Windry Ramadhina
380 halaman
Gagasmedia, Mei 2014
Rp. 58.000,-
Hanna,
listen.
Don’t cry, don’t cry.
The world is envy.
You’re too perfect
and she hates it.
Aku tahu kau menyembunyikan luka di senyummu yang retak. Kemarilah, aku akan menjagamu, asalkan kau mau mengulurkan tanganmu.
“Waktu tidak berputar ulang. Apa yang sudah hilang, tidak akan kembali. Dan, aku sudah hilang.” Aku ingat kata-katamu itu, masih terpatri di benakku.
Aku tidak selamanya berengsek. Bisakah kau memercayaiku, sekali lagi?
Kilat rasa tak percaya dalam matamu, membuatku tiba-tiba meragukan diriku sendiri. Tapi, sungguh, aku mencintaimu, merindukan manis bibirmu.
Apa lagi yang harus kulakukan agar kau percaya? Kenapa masih saja senyum retakmu yang kudapati?
Hanna, kau dengarkah suara itu? Hatiku baru saja patah….
listen.
Don’t cry, don’t cry.
The world is envy.
You’re too perfect
and she hates it.
Aku tahu kau menyembunyikan luka di senyummu yang retak. Kemarilah, aku akan menjagamu, asalkan kau mau mengulurkan tanganmu.
“Waktu tidak berputar ulang. Apa yang sudah hilang, tidak akan kembali. Dan, aku sudah hilang.” Aku ingat kata-katamu itu, masih terpatri di benakku.
Aku tidak selamanya berengsek. Bisakah kau memercayaiku, sekali lagi?
Kilat rasa tak percaya dalam matamu, membuatku tiba-tiba meragukan diriku sendiri. Tapi, sungguh, aku mencintaimu, merindukan manis bibirmu.
Apa lagi yang harus kulakukan agar kau percaya? Kenapa masih saja senyum retakmu yang kudapati?
Hanna, kau dengarkah suara itu? Hatiku baru saja patah….
Siapa coba yang tidak tertarik
baca Interlude? Cover-nya cantik dan nama penulisnya
sangat menjanjikan. Nggak perlu waktu panjang buat mutusin buat beli novel ini.
Aku malah deg-degan saat mau membacanya, gak siap dengan kisah yang katanya
sangat mengharukan (begitulah tweet-tweet
yang muncul di linimasaku). Secara otomatis, harapan aku lumayan tinggi
nih. Sesuai nggak ya dengan isinya? Let’s
review it now :)
"Bagiku, saat ini, aku cuma punya cela."
"Kalau begitu, biar aku jadi lautmu. Aku akan membantumu
meluruhkan semua cela itu."
– halaman 194-195
Setelah
setahun mengambil cuti, Hanna kembali masuk kuliah. Dengan canggung, dia
menghindari tatapan dan bisikan tidak enak tentang apa yang menimpanya dirinya.
Setahun yang lalu dia diperkosa dan mengalami trauma hebat. Lalu ada Kai,
gitaris pandai band beraliran jazz,
Second Day Charm, yang hobi berganti-ganti perempuan, tidak mempedulikan
kuliahnya dan mempunyai keluarga yang diambang kehancuran. Keduanya bertemu di
atap apartemen tempat Hanna indekos. Hanna sedang menyendiri, berharap bisa
menghilang dan melepaskan rasa takutnya, sedangkan Kai memainkan nada-nada
sendu. Hanna tertarik dengan nada tersebut dan nama laki-laki itu yang berarti
laut, sesuatu yang dia sukai. Kai juga tertarik, tapi dalam hal yang berbeda
jauh. Dia mengira Hanna sama seperti perempuan yang lain, malu-malu tapi
mau. Setelah tahu tentang kejadian yang dialami
Hanna lewat Gitta, rekan band sekaligus tetangga apartemen Hanna, Kai menyesal
dan bertekad untuk berubah. Dia meminta Hanna untuk memberinya kesempatan
kedua. Dia juga meminta Hanna memberikan hal yang sama untuk diri dia sendiri,
kesempatan untuk bahagia lagi.
"Masa
lalu seperti belenggu, memang. Mengikat. Terlalu mengikat, kadang. Seperti
menjadi bagian baru di diri kita. Bagian baru yang membebani." – halaman
254
Interlude sepertinya ditulis secara hati-hati. 100 halaman pertama,
aku disuguhkan dengan pengenalan tokoh yang detail dan rapi, lalu berkembang ke
masalah masing-masing tokoh lalu konflik Hanna dan Kai dimulai. Semuanya bikin
aku jatuh cinta, puas karena sesuai dengan harapan tapi aku agak sedikit
ragu-ragu buat lanjut baca. Bukan ragu-ragu karena enggan, tapi ragu karena aku
seperti mengalami konflik batin. Masalah Hanna yang sangat sensitif, terutama
untuk kaum perempuan, sudah mulai jarang aku temui di novel-novel yang aku baca
sebelumnya. Di novel lain, keintiman fisik itu (yang dilakukan tanpa paksaan,
tentunya)
justru menjadi bumbu utama cerita. Lama-lama aku jadi terbiasa dan malah
‘menikmatinya’. Jadi saat aku dihadapi trauma yang dialami Hanna, aku tertohok,
keras, dan merasa malu sendiri. Itu pula yang bikin aku ‘cuti’ meneruskan novel
ini untuk beberapa hari. Aku juga mulai mempertanyakan pemilihan cover cantik itu :o
Tapi rasa penasaran nggak bisa
ditahan. Apalagi aku berhenti di bagian yang cukup rame. Maka, aku beranikan
diri untuk melanjutkannya, langsung sampai habis biar rasa ‘bersalah’ ini
terasa sekalian, sekaligus (perih, Jendral!). Ternyata, 100
halaman berikutnya tidak semenarik 100 halaman sebelumnya. Ceritanya mulai
mengambang dan tidak fokus karena masalah terus bertambah. Tidak hanya tentang
trauma Hanna atau kekecewaan Kai terhadap keluarganya, ada juga masalah Gitta
dengan dua laki-laki, Jun dan Ian. Cerita Gitta ini serasa ‘menghalang-halangi’
kedekatanku dengan Hanna dan Kai. Di bagian ini aku juga mennyadari kalau POV third person limited yang dipakai banyak
dan berpindah-pindah. Tidak masalah sebenarnya, hanya saja ada bagian-bagian
yang seharusnya dramatis malah terbaca lucu dan janggal. Seperti saat Kai
datang menghampiri Hanna dan tidak menyadari dia yang diam-diam menangis. Semua
itu tertulis dalam POV Kai. Kalau Kai tidak sadar, kenapa bisa hal itu bisa
tertulis di bagian dia? Apa berarti ada perpindahan POV yang sangat singkat dan
cepat?
