Tuesday, June 2, 2015

It’s Just Not My Path

Di awal bulan April lalu, aku dan teman-teman seperkuliahan terjebak hujan besar. Kami yang bereuni untuk menghadiri acara resepsi pernikahan salah satu teman berkumpul di dalam gedung serba guna, yang sudah mulai dibereskan, bahkan pasangan pengantinnya sendiri sudah pulang duluan. Walaupun obrolan dan tawa cukup ramai, kami sesekali mengecek layar ponsel di tangan masing-masing. Aku mengecek info lalu lintas di Twitter, chatting dengan teman lain yang berhalangan datang di LINE dan diam-diam menghitung selisih jumlah penonton video yang kuunggah ke YouTube. Koneksi sedang terhalang cuaca buruk dan masa aktif paket unlimited-ku sudah hampir habis, jadi hanya halaman putih dengan header merah yang terlihat selama beberapa menit.


Aku menunggu dengan tenang dan cukup sabar sampai tersentak dengan ucapan salah satu teman yang duduk di sebelahku.

"Dhyn, kamu ternyata punya akun Path, ya. Koq nggak accept invitation dari-ku?"

"Ini YouTube, bukan Path," jelasku yang baru sadar kedua aplikasi itu punya tampilan yang hampir sama. Langsung aku tutup aplikasi itu dan membalikkan layar ponselku.

Terlambat. Semua pandangan sudah terarah padaku.

"Iya, invitation dariku juga belum di-accept," sahut teman yang lain.

"Tenang aja, nggak ada yang aku accept koq,"

"Jadi sendirian aja di Path?"

"Um, iya begitu, lah," wajah dan leherku rasanya sangat panas, kontras dengan hujan lebat dan petir di luar.

"Teu rame atuh,"

"Daripada ada yang nge-screenshot status kamu dan tersebar di mana-mana. Aku takut. Mending nggak usah main sekalian,"

Entah bagaimana, perhatian mereka teralih dariku. Aku sangat lega. Sejak saat itu aku agak hati-hati jika membuka YouTube di tempat umum. Agak malu juga ketahuan memeriksa video-video sendiri dengan wajah harap-harap cemas. Tapi aku nggak bakal ngebahas tentang YouTube di sini. Aku mau menjawab dengan sejelas-jelasnya kenapa aku memilih tidak menggunakan Path seperti teman-teman lainnya.

Aku punya akun Path yang dipenuhi status-status tidak penting dengan invitation yang cukup banyak.

Akun itu iseng-iseng aku buat di PC dengan mengklik status milik orang lain. Saat itu aku merasa ketinggalan karena tidak bisa mem-posting status dengan link Path sebagai penutup. Karena aku belum punya ponsel pintar, akun itu tidak bisa difungsikan dengan semestinya. Aku tentu kecewa tapi dengan cepat lupa. Aku baru sadar akun tersebut eksis saat aku meng-install aplikasi Path di Android-ku berbulan-bulan kemudian. Dengan semangat, aku mengubah tampilan profil, menambahkan fotoku dan melihat-lihat fiturnya seperti pilihan statusnya yang menarik.

Kegiatan mengekspolasi itu sering kali terganggu karena tiba-tiba saja aplikasinya tidak responsif sampai menutup dengan sendirinya. Aku stres karena butuh waktu yang sangat lama untuk menemukan lagu yang sedang aku dengarkan atau judul buku yang kubaca. Di proses itu, aku harus siap-siap kecewa jika aplikasinya eror. Aku sampai menyalahkan ketidakmahiranku dengan perangkat elektronik (padahal tidak ada hubungannya). Akun Path itu ogah kubuka untuk waktu yang cukup lama. Aku baru membukanya lagi saat kejadian yang hampir mirip ada pada akun WhatsApp. Ternyata aku harus meng-update aplikasi tersebut secara berkala karena versi lama tidak akan berkerja saat versi baru muncul. Anehnya itu hanya berlaku pada Path, WhatsApp dan LINE. Yang lain masih baik-baik saja.

Oke, lah. Aku mulai rajin memeriksa dan update aplikasi yang ku-install.

Setelah masalah itu teratasi, aku bisa membuat status lebih lancar. Lalu masalah baru muncul, siapa orang-orang yang boleh membaca semua itu? Apalagi, saat itu jumlah teman yang bisa di-add di Path masih dibatasi. Teman dekat yang kuperkirakan mempunyai akun Path masih bisa ditampung. Tapi tunggu dulu, itu hanya teman kuliah, bagaimana dengan teman SMA, SMP, SD, tempat les, ekskul, teman dari teman, dan lainnya? Rasanya tidak adil jika aku melewatkan salah satu dari mereka karena aku memilih orang lain yang kurasa lebih pantas untuk membaca statusku.

