Tuesday, June 10, 2014

Interlude

Windry Ramadhina
380 halaman
Gagasmedia, Mei 2014
Rp. 58.000,-

Hanna,
listen.
Don’t cry, don’t cry.
The world is envy.
You’re too perfect
and she hates it.

Aku tahu kau menyembunyikan luka di senyummu yang retak. Kemarilah, aku akan menjagamu, asalkan kau mau mengulurkan tanganmu.

“Waktu tidak berputar ulang. Apa yang sudah hilang, tidak akan kembali. Dan, aku sudah hilang.” Aku ingat kata-katamu itu, masih terpatri di benakku.

Aku tidak selamanya berengsek. Bisakah kau memercayaiku, sekali lagi?

Kilat rasa tak percaya dalam matamu, membuatku tiba-tiba meragukan diriku sendiri. Tapi, sungguh, aku mencintaimu, merindukan manis bibirmu.

Apa lagi yang harus kulakukan agar kau percaya? Kenapa masih saja senyum retakmu yang kudapati?

Hanna, kau dengarkah suara itu? Hatiku baru saja patah….

Siapa coba yang tidak tertarik baca Interlude? Cover-nya cantik dan nama penulisnya sangat menjanjikan. Nggak perlu waktu panjang buat mutusin buat beli novel ini. Aku malah deg-degan saat mau membacanya, gak siap dengan kisah yang katanya sangat mengharukan (begitulah tweet-tweet yang muncul di linimasaku). Secara otomatis, harapan aku lumayan tinggi nih. Sesuai nggak ya dengan isinya? Let’s review it now :)

"Bagiku, saat ini, aku cuma punya cela."
"Kalau begitu, biar aku jadi lautmu. Aku akan membantumu meluruhkan semua cela itu."
– halaman 194-195

Setelah setahun mengambil cuti, Hanna kembali masuk kuliah. Dengan canggung, dia menghindari tatapan dan bisikan tidak enak tentang apa yang menimpanya dirinya. Setahun yang lalu dia diperkosa dan mengalami trauma hebat. Lalu ada Kai, gitaris pandai band beraliran jazz, Second Day Charm, yang hobi berganti-ganti perempuan, tidak mempedulikan kuliahnya dan mempunyai keluarga yang diambang kehancuran. Keduanya bertemu di atap apartemen tempat Hanna indekos. Hanna sedang menyendiri, berharap bisa menghilang dan melepaskan rasa takutnya, sedangkan Kai memainkan nada-nada sendu. Hanna tertarik dengan nada tersebut dan nama laki-laki itu yang berarti laut, sesuatu yang dia sukai. Kai juga tertarik, tapi dalam hal yang berbeda jauh. Dia mengira Hanna sama seperti perempuan yang lain, malu-malu tapi mau.  Setelah tahu tentang kejadian yang dialami Hanna lewat Gitta, rekan band sekaligus tetangga apartemen Hanna, Kai menyesal dan bertekad untuk berubah. Dia meminta Hanna untuk memberinya kesempatan kedua. Dia juga meminta Hanna memberikan hal yang sama untuk diri dia sendiri, kesempatan untuk bahagia lagi.

"Masa lalu seperti belenggu, memang. Mengikat. Terlalu mengikat, kadang. Seperti menjadi bagian baru di diri kita. Bagian baru yang membebani." – halaman 254

Interlude sepertinya ditulis secara hati-hati. 100 halaman pertama, aku disuguhkan dengan pengenalan tokoh yang detail dan rapi, lalu berkembang ke masalah masing-masing tokoh lalu konflik Hanna dan Kai dimulai. Semuanya bikin aku jatuh cinta, puas karena sesuai dengan harapan tapi aku agak sedikit ragu-ragu buat lanjut baca. Bukan ragu-ragu karena enggan, tapi ragu karena aku seperti mengalami konflik batin. Masalah Hanna yang sangat sensitif, terutama untuk kaum perempuan, sudah mulai jarang aku temui di novel-novel yang aku baca sebelumnya. Di novel lain, keintiman fisik itu (yang dilakukan tanpa paksaan, tentunya) justru menjadi bumbu utama cerita. Lama-lama aku jadi terbiasa dan malah ‘menikmatinya’. Jadi saat aku dihadapi trauma yang dialami Hanna, aku tertohok, keras, dan merasa malu sendiri. Itu pula yang bikin aku ‘cuti’ meneruskan novel ini untuk beberapa hari. Aku juga mulai mempertanyakan pemilihan cover cantik itu :o

Tapi rasa penasaran nggak bisa ditahan. Apalagi aku berhenti di bagian yang cukup rame. Maka, aku beranikan diri untuk melanjutkannya, langsung sampai habis biar rasa ‘bersalah’ ini terasa sekalian, sekaligus (perih, Jendral!). Ternyata, 100 halaman berikutnya tidak semenarik 100 halaman sebelumnya. Ceritanya mulai mengambang dan tidak fokus karena masalah terus bertambah. Tidak hanya tentang trauma Hanna atau kekecewaan Kai terhadap keluarganya, ada juga masalah Gitta dengan dua laki-laki, Jun dan Ian. Cerita Gitta ini serasa ‘menghalang-halangi’ kedekatanku dengan Hanna dan Kai. Di bagian ini aku juga mennyadari kalau POV third person limited yang dipakai banyak dan berpindah-pindah. Tidak masalah sebenarnya, hanya saja ada bagian-bagian yang seharusnya dramatis malah terbaca lucu dan janggal. Seperti saat Kai datang menghampiri Hanna dan tidak menyadari dia yang diam-diam menangis. Semua itu tertulis dalam POV Kai. Kalau Kai tidak sadar, kenapa bisa hal itu bisa tertulis di bagian dia? Apa berarti ada perpindahan POV yang sangat singkat dan cepat? Entahlah, yang pasti aku kurang sreg :(

Bab yang paling aku suka ;D

100+ halaman terakhir aku baca dengan sedikit malam dan terpaksa. Di bagian ini, masalah Gitta ternyata cukup berpengaruh kepada Hanna dan Kai. Oh, oke laaah. Setelah itu aku kembali menyukai ceritanya. Dan mereka benar, saat membacanya aku kadang tertawa, kadang tersenyum puas dan kadang berusaha menahan tangis! Trauma Hanna dan masalah keluarga Kai memang terselesaikan cukup gampang dan singkat, tapi yang menarik itu masalah antara Hanna dan Kai. Senang melihat mereka sadar dan akhirnya memutuskan untuk berubah menjadi lebih baik demi orang lain, yang memberi mereka harapan bahagia. Aku khususnya senang ketika bagian Kai jadi lebih banyak. Aku suka saat sisi-sisi emosional laki-laki diperlihatkan. Bukan berarti mereka rapuh atau kurang laki, ya. Aku jarang aja menemukan hal seperti itu di novel lain. And here comes the ending . .  butuh beberapa tarikan nafas untuk menyelesaikan kalimat-kalimat di halaman 359-362. Aku geregetan, sumpah!

Nah, itu review tentang ceritanya. Kini berpindah ke masalah yang sedikit teknis. Untuk gaya bahasa, aku suka menggunaan bahasa yang agak baku. Hebatnya, kalimat-kalimatnya tetep enak dibaca. Tapi untuk POV, aku agak kurang suka. Seingatku, Windry biasanya fokus pada tingkah laku dan pikiran tokoh utama saja, tidak mengurusi tokoh-tokoh pembantu. Lalu, untuk typo, kayaknya nggak ada ya. Tapi aku menemukan penulisan kata seperti ‘indekos’ dan ‘setop’ itu unik dan lucu. Mungkin karena bahasa baku, jadinya kayak gitu hahahaha ;p

At last, walaupun aku kurang bisa menikmati bagian pertengahan dan gaya POVnya, Interlude memenuhi harapan tinggiku. Ceritanya manis, berbobot (I still carry that guilt) dan memberiku beberapa pengetahuan baru tentang laut dan musik jazz. Kapan-kapan mau dong maen ke pulau hihihi. Recommended :D

7 comments:

  1. Pengen dapet buku ini.. Semoga menang d ga kamu ya... :)

    ReplyDelete
  2. Pulau Kapuk mau gak kak?:D Aku baca review ini tepat di Pulau Kapuk (kasur) Dan jengjeng! Kover dan ceritanya sejalan, menarik. Aku jd kepengen baca juga, ahh, andai saja ada hujan uang. Bytheway, indekos itu apa, Kak?

    ReplyDelete
  3. @Yuliana: amiiinnn :)

    @Annisa: 'indekos' itu bahasa jadulnya buat ngekos. Dulu kata 'indekos' itu muncul di film Warkop :p

    ReplyDelete
  4. Oooh, pantes familiar tp aku gak tau artinya :D Trimakasih kak

    ReplyDelete
  5. Baca ini jadi mau baca bukunya langsyng. Mau baca selengkapnyaaaa:'')))

    ReplyDelete
  6. Ah, jadi makin gak sabar buat baca Interlude! Pengen cepet-cepet libur dan melahap buku ini :D
    Kak Dhyn menulisnya dengan sangat detail sampe ke halaman-halamannya plus ekspresinya yang entah geregetan atau menahan nafas hehe.. Kira-kira pas aku baca bisa se-ekspersif itu gak yaa?

    ReplyDelete
  7. Kisah Kai, Hanna, Gitta, dan Jun mengajarkan arti pentingnya sosok sahabat untuk terus bersama dalam menggapai impiannya. Kai yang selalu ada untuk membantu Jun dan Gitta meraih mimpi mereka dalam karir musiknya..

    Novel ini juga memberi makna untuk tidak terlalu larut dalam masa lalu. Sekelam apapun masa lalu, itu tidak dapat diubah lagi, jadi sikap yang harusnya ditanamkan adalah masa lalu ada sebagai pembelajaran dalam menghadapi masa depan.

    ReplyDelete

Thanks for leave your comment :D