Di awal bulan April lalu, aku dan
teman-teman seperkuliahan terjebak hujan besar. Kami yang bereuni untuk
menghadiri acara resepsi pernikahan salah satu teman berkumpul di dalam gedung
serba guna, yang sudah mulai dibereskan, bahkan pasangan pengantinnya sendiri
sudah pulang duluan. Walaupun obrolan dan tawa cukup ramai, kami sesekali
mengecek layar ponsel di tangan masing-masing. Aku mengecek info lalu lintas di
Twitter, chatting dengan teman lain
yang berhalangan datang di LINE dan diam-diam menghitung selisih jumlah
penonton video yang kuunggah ke YouTube. Koneksi sedang terhalang cuaca buruk
dan masa aktif paket unlimited-ku
sudah hampir habis, jadi hanya halaman putih dengan header merah yang terlihat selama beberapa menit.
Aku menunggu dengan tenang dan
cukup sabar sampai tersentak dengan ucapan salah satu teman yang duduk di
sebelahku.
"Dhyn, kamu ternyata punya akun
Path, ya. Koq nggak accept invitation
dari-ku?"
"Ini YouTube, bukan Path,"
jelasku yang baru sadar kedua aplikasi itu punya tampilan yang hampir sama.
Langsung aku tutup aplikasi itu dan membalikkan layar ponselku.
Terlambat. Semua pandangan sudah
terarah padaku.
"Iya, invitation dariku juga belum di-accept," sahut teman yang lain.
"Tenang aja, nggak ada yang aku accept koq,"
"Jadi sendirian aja di
Path?"
"Um, iya begitu, lah," wajah
dan leherku rasanya sangat panas, kontras dengan hujan lebat dan petir di luar.
"Teu rame atuh,"
"Daripada ada yang nge-screenshot status kamu dan tersebar di
mana-mana. Aku takut. Mending nggak usah main sekalian,"
Entah bagaimana, perhatian mereka teralih
dariku. Aku sangat lega. Sejak saat itu aku agak hati-hati jika membuka YouTube
di tempat umum. Agak malu juga ketahuan memeriksa video-video sendiri dengan
wajah harap-harap cemas. Tapi aku nggak bakal ngebahas tentang YouTube di sini.
Aku mau menjawab dengan sejelas-jelasnya kenapa aku memilih tidak menggunakan
Path seperti teman-teman lainnya.
Aku punya akun Path yang dipenuhi
status-status tidak penting dengan invitation
yang cukup banyak.
Akun itu iseng-iseng aku buat di PC
dengan mengklik status milik orang lain. Saat itu aku merasa ketinggalan karena
tidak bisa mem-posting status dengan link Path sebagai penutup. Karena aku
belum punya ponsel pintar, akun itu tidak bisa difungsikan dengan semestinya.
Aku tentu kecewa tapi dengan cepat lupa. Aku baru sadar akun tersebut eksis
saat aku meng-install aplikasi Path
di Android-ku berbulan-bulan kemudian. Dengan semangat, aku mengubah tampilan
profil, menambahkan fotoku dan melihat-lihat fiturnya seperti pilihan statusnya
yang menarik.
Kegiatan mengekspolasi itu sering kali
terganggu karena tiba-tiba saja aplikasinya tidak responsif sampai menutup
dengan sendirinya. Aku stres karena butuh waktu yang sangat lama untuk
menemukan lagu yang sedang aku dengarkan atau judul buku yang kubaca. Di proses
itu, aku harus siap-siap kecewa jika aplikasinya eror. Aku sampai menyalahkan
ketidakmahiranku dengan perangkat elektronik (padahal tidak ada hubungannya).
Akun Path itu ogah kubuka untuk waktu yang cukup lama. Aku baru membukanya lagi
saat kejadian yang hampir mirip ada pada akun WhatsApp. Ternyata aku harus
meng-update aplikasi tersebut secara
berkala karena versi lama tidak akan berkerja saat versi baru muncul. Anehnya
itu hanya berlaku pada Path, WhatsApp dan LINE. Yang lain masih baik-baik saja.
Oke, lah. Aku mulai rajin memeriksa
dan update aplikasi yang ku-install.
Setelah masalah itu teratasi, aku bisa
membuat status lebih lancar. Lalu masalah baru muncul, siapa orang-orang yang
boleh membaca semua itu? Apalagi, saat itu jumlah teman yang bisa di-add di Path masih dibatasi. Teman dekat
yang kuperkirakan mempunyai akun Path masih bisa ditampung. Tapi tunggu dulu,
itu hanya teman kuliah, bagaimana dengan teman SMA, SMP, SD, tempat les,
ekskul, teman dari teman, dan lainnya? Rasanya tidak adil jika aku melewatkan
salah satu dari mereka karena aku memilih orang lain yang kurasa lebih pantas
untuk membaca statusku.
Di tengah perdebatan batin itu, ramai
berita status makian di Path yang di screenshot
di Twitter. Menyeramkan sekali. Tidak hanya cara berpikir pemilik status itu
tapi juga seseorang yang tega menyebarkannya. Mereka seriusan ‘berteman’? Dan
bukankah Path seharusnya menjadi tempat berbagi yang lebih tertutup dibandingkan
dengan Twitter?
Kenapa
serius banget?
Kamu boleh menganggapku terlalu serius
menilai media sosial. Tapi semakin dalam hidup di dunia maya, semakin penting
peranannya di kehidupan nyata. Semuanya bukan sekedar main-main atau asal
menuliskan sesuatu yang tak bisa dilakukan secara lisan. Dulu aku sempat naif
dan berpikir seperti itu. Sekarang aku sudah punya pengalaman yang cukup dan bisa
berpikir lebih bijak. Semua status yang kubuat selalu melalui petimbangan yang
panjang. Jika tidak cukup penting, aku tidak akan mem-posting-nya. Jika sudah terlanjur, aku akan menghapusnya dengan
segera.
Sayangnya status-status di Path masih
dalam masa labil. Beberapa enggan kuhapus karena ada beberapa yang kurasa cukup
penting dan tidak bisa dibagi di Twitter atau blog. Maka dari itu aku
mempertahankan akun dan isinya tapi tidak berniat meng-accept invitation pertemanan.
Dari siapapun.
Statusku memang tidak cukup penting untuk
di-screenshot dan disebarkan. Aku
hanya berjaga-jaga dan tidak mau memberi kesempatan pada siapapun. Lagian aku
belum pernah memberitahu siapa-siapa bahwa aku punya Path. Ya, mungkin beberapa
status dengan sengaja aku ikut share ke Twitter (dan dihapus kemudian). Tetap
saja, dari mana mereka, bahkan teman yang sangat lama dan sepupu, tahu?
Hal itu dengan cepat kuabaikan.
Aku mau tenang dengan akun Path-ku.
Aku cukup sering mem-posting
status tentang lagu yang kudengarkan, buku yang kubaca, tempat-tempat yang
kukunjungi, foto-foto makanan, sampai kalimat-kalimat tak penting. Aku simpan
sebagai kenang-kenangan dan bisa lihat di kemudian hari. Apa sih yang aku makan
minggu lalu?
Kapan aku terakhir kali makan di sana? Sangat menarik untuk kembali dan
melihat kejadian itu dengan detail, sampai jam dan menitnya. Setelah beberapa
lama, aku sadar kegiatanku sangat membosankan.
Aku makan menu yang sama di tempat
yang sama dengan jadwal yang sama setiap bulannya.
Agak membuatku merasa depresi,
sedih dan kesepian.
Lalu aku berhenti membuka Path.
Aku tidak meng-update-nya secara
berkala.
Aku tidak mencoba sign in kalau ponselku di-reboot.
Aku membiarkannya seakan-akan
aplikasi itu tidak ada.
Kalau kamu pikir masalahnya
adalah ketidakhadiran teman-teman di akun tersebut, aku tidak setuju.
Masalahnya adalah sebuah kesadaran bahwa aku tertinggal satu langkah di belakang
mereka. Buktinya perasaan negatif itu terasa saat aku ada di Twitter dan
Instagram. Aku masih aktif di kedua akun itu untuk berbagai alasan. Tapi aku
tidak merasakan hal yang sama dengan Path. Jadi aku tidak peduli saat aplikasi
itu broken seperti saat pertama kali
aku meng-install-nya.
Tampilan di atas sering muncul
mendadak, membuatku kesal. Di hari dan waktu yang tidak kuingat, aplikasi itu
ku-uninstall.
Nah, begitu, lah, penjelasanku
untuk akun Path yang kupunya. Jadi jangan marah kalau invitation pertemananmu tak kunjung aku accept. Ada pikiran untuk meng-install-nya
lagi, tapi untuk menghapus segala isinya, bukan untuk kembali ke sana. Untuk
meng-share hal-hal sosial, aku
sebenarnya sudah punya berbagai akun di tempat yang lebih cocok. Untuk topik
buku, kamu bisa kunjungi Goodreads dan YouTube. Untuk musik, kamu bisa cek posting-anku setiap hari Minggu. Dan
untuk topik lainnya, kamu bisa jalan-jalan di blog ini. Semuanya berawal dan
berakhir di sini.
Terima kasih untuk membaca
tulisan panjang ini sampai selesai. Walaupun tidak menyukai media sosial Path,
aku tidak merendahkan siapapun yang menemukan manfaat pertemanan di sana.
Mungkin aku saja yang kurang cocok. Seperti judul postingan ini, it’s just not my path :)
~DH
May 29
8.19 PM
Was listening to BoA
– Fox, from ‘Kiss My Lips’ album
No comments:
Post a Comment
Thanks for leave your comment :D