Icha Ayu
174 halaman
Stiletto Books, Agustus 2012 (Cetakan Kelima)
Kirana, mahasiswi penerima beasiswa short course program di
Jenewa-Swiss, berharap akan sebuah petualangan di benua yang selalu dia
impikan. Ternyata yang ia dapatkan jauh darisekedar pengalaman akademis saja;
persahabatan dengan beberapa mahasiswa dari berbagai negara dan juga cinta yang
tidak pernah dia sangka sebelumnya, seolah melengkapi pengalaman barunya
tersebut.
Pertemuan dengan Emmanuel, mahasiswa Perancis memberikan warna tersendiri dalam hidupnya. Kebersamaan mereka berdua didasari oleh perbedaan yang tidak pernah diduga akan menjadi sangat sulit saat Kirana harus pulang ke Indonesia, ada 11.369 km jarak, 11.369 perbedaan, namun juga, ada satu cinta yang ia tetap coba untuk yakini.
Mengapa mencintai dan dicintai bisa menjadi begitu rumit saat orang-orang di sekeliling juga mulai berbicara?
Winter to Summer: 11.369 KM untuk
Satu Cinta adalah novel yang tidak pernah aku bayangkan akan dibaca sebelumnya.
Walaupun cover menara Eiffelnya membuat aku memasukannya ke daftar Books of theMonth, tapi aku gak terlalu penasaran untuk membeli ataupun mengintip isinya.
Jadi yah, novel ini hanya sekedar lewat saja. Tapi entah kenapa aku
dipertemukan lagi dengan novel ini saat ikutan 2013 Indonesian Romance Reading Challenge
yang diselenggarakan oleh Lust & Coffee. Pada bulan pertama aktif menautkan link review
novel Indonesia, aku langsung jadi pemenang hadiah bulanan bersama Peri Hutan
dan mendapatkan dua buah novel, salah satunya ya Winter to Summer: 11.369 KM
untuk Satu Cinta ini. Surprise, surprise! :D
Winter to Summer: 11.369 KM untuk
Satu Cinta sempat membuatku ragu saat mau membacanya. Ini novel atau cerita
asli sang penulis? Soalnya sebelum bener-bener niat membaca halaman pertama,
aku malah mengunggah foto dua novel itu dan di mention sama Twitter penerbitnya
hehehe. Aku juga malah menengok biodata penulis yang ada di bagian belakang. Si
penulis mempunyai latar belakang yang sama dan berpengalaman pergi ke Eropa,
khususnya Paris. Hmm, biasanya aku terpukau dengan penulis yang menulis cerita
bersetting luar negeri dengan mengandalkan riset mereka. Tapi sekarang ada yang
penulis yang mengandalkan pengalamannya. Gimana ya hasilnya? ;)
Ketika aku mencari jawaban untuk
pertanyaan tersebut, halaman pertama malah menceritakan kepulangan Kirana ke
Indonesia, diantarkan oleh sang kekasih bermata hijau, Emmanuel atau biasa
dipanggil Manu (it sounds a little weird :p). Perjalanan pulang itu membawa
kesedihan dan kerinduan dalam saat yang sama. Setibanya di Indonesia, Kirana
harus beraktivitas seperti sebelum dia mendapatkan short course. Namun dia
terus melamunkan perjalanan Eropanya dan juga menceritakan kedekatannya dengan
Manu yang tak direncanakan. Ceritanya mengalir seperti sebuah buku harian dan apa
adanya tanpa kiasan yang lebay atau galau maksimal. Kalimat-kalimat yang memang
agak lebay ada tapi cocok dengan kondisi tokohnya yang juga mulai dewasa tapi
tetap terserang virus cinta. Perkiraanku benar tentang penulis yang
mengandalkan pengalamannya, karena aku menemukan beberapa tempat yang belum
pernah dimention di novel lain yang bersetting Eropa, khususnya Paris karena
tempat itu adalah tempat yang sering dikunjungi penduduk lokal. Kalimat-kalimat
berbahas Perancis yang cukup kompleks (aku nggak bisa nebak artinya sama sekali)
menunjukkan kalimat itu bukan sekedar copy-paste dari buku percakapan ataupun
Google Translate. Something new, fresh and different. Nice job! :D
Sayangnya penjelasan yang
dipaparkan tidak lebih seperti buku panduan wisata.
Deskripsi tempat lokal seperti bar itu hanya muncul dalam bentuk fakta-fakta
yang agak kaku, tidak ada deskripsi secara mendetail ataupun pikiran Kirana,
sebagai pencerita, tentang bar itu. Perceritaan yang seperti buku harian itupun
kadang loncat-loncat dan bahkan mengulang satu kejadian beberapa kali, satu
kali dalam deskripsi pikiran Kirana dan kalimat yang diucapkan lawan bicaranya,
contohnya Manu. What a waste of words. Saking ada apanya, tidak ada bab yang
memisahkan kejadian satu dan lainnya. Yang ada adalah sebuah kalimat pendek
yang menerangkan isi cerita selanjutnya, seperti ‘Bandung, Sebuah Kerinduan’, ‘Jenawa,
Menjelang Awal Musim Semi’ atau ‘Versailles, Pertemuan Keluarga’. Aku
menyebutnya dengan istilah ‘Kalimat Pembatas Cerita’, bukan bab. Karena sama
sekali tidak bisa disebut bab. Kalimat itu memang membatasi hampir setiap
kejadian penting, tapi kemunculannya bisa ada di halaman yang bersebelahan. Aku
nggak tahu pasti apakah ada aturan baku tentang pembuatan bab tapi ngos-ngosan
rasanya baca novel yang ‘nyambung terus’ seperti ini.
Well at last, walaupun gaya
penceritaannya masih ‘terbaca’ asing dan aneh, aku bisa menikmati Winter to
Summer: 11.369 KM untuk Satu Cinta sampai halaman terakhir dengan terisak-isak.
Konflik antara Barat dan Timur benar-benar bikin galau dan bingung juga sih
solusinya gimana hahahaha. Untuk Icha Ayu, ditunggu novel-novel bersetting
Eropa lainnya. I believe you can do it well :D
Aku lebih suka buku Au Pair daripada novel ini.
ReplyDeleteOh ya? Aku jadi pengen baca juga :)
ReplyDeleteJudulnya menarik. Pengin baca ini jadinya :D
ReplyDelete