Entahlah, yang pasti aku kurang sreg :(
Bab yang paling aku suka ;D
100+ halaman terakhir aku baca
dengan sedikit malam dan terpaksa. Di bagian ini, masalah Gitta ternyata cukup berpengaruh
kepada Hanna dan Kai. Oh, oke laaah. Setelah itu aku kembali menyukai
ceritanya. Dan mereka benar, saat membacanya aku kadang tertawa, kadang
tersenyum puas dan kadang berusaha menahan tangis! Trauma Hanna dan masalah keluarga
Kai memang terselesaikan cukup gampang dan singkat, tapi yang menarik itu
masalah antara Hanna dan Kai. Senang melihat mereka sadar dan akhirnya
memutuskan untuk berubah menjadi lebih baik demi orang lain, yang memberi
mereka harapan bahagia. Aku khususnya senang ketika bagian Kai jadi lebih
banyak. Aku suka saat sisi-sisi emosional laki-laki diperlihatkan. Bukan
berarti mereka rapuh atau kurang laki, ya. Aku jarang aja menemukan hal seperti
itu di novel lain. And here comes the
ending . . butuh beberapa tarikan
nafas untuk menyelesaikan kalimat-kalimat di halaman 359-362. Aku geregetan,
sumpah!
Nah, itu review tentang ceritanya.
Kini berpindah ke masalah yang sedikit teknis. Untuk gaya bahasa, aku suka
menggunaan bahasa yang agak baku. Hebatnya, kalimat-kalimatnya tetep enak
dibaca. Tapi untuk POV, aku agak kurang suka. Seingatku, Windry biasanya fokus
pada tingkah laku dan pikiran tokoh utama saja, tidak mengurusi tokoh-tokoh
pembantu. Lalu, untuk typo, kayaknya
nggak ada ya. Tapi aku menemukan penulisan kata seperti ‘indekos’ dan ‘setop’
itu unik dan lucu. Mungkin karena bahasa baku, jadinya kayak gitu hahahaha ;p
At last, walaupun aku kurang bisa menikmati bagian pertengahan dan
gaya POVnya, Interlude memenuhi
harapan tinggiku. Ceritanya manis, berbobot (I
still carry that guilt) dan memberiku beberapa pengetahuan baru
tentang laut dan musik jazz. Kapan-kapan mau dong maen ke pulau hihihi. Recommended :D
Pengen dapet buku ini.. Semoga menang d ga kamu ya... :)
ReplyDeletePulau Kapuk mau gak kak?:D Aku baca review ini tepat di Pulau Kapuk (kasur) Dan jengjeng! Kover dan ceritanya sejalan, menarik. Aku jd kepengen baca juga, ahh, andai saja ada hujan uang. Bytheway, indekos itu apa, Kak?
ReplyDelete@Yuliana: amiiinnn :)
ReplyDelete@Annisa: 'indekos' itu bahasa jadulnya buat ngekos. Dulu kata 'indekos' itu muncul di film Warkop :p
Oooh, pantes familiar tp aku gak tau artinya :D Trimakasih kak
ReplyDeleteBaca ini jadi mau baca bukunya langsyng. Mau baca selengkapnyaaaa:'')))
ReplyDeleteAh, jadi makin gak sabar buat baca Interlude! Pengen cepet-cepet libur dan melahap buku ini :D
ReplyDeleteKak Dhyn menulisnya dengan sangat detail sampe ke halaman-halamannya plus ekspresinya yang entah geregetan atau menahan nafas hehe.. Kira-kira pas aku baca bisa se-ekspersif itu gak yaa?
Kisah Kai, Hanna, Gitta, dan Jun mengajarkan arti pentingnya sosok sahabat untuk terus bersama dalam menggapai impiannya. Kai yang selalu ada untuk membantu Jun dan Gitta meraih mimpi mereka dalam karir musiknya..
ReplyDeleteNovel ini juga memberi makna untuk tidak terlalu larut dalam masa lalu. Sekelam apapun masa lalu, itu tidak dapat diubah lagi, jadi sikap yang harusnya ditanamkan adalah masa lalu ada sebagai pembelajaran dalam menghadapi masa depan.