Di tengah perdebatan batin itu, ramai berita status makian di Path yang di screenshot di Twitter. Menyeramkan sekali. Tidak hanya cara berpikir pemilik status itu tapi juga seseorang yang tega menyebarkannya. Mereka seriusan ‘berteman’? Dan bukankah Path seharusnya menjadi tempat berbagi yang lebih tertutup dibandingkan dengan Twitter?

Kenapa serius banget?

Kamu boleh menganggapku terlalu serius menilai media sosial. Tapi semakin dalam hidup di dunia maya, semakin penting peranannya di kehidupan nyata. Semuanya bukan sekedar main-main atau asal menuliskan sesuatu yang tak bisa dilakukan secara lisan. Dulu aku sempat naif dan berpikir seperti itu. Sekarang aku sudah punya pengalaman yang cukup dan bisa berpikir lebih bijak. Semua status yang kubuat selalu melalui petimbangan yang panjang. Jika tidak cukup penting, aku tidak akan mem-posting-nya. Jika sudah terlanjur, aku akan menghapusnya dengan segera.

Sayangnya status-status di Path masih dalam masa labil. Beberapa enggan kuhapus karena ada beberapa yang kurasa cukup penting dan tidak bisa dibagi di Twitter atau blog. Maka dari itu aku mempertahankan akun dan isinya tapi tidak berniat meng-accept invitation pertemanan.

Dari siapapun.

Statusku memang tidak cukup penting untuk di-screenshot dan disebarkan. Aku hanya berjaga-jaga dan tidak mau memberi kesempatan pada siapapun. Lagian aku belum pernah memberitahu siapa-siapa bahwa aku punya Path. Ya, mungkin beberapa status dengan sengaja aku ikut share ke Twitter (dan dihapus kemudian). Tetap saja, dari mana mereka, bahkan teman yang sangat lama dan sepupu, tahu?

Hal itu dengan cepat kuabaikan. Aku mau tenang dengan akun Path-ku.

Aku cukup sering mem-posting status tentang lagu yang kudengarkan, buku yang kubaca, tempat-tempat yang kukunjungi, foto-foto makanan, sampai kalimat-kalimat tak penting. Aku simpan sebagai kenang-kenangan dan bisa lihat di kemudian hari. Apa sih yang aku makan minggu lalu? Kapan aku terakhir kali makan di sana? Sangat menarik untuk kembali dan melihat kejadian itu dengan detail, sampai jam dan menitnya. Setelah beberapa lama, aku sadar kegiatanku sangat membosankan.

Aku makan menu yang sama di tempat yang sama dengan jadwal yang sama setiap bulannya.

Agak membuatku merasa depresi, sedih dan kesepian.

Lalu aku berhenti membuka Path.

Aku tidak meng-update-nya secara berkala.

Aku tidak mencoba sign in kalau ponselku di-reboot.

Aku membiarkannya seakan-akan aplikasi itu tidak ada.

Kalau kamu pikir masalahnya adalah ketidakhadiran teman-teman di akun tersebut, aku tidak setuju. Masalahnya adalah sebuah kesadaran bahwa aku tertinggal satu langkah di belakang mereka. Buktinya perasaan negatif itu terasa saat aku ada di Twitter dan Instagram. Aku masih aktif di kedua akun itu untuk berbagai alasan. Tapi aku tidak merasakan hal yang sama dengan Path. Jadi aku tidak peduli saat aplikasi itu broken seperti saat pertama kali aku meng-install-nya.


Tampilan di atas sering muncul mendadak, membuatku kesal. Di hari dan waktu yang tidak kuingat, aplikasi itu ku-uninstall.

Nah, begitu, lah, penjelasanku untuk akun Path yang kupunya. Jadi jangan marah kalau invitation pertemananmu tak kunjung aku accept. Ada pikiran untuk meng-install-nya lagi, tapi untuk menghapus segala isinya, bukan untuk kembali ke sana. Untuk meng-share hal-hal sosial, aku sebenarnya sudah punya berbagai akun di tempat yang lebih cocok. Untuk topik buku, kamu bisa kunjungi Goodreads dan YouTube. Untuk musik, kamu bisa cek posting-anku setiap hari Minggu. Dan untuk topik lainnya, kamu bisa jalan-jalan di blog ini. Semuanya berawal dan berakhir di sini.

Terima kasih untuk membaca tulisan panjang ini sampai selesai. Walaupun tidak menyukai media sosial Path, aku tidak merendahkan siapapun yang menemukan manfaat pertemanan di sana. Mungkin aku saja yang kurang cocok. Seperti judul postingan ini, it’s just not my path :)

~DH
May 29
8.19 PM
Was listening to BoA – Fox, from ‘Kiss My Lips’ album

No comments:

Post a Comment

Thanks for leave your comment :D