Mata Udith membulat mendengar akhir kalimat yang diucapkan Tama. Tama tertawa sendu.
” Ekspresi kamu sama dengan dia” katanya pelan ” Tapi dia tidak bisa mengendalikan diri sepertimu”
” Kamu dan Friesca adalah . . . saudara kandung?” Udith mengucapkannya tertahan-tahan
” Iya, ini hanya konflik orang tua semasa muda”
” Lalu aku?”
” Kamu di adopsi dari panti asuhan yang sangat jauh” mata Tama menerawang jauh ” Dia tidak siap untuk mendengarnya. Tapi Ayah ingin segera memberitau, beliau udah nyembunyiin hampir seumur hidup Friesca. Beliau nekad setelah liat dia memanggil-manggil nama kamu. Aku juga berpikir inilah saatnya.”
” Tapi dia benar-benar tidak siap” tambah Udith lalu dia meremas rambutnya ” Seharusnya aku lebih dekat hari itu dan bisa nahan dia kabur dari kamarnya”
” Bukan salah kamu . . .”
” Kakak benar, aku terlalu pengecut” potong Udith
” Ini takdir” tegas Tama ” Sudah begini adanya. Mengahalanginya akan membuatnya semakin buruk”
” Ada yang lebih baik dari meliatnya meninggal?”
Tama tertegun
” Tidak ada kan?” Udith semakin merasa bersalah ” Apalagi aku lihat sendiri dia tertabrak, lagi. Dia melihatku, menatapku. Tapi aku malah buang muka. Aku tak pernah berpikir itu benar-benar terakhir.”
Tama bisa mendengar ada sedikit isakan dikalimat terakhir Udith. Dia memutuskan meninggalkan Udith yang kini memeluk erat buku diary itu. Pintunya ditutup amat pelan. Setelah menuruni tangga, dia melihat semuanya berkumpul dalam diam. Ayah, Bunda dan Namira. Ogy dan Shyra pasti sudah pulang. Tama mengangguk kepada Ayah tapi itu tidak membuat wajah Ayah sedikit berubah ke arah positif.
” Paling tidak dia gak lari” tambah Tama. Bunda terkejut ” Maaf”
Tama memandang sebuah frame yang membingkai foto Friesca. Ini memang takdir. Dari awal seharusnya ini dihindari. Tak satupun dari kita yang mendapatkan kamu. Tapi cinta tentu sulit untuk dihapus.
Baik-baik disana, Fries.
Dhyn Hanarun~
No comments:
Post a Comment
Thanks for leave your comment :D