto jadi ragu untuk menerima tawaran tersebut, tapi dia tahu uang yang akan dihasilkan tidak sedikit. Saat itu pula Seto dipusingkan oleh urusan perjodohan. Dana, anak sahabat ibunya, itu terbilang cantik dan sempurna. Kedua keluarga besar sangat mendukung. Tapi kenapa Seto lebih tertarik kepada Farah, tetangga sepupunya di Jakarta?

“… Dan dialognya penuh adegan orang ngomong sendiri atau orang membatin berlama-lama sampai lebih dari tiga puluh detik.” – halaman 68

Fade In Fade Out menceritakan kisah yang menarik. Tidak hanya persoalan dunia persinetronan yang hidup demi rating, tapi juga tentang pencarian calon pendamping hidup yang cocok. Kedua hal itu mungkin akan terdengar klise jika diceritakan dari sudut pandang seorang cewek serba ada. Tapi sang pencerita disini adalah seorang cowok sederhana tapi pekerja keras di akhir 20-an. Ceritanya jadi terkesan berbeda. Lebih nyata, apa adanya dan tidak lebay, apalagi jika soal cinta. Walaupun berasal dari cowok, aku setuju dengan komentar-komentar Seto soal dunia pesinetronan di Indonesia. Dia muak, apalagi aku. Pengalamannya mengunjungi lokasi syuting juga sangat mengejutkan. Skenario dibagikan 15 menit sebelum take. Para aktor tidak perlu susah-susah menghafalkan, mereka tinggal mengatakan intinya saja. Sesudah take selesai, adegan itu langsung dikirim untuk diedit dan langsung tayang dua hari kemudian. Aku bingung kenapa masih aja ada yang mau nonton. Kalo tontonan yang tersisa cuma sinetron kayak gitu, aku mending matiin TV dan tidur aja. Dan apakah para artis juga tidak punya power sama sekali? Mereka nurut aja disuruh akting kayak gitu. Pernah kah mereka pegel saat disuruh melotot dan marah-marah mulu? Apakah yang harus disalahkan disini adalah produsernya? Mereka mikir apa sih selain uang dan rating? Hah, jadi kesel sendiri nih :p

Selain menjabarkan dunia sinetron yang bikin geleng-geleng kepala, Fade In Fade Out juga menawarkan cerita Seto yang mencari tempat berlabuh. Dengan latar belakang keluarga yang begitu tradisional, pernikahan menjadi sebuah tuntutan yang harus segera dipenuhi ketika hidup sudah mapan. Tapi Seto tidak mau salah pilih. Dia ingin menghabiskan hidup dengan seseorang yang cocok dengannya, tidak harus sempurna luar dalam, hanya ingin cocok. Karena dari kecocokan itu, semua masalah ataupun perbedaan bisa diatasi :)

“Yah, gampangnya saja, kalau kamu punya mesin ketik, nggak akan ada gunanya kan kamu ketemu pasangan yang sama-sama punya mesin ketik? Mau apa coba? Sama-sama saling mengagumi mesin ketik kalian berdua? Dunia baru hidup dan berjalan kalau kamu dipertemukan dengan orang yang punya kertas. Ketika mesin tik ketemu kertas, banyak hal bermanfaat bisa dibuat dari situ. Dua orang ini jelas nggak sama, tapi justru perbedaan itu membuat keduanya jadi compatible satu sama lain karena saling melengkapi.” Halaman 227

Sayangnya, walaupun banyak hal baru yang aku temukan dari novel ini, Fade In Fade Out mempunyai gaya bahasa yang cukup berat dan serius untukku. Mungkin karena penulis dan tokoh utamanya adalah cowok ya. Aku emang jarang baca novel karya cowok. Lalu dengan font style yang tidak biasa, aku sempat agak pusing mencerna kalimat-kalimat yang ada. Pantesan saja novel ini tidak banyak dipinjam anak sekolahan, mereka mungkin masih nyari cerita yang seneng-seneng dan happy ending. Speaking about ending, Fade In Fade Out mempunyai ending yang bagus banget. Keputusan Seto tentang pilihan hatinya sudah terjawab, tapi tidak dengan masa depan sinetron Indonesia. Dia baru saja masuk dan mencoba merombaknya. Sinetron yang ideal belum terwujud. Tapi dengan pilihan ending seperti itu, pembaca, khususnya yang suka nonton sinetron, akan mengerti dan berpikir sendiri tentang masa depan sinetron. Mereka bahkan mungkin mengambil bagian untuk memperbaikinya, dengan memilih tonton dengan cerdas. Itu secara tidak langsung meneruskan perjuangan Seto. What do you think? :)

At last, Fade In Fade Out mungkin berbeda dengan kebanyakan dengan novel Metropop yang sebelumnya aku baca. Tidak ada keglamoran Jakarta dan kegalauan memilih cowok. Tapi novel ini memberi pesan yang menarik sekaligus membuka wawasan tentang industri sinetron dan juga pemilihan pasangan. Dengan mengambil sudut pandang cowok, dunia pun terlihat berbeda. Very recommended :D

2 comments:

  1. tengkiu sudah mbaca. masih banyak kekurangan, tp semoga bermanpaat. :D

    ReplyDelete
  2. Mau tanya dong, judul resensi yg tepat buat novel ini apa ya? Terima kasih

    ReplyDelete

Thanks for leave your comment :D