Monday, October 7, 2013

Evergreen

Prisca Primasari
203 Halaman
Grasindo, 2013 (cetakan pertama)
Rp. 43.000,-

Konichiwa! Selamat datang di Evergreen, kafe es krim penuh pelayan baik hati, lagu The Beatles akan melengkapi hari-harimu. Tempat yang menghangatkan, bahkan bagi seorang gadis pengeluh dan egois sepertimu, Rachel!

Di kafe itu, kau menemukan sebuah dunia baru, juga pelarian setelah dipecat dari pekerjaanmu. Menurutku itu bagus! Apa enaknya sih kerja jadi editor?

Namun, sebenarnya butuh berapa banyak kenangan dan sorbet stroberi untuk mengubah sifat egoismu? Atau yang kau butuhkan sebenarnya hanya kasih sayang? Mungkin dariku, si pemilik kafe? Hmmm?

Evergreen adalah novel karya Prisca Primasari kedua yang aku baca, setelah Paris: Aline. Di novel sebelumnya, aku begitu menyukai gaya bahasanya yang membuat cerita begitu mengalir. Aku juga berharap menemukan hal yang serupa di novel ini. Aku sebenernya udah beli novel ini sejak lama, segera setelah denger kabar terbitnya malahan. Tapi waktu itu berdekatan dengan bulan puasa dan katanya novel ini punya tema kafe ice cream. Aku menahan diri aja karena takut tergiur hehehehe. Aku juga agak ragu dengan jumlah halamannya yang ‘sedikit’. Takut ceritanya kurang rame karena terlalu singkat. Jangan-jangan ceritanya terlalu dipaksakan karena jumlah halamannya tinggal sedikit lagi. Apakah aku benar soal itu? Let’s review it :D

Evergreen menceritakan tentang Rachel yang baru saja dipecat dari Sekai Publishing. Mantan editor novel misteri itu begitu putus asa. Dia terus-terusan mengeluh, memecahkan gelas yang ada sampai berpikir untuk bunuh diri. Teman-temannya, Mei, Cho, Risa dan Akiko sudah ratusan kali mendengar keluhannya itu. Mereka juga lelah menyuruh Rachel untuk mencari pekerjaan baru karena Rachel terus mengeluh dan mengeluh. Mereka akhirnya tidak mengacuhkannya. Rachel makin kesal mendapatkan perlakuan seperti itu. Di saat itulah dia menemukan sebuah kafe ice cream bernama Evergreen. Sorbet Stroberinya melelehkan rasa kesalnya. Apalagi dengan senyuman dari para pelayannya, Fumio dan Gamma. Rachel terkagum-kagum sekaligus heran dengan senyuman yang sangat tulus itu. Bagaimana mereka melakukannya? Rasa penasarannya bertambah begitu bertemu dengan Yuya, pemilik kafe tersebut, Kira, satu-satunya pelayan perempuan dan Tochiro-san, sang pengunjung setia yang misterius. Yuya, yang biasa menjaga kasir, bisa melihat bahwa perempuan cantik bermata biru itu sedang dalam masalah serius dan dia pun menawarkan Rachel sebuah pekerjaan disana.

“Secara harfiah, evergreen berarti pohon yang selalu berwarna hijau sepanjang tahun. Bisa pula diartikan selamanya. Aku ingin kafe ini, juga orang-orang di dalamnya, bisa bersahabat selamanya, seperti cemara yang tak pernah berubah warna.” – halaman 195

Evergreen begitu mengejutkan, layaknya memakan berbagai rasa ice cream. Setiap rasa memiliki keunikan, plus minus dan kenikmatannya tersendiri. Begitu pula dengan para tokohnya. Cerita tidak hanya fokus pada Rachel yang pusing dengan masalahnya sendiri. Fumio, Gamma, Kira, Yuya bahkan Tochiro-san juga punya cerita masing-masing yang tidak bisa dibilang sepele. Walaupun cerita dimulai dengan sudut pandang dari Rachel, di beberapa bagian Fumio mendapat ‘jatah’ sendiri. Dia menceritakan kisahnya yang berjuang mencari ayahnya di Tokyo bersama adiknya yang sekarat, Toshi. Cerita itu cukup menghubungkan dirinya dengan Rachel dan juga tokoh lainnya. Yah jadi pantaslah cerita Fumio ini lebih banyak porsinya dibandingkan cerita dari tokoh lainnya. Dengan membeberkan kisah masing-masing tokohnya, aku nggak nyangka sama sekali akan menemukan benang penghubung bahkan twist. Luar biasa dan agak menegangkan hahahaha :D

Sayangnya, tebakanku tentang cerita yang dipaksakan itu sepertinya benar. Cerita kedekatan Rachel dan Yuya mendadak muncul di akhir novel. Tak lama setelah itu ceritapun berakhir. Cerita itu seolah hanya pemanis saja dan seolah ada pemikiran ‘cowok sama cewek kerja bareng dan masa sih nggak ada yang cinlok sama sekali’ hehehehe. Tapi tak apa. Karena tanpa cerita cinta antar lawan jenis, Evergreen sudah punya cerita cinta lain yaitu antara kakak-adik, ayah-anak dan pertemanan yang tak kalah menarik dan mengharukan :’)


“Memaafkan. Kata yang lucu sekali, bukan? Sesuatu yang sulit diberikan. Padahal dengan melakukan itu, berarti kita menyelamatkan hati kita sendiri. Pernahkan kau mendengar, bahwa ketika kau memaafkan seseorang, kau membuka lagi pintu rumah yang sebelumnya kau tutup rapat-rapat, yang telah membuat dirimu terperangkap dan kehabisan nafas. Dan hidup.” – halaman 118

Selain masalah cerita, aku bingung sendiri dengan pemilihan font stylenya. Kenapa ya milih font style kayak gini? Hurufnya sih jadi keliatan lucu dan berbeda. Tapi ukurannya yang kecil agak membuatku pusing saat mulai membacanya. Tapi begitu aku tertarik dan tenggelam ke dalam ceritanya, font style itu tidak menganggu lagi koq. Dan untuk memilihan settingnya, aku kurang merasakan ke-Jepang-annya. Tidak hal baru tentang Jepang yang aku temukan. Hal yang baru mungkin hanya kosakata percakapan, yang sayangnya tidak dijelaskan lewat footnotes secara lengkap :(

Yaaa, walaupun begitu, aku sangat puas dengan Evergreen. Apalagi cerita cinta yang ditawarkan lebih mendalam dari cerita cinta pada umumnya. Pesan yang bisa diambil menjadi pelajaran sangat banyak dan bermakna. Oh iya, aku juga jadi pengen makan berbagai dessert, terutama wafel dan sorbet hehehe. Recommended! :D

3 comments:

  1. Walaupun ada beberapa kritik, tapi sepertinya bukunya menarik :p

    ReplyDelete
  2. Aku tertarik juga dengan novel ini mbak. Em, kayaknya cukup seru dan nggak ketebak, ya? Tapi, masak nggak ada cinta-cintaannya sih Mbak?

    ReplyDelete
  3. @Dian: cinta-cintaannya ada, tapi nggak banyak dan bukan hal yang utama.

    Halooo, yang penasaran sama buku ini bisa beli buku punyaku, kujual dengan harga murah. Cek https://twitter.com/23rdProject/status/477284120205086720

    ReplyDelete

Thanks for leave your comment :D