Miranda Malonka
200 Halaman
PT. Gramedia Pustaka Utama, April 2015
Rp. 50.000,-
Ada surat-surat yang takkan pernah dikirim. Ada surat-surat yang telah
dikirim dan mungkin tak pernah dibaca penerimanya.
Hidup mengajari Sylvia tentang obsesi. Persahabatan mengajarinya
tentang masalah. Dan Sylvia yakin semua orang bisa diselamatkan dari masalah
hidup mereka.
Hingga ia bertemu dengan Anggara, yang mengajarinya tentang cinta yang
melepaskan ikatan. Dan untuk pertama kalinya Sylvia menyadari bahwa ia tidak
bisa menjadi penyelamat semua orang.
Terkadang peraturan keselamatan tidak lagi berlaku ketika berkaitan
dengan obsesi dan cinta.
Sylvia's Letters adalah hasil comotan super dadakan yang disebabkan
oleh suara petir yang begitu menggelegar! Aku takut terjebak macet dan banjir (lagi),
jadi aku langsung menunjuk novel ini di Pittimos dan pulang. Tapi keputusan itu
tidak benar-benar impulsif. Cover-nya
sudah berseliweran di laman Goodreads. Aku bahkan sudah memegang langsung
fisiknya di toko buku. Cuma rasa ragu (dan book
buying ban) yang menahanku membelinya. Terlebih lagi belakangan ini aku
dikecewakan novel debut terbitan Gramedia. Tapi cerita surat-surat itu, cover yang cantik dan logo ‘Young Adult’-nya
sayang untuk dilewatkan. So, I gave it a
try. Now, let’s review it :D
“Selalu menyakitkan
melihatmu dari kejauhan tanpa bisa menggapai, tapi obsesiku terhadapmu terasa
menyenangkan. Memberiku napas. Memberiku sepercik semangat hidup.” – halaman 36-37
Citarani Sylvia menulis surat-surat
untuk mengungkapkan rasa sukanya kepada Anggara, seorang laki-laki yang dia
lihat dalam sebuah pementasan drama sekolah. Dalam surat-suratnya, yang tidak
pernah akan dikirimkan, Sylvi tidