Friday, October 24, 2014

Belenggu

Armijn Pane
152 Halaman
Dian Rakyat, 2008 (Cetakan Keduapuluh satu)
Rp. 35.000,-

Buku ini mempunyai sejarah yang menggemparkan. Ditolak oleh Balai Pustaka, ramai dipuji dan dicela, tetapi akhirnya tak urung menjadi salah satu roman klasik modern Indonesia yang mesti dibaca segala orang terpelajar Indonesia.

LK. Bohang dalam Pujangga Baru tahun 1940: Sementara membaca terus, banyak impian, banyak perasaan, banyak pikiran dan kritik yang lain datang mendorong, dengan tak diundang, tetapi tiba di halaman penghabisan Tono, Tini, Jah, Hartono dan lain-lain bukan emancipatie, rahasia dan sebagainya yang menguasai hati dan otak, tetapilayar penghidupan kita sendiri yang berkembang di depan mata, kenang-kenangan kita … Alangkah baiknya, alangkah bagusnya, alangkah indahnya hidup sudi berkurban, hidup bermanfaat, bagi kawanan segolongan khususnya, dan bagi masyarakat umumnya.

H.B Jassin mengatakan dalam Pujangga Baru tahun 1940: Caranya mengarang sugestif. Dipaksanya pengarang berpikir sendiri, mencari sendiri jawabannya atas pertanyaan yang timbul dalam kalbunya. Lukisan Arjimn tentang pancaroba ini tepat, bukan untuk ditiru, melainkan untuk diperlihatkan kepada angkatan yang akan datang, betapa benar kesusahan yang telah diderita oleh nenek moyangnya dalam perjuangan mencapai zaman ini.

S. Takdir Alisyahbana mengatakan dalam Pujangga Baru tahun 1940: Sebenarnyalah yang menarik hari dalam buku Armijn ini ialah permainan perasaan pengarangnya (dalam suatu percakapan malahan pernah Yamin berkata, bahwa sebenarnya Armijn lebih bersifat penyair dari Sanoesi Pane) yang memberikan kepada buku ini suatu suasana romantik.

Kalau dulu guru mata pelajaran bahasa Indonesia di SMA tidak menyuruh satu kelas membaca novel sastra, aku nggak bakal kenal sama Belenggu ini. Tugasku waktu itu membaca novel angkatan Pujangga Baru. Agak sulit menemukan novel ini. Aku sampai harus memesan ke pihak toko bukunya. Bukunya baru tersedia setelah beberapa minggu, setelah aku membeli dan membaca novel judul lain. Karena merasa tidak enak dan tidak ada salahnya juga, aku ambil saja pesanan ini dan coba kubaca tapi gagal. Lima tahun kemudian, aku mengambilnya lagi dan kali ini benar-benar membacanya sampai selesai. Now, let’s review it :D

"Yu, Yu, benarkah kita perempuan, baru boleh dikatakan benar-benar cinta, kalau kesenangannya saja yang kita ingat, kalau kita tiada ingat akan diri kita, kalau kesukaan kita cuma memelihara dia? Kalau tiada perasaan yang demikian, benarkah kita belum benar-benar kasih akan dia? Aku bingung, yu, bukankah kita berhak juga hidup sendiri? Bukankah kita ada juga kemauan kita? Mestikah kita matikan kemauan kita itu? Entahlah, yu, aku belum dapat berbuat begitu." – halaman 71

Kehidupan Sukartono dan Sumartini sebagai suami istri berada di ujung tanduk. Mereka sibuk dengan kepentingan masing-masing. Tono dikenal sebagai seorang dokter terpandang. Tiap hari dia sibuk memenuhi panggilan orang sakit. Sedangkan Tini sibuk dengan kegiatan sosial. Tidak ada yang mencoba untuk membangun komunikasi atau sekedar menanyakan apa yang salah dengan hubungan mereka. Dinginnya hubungan Tono dan Tini sudah menjadi buah bibir. Sebagian besar orang-orang membela Tono dan menyalahkan Tini yang terlalu sibuk di luar dan tidak memilih diam di rumah selayaknya istri yang baik.

Dalam salah satu panggilan dokter, Tono bertemu dengan Nyonya Eni. Dengan cepat Tono dan perempuan yang sempat tinggal di hotel itu menjadi sangat dekat. Tono merasakan ketenangan dari perempuan yang dia panggil Yah itu. Setelah beres mengurus orang sakit, dia lebih memilih mampir ke rumah Yah daripada langsung pulang ke rumah dan bertemu dengan Tini. Yah lalu membuka rahasia bahwa mereka pernah bertemu beberapa tahun lalu.  Dia merasa sangat bersyukur bisa bertemu lagi dengan Tono dan mengenang lagu lama mereka. Tini sendiri ternyata punya seorang laki-laki dari masa lalunya, Hartono yang merupakan teman lama Tono, yang dia kira sudah meninggal dunia.  Suatu saat, pasien anak-anak yang Tono tidak berhasil diselamatkan dan meninggal dunia. Itu membuat Tono berpikir tentang profesinya, juga kehidupannya dengan Tini dan Yah.

"Semua manusia demikian juga, begitulah kita sebagai dibelenggu oleh angan-angan, masing-masing oleh angan-angannya sendiri-sendiri. Belenggu itu berangsur-angsur mengikat dan menghimpit semangat, pikiran dan jiwa, makin lama makin keras, sebagai orang rantai yang dibelenggunya kaki dan tangannya, kedua belahnya, sedang lehernya kena kongkong pula." – halaman 107

Dilihat dari konflik yang muncul, cerita yang Belenggu punya akan terasa seperti cerita biasa di tahun 2014. Padahal novel ini termasuk fenomenal di masanya. Cerita perselingkuhan antara dokter dan pasien dan istri yang ‘membangkang’ sulit diterima saat itu. Tini terus-terusan di-bully mengenai keinginannya untuk aktif di luar rumah dan sedikit ‘mengabaikan’ suaminya. Tono sendiri tidak mengerti apa yang Tini mau. Sehingga dia tidak mengacuhkan istrinya. Dia menenggelamkan diri ke urusan dokter dan akhirnya bertemu dengan Nyonya Eni alias Yah. Orang-orang yang mengetahui kedekatan Tono dan Yah itu menyalahkan perilaku Tini. Sediiih dan nyesek bacanya. Kenapaaaa? Sepertinya hal-hal tersebut masih dibilang tabu dan jarang terjadi dulu. Karakter lain menunjukan istri itu harus di rumah, melayani suami dan tidak boleh menonjol. Di zaman sekarang beberapa orang masih dinilainya sebagai hal yang tidak baik. Tapi kemajuan zaman membuat pikiran orang-orang lebih terbuka dan bisa menilainya lebih baik.  Selain masalah hubungan segitiga, Tono, Tini dan Yah merasakan pertentangan batin masing-masing. Tono merasa pekerjaannya sebagai dokter itu sia-sia karena setiap manusia akan mati nantinya. Tini mempertanyakan apa salahnya dia mempunyai kesibukan lain selain mengurus suami. Lalu Yah menenggelamkan diri ke masa lalunya yang buruk dan tidak bisa diubah.

Sayangnya cerita lama Tini dan Kartono tidak terlalu banyak. Pertemuan mereka berada di ujung crita dan tidak mempengaruhi kehidupan Tini secara umum. Padahal bisa lebih rame lagi, tuh. Lalu cara penulisannya membuat ceritanya sulit dinikmati. Bahasanya masih menggunakan bahasa Indonesia yang lebih condong ke Melayu, ada beberapa selipan bahasa Belanda dan Inggris, tanda bacanya acak-acakan, belum menggunakan EYD yang disempurnakan, banyak salah ketik dan nomor babnya hilang dua. Sangat mengejutkan karena novel yang kubaca ini sudah cetakan keduapuluh dua, loh. Apa novel ini begitu epic sehingga tidak ada yang berani ‘mengusik’-nya? Beberapa perbaikan mungkin akan menghilangkan kekhasannya, tapi juga bisa membuat novel ini lebih lama beredar dan diminati pembaca sekarang. Mungkin bisa juga berulang kali diadaptasi ke layar lebar, TV atau bentuk seni lain seperti karya sastra luar. Kenapa di sini nggak kayak gitu? Sayang, loh. Harusnya lebih banyak lagi yang membaca novel ini. Apalagi katanya novel ini ‘mesti dibaca segala orang terpelajar Indonesia’ :p

At last, cerita Tono, Tini, dan Yah dalam Belenggu ini membuka pengetahuanku soal karya sastra Indonesia zaman dahulu. Cerita pertentangan batin  mereka juga turut menguras pikiran. Aku berharap segala kekurangannya bisa diperbaiki sehingga ceritanya bisa dikenal oleh semua para pembaca Indonesia :D

No comments:

Post a Comment

Thanks for leave your comment :D