Armijn Pane
152 Halaman
Dian Rakyat, 2008 (Cetakan Keduapuluh satu)
Rp. 35.000,-
Buku
ini mempunyai sejarah yang menggemparkan. Ditolak oleh Balai Pustaka, ramai
dipuji dan dicela, tetapi akhirnya tak urung menjadi salah satu roman klasik
modern Indonesia yang mesti dibaca segala orang terpelajar Indonesia.
LK. Bohang
dalam Pujangga Baru tahun 1940: Sementara
membaca terus, banyak impian, banyak perasaan, banyak pikiran dan kritik yang
lain datang mendorong, dengan tak diundang, tetapi tiba di halaman penghabisan
Tono, Tini, Jah, Hartono dan lain-lain bukan emancipatie, rahasia dan sebagainya yang menguasai hati
dan otak, tetapilayar penghidupan kita sendiri yang berkembang di depan mata, kenang-kenangan
kita … Alangkah baiknya, alangkah bagusnya, alangkah indahnya hidup sudi
berkurban, hidup bermanfaat, bagi kawanan segolongan khususnya, dan bagi
masyarakat umumnya.
H.B Jassin
mengatakan dalam Pujangga Baru tahun 1940: Caranya
mengarang sugestif. Dipaksanya pengarang berpikir sendiri, mencari sendiri
jawabannya atas pertanyaan yang timbul dalam kalbunya. Lukisan Arjimn tentang
pancaroba ini tepat, bukan untuk ditiru, melainkan untuk diperlihatkan kepada
angkatan yang akan datang, betapa benar kesusahan yang telah diderita oleh
nenek moyangnya dalam perjuangan mencapai zaman ini.
S. Takdir
Alisyahbana mengatakan dalam Pujangga Baru tahun 1940: Sebenarnyalah yang menarik hari dalam buku Armijn ini ialah permainan
perasaan pengarangnya (dalam suatu percakapan malahan pernah Yamin berkata,
bahwa sebenarnya Armijn lebih bersifat penyair dari Sanoesi Pane) yang
memberikan kepada buku ini suatu suasana romantik.
Kalau dulu guru mata pelajaran bahasa
Indonesia di SMA tidak menyuruh satu kelas membaca novel sastra, aku nggak
bakal kenal sama Belenggu ini. Tugasku
waktu itu membaca novel angkatan Pujangga Baru. Agak sulit menemukan novel ini.
Aku sampai harus memesan ke pihak toko bukunya. Bukunya baru tersedia setelah
beberapa minggu, setelah aku membeli dan membaca novel judul lain. Karena merasa
tidak enak dan tidak ada salahnya juga, aku ambil saja pesanan ini dan coba
kubaca tapi gagal. Lima tahun kemudian, aku mengambilnya lagi dan kali ini
benar-benar membacanya sampai selesai. Now,
let’s review it :D
"Yu,
Yu, benarkah kita perempuan, baru boleh dikatakan benar-benar cinta, kalau
kesenangannya saja yang kita ingat, kalau kita tiada ingat akan diri kita,
kalau kesukaan kita cuma memelihara dia? Kalau tiada perasaan yang demikian,
benarkah kita belum benar-benar kasih akan dia? Aku bingung, yu, bukankah kita
berhak juga hidup sendiri? Bukankah kita ada juga kemauan kita? Mestikah kita
matikan kemauan kita itu? Entahlah, yu, aku belum dapat berbuat begitu." –
halaman 71
Kehidupan Sukartono dan Sumartini sebagai
suami istri berada di ujung tanduk. Mereka sibuk dengan kepentingan
masing-masing. Tono dikenal sebagai seorang dokter terpandang. Tiap hari dia
sibuk memenuhi panggilan orang sakit. Sedangkan Tini sibuk dengan kegiatan
sosial. Tidak ada yang mencoba untuk membangun komunikasi atau sekedar
menanyakan apa yang salah dengan hubungan mereka. Dinginnya hubungan Tono dan
Tini sudah menjadi buah bibir. Sebagian besar orang-orang membela Tono dan
menyalahkan Tini yang terlalu sibuk di luar dan tidak memilih diam di rumah
selayaknya istri yang baik.
Dalam salah satu panggilan dokter,
Tono bertemu dengan Nyonya Eni. Dengan cepat Tono dan perempuan yang sempat
tinggal di hotel itu menjadi sangat dekat. Tono merasakan ketenangan dari
perempuan yang dia panggil Yah itu. Setelah beres mengurus orang sakit, dia
lebih memilih mampir ke rumah Yah daripada langsung pulang ke rumah dan bertemu
dengan Tini. Yah lalu membuka rahasia bahwa mereka pernah bertemu beberapa
tahun lalu. Dia merasa sangat bersyukur
bisa bertemu lagi dengan Tono dan mengenang lagu lama mereka. Tini sendiri
ternyata punya seorang laki-laki dari masa lalunya, Hartono yang merupakan
teman lama Tono, yang dia kira sudah meninggal dunia. Suatu saat, pasien anak-anak yang Tono tidak
berhasil diselamatkan dan meninggal dunia. Itu membuat Tono berpikir tentang
profesinya, juga kehidupannya dengan Tini dan Yah.
"Semua
manusia demikian juga, begitulah kita sebagai dibelenggu oleh angan-angan,
masing-masing oleh angan-angannya sendiri-sendiri. Belenggu itu
berangsur-angsur mengikat dan menghimpit semangat, pikiran dan jiwa, makin lama
makin keras, sebagai orang rantai yang dibelenggunya kaki dan tangannya, kedua
belahnya, sedang lehernya kena kongkong pula." – halaman 107
Dilihat dari konflik yang muncul,
cerita yang Belenggu punya akan
terasa seperti cerita biasa di tahun 2014. Padahal novel ini termasuk fenomenal
di masanya. Cerita perselingkuhan antara dokter dan pasien dan istri yang ‘membangkang’
sulit diterima saat itu. Tini terus-terusan di-bully mengenai keinginannya untuk aktif di luar rumah dan sedikit ‘mengabaikan’
suaminya. Tono sendiri tidak mengerti apa yang Tini mau. Sehingga dia tidak
mengacuhkan istrinya. Dia menenggelamkan diri ke urusan dokter dan akhirnya
bertemu dengan Nyonya Eni alias Yah. Orang-orang yang mengetahui kedekatan Tono
dan Yah itu menyalahkan perilaku Tini. Sediiih dan nyesek bacanya. Kenapaaaa?
Sepertinya
hal-hal tersebut masih dibilang tabu dan jarang terjadi dulu. Karakter lain
menunjukan istri itu harus di rumah, melayani suami dan tidak boleh menonjol.
Di zaman sekarang beberapa orang masih dinilainya sebagai hal yang tidak baik.
Tapi kemajuan zaman membuat pikiran orang-orang lebih terbuka dan bisa
menilainya lebih baik. Selain masalah
hubungan segitiga, Tono, Tini dan Yah merasakan pertentangan batin
masing-masing. Tono merasa pekerjaannya sebagai dokter itu sia-sia karena
setiap manusia akan mati nantinya. Tini mempertanyakan apa salahnya dia
mempunyai kesibukan lain selain mengurus suami. Lalu Yah menenggelamkan diri ke
masa lalunya yang buruk dan tidak bisa diubah.
Sayangnya cerita lama Tini dan Kartono
tidak terlalu banyak. Pertemuan mereka berada di ujung crita dan tidak
mempengaruhi kehidupan Tini secara umum. Padahal bisa lebih rame lagi, tuh. Lalu
cara penulisannya membuat ceritanya sulit dinikmati. Bahasanya masih
menggunakan bahasa Indonesia yang lebih condong ke Melayu, ada beberapa selipan
bahasa Belanda dan Inggris, tanda bacanya acak-acakan, belum menggunakan EYD
yang disempurnakan, banyak salah ketik dan nomor babnya hilang dua. Sangat
mengejutkan karena novel yang kubaca ini sudah cetakan keduapuluh dua, loh. Apa
novel ini begitu epic sehingga tidak
ada yang berani ‘mengusik’-nya? Beberapa perbaikan mungkin akan menghilangkan
kekhasannya, tapi juga bisa membuat novel ini lebih lama beredar dan diminati
pembaca sekarang. Mungkin bisa juga berulang kali diadaptasi ke layar lebar, TV atau bentuk seni lain seperti karya sastra luar. Kenapa di sini nggak kayak gitu? Sayang, loh. Harusnya lebih banyak lagi yang membaca novel
ini. Apalagi katanya novel ini ‘mesti
dibaca segala orang terpelajar Indonesia’ :p
At
last, cerita Tono, Tini, dan Yah dalam Belenggu ini membuka pengetahuanku soal karya sastra Indonesia
zaman dahulu. Cerita pertentangan batin
mereka juga turut menguras pikiran. Aku berharap segala kekurangannya
bisa diperbaiki sehingga ceritanya bisa dikenal oleh semua para pembaca
Indonesia :D
No comments:
Post a Comment
Thanks for leave your comment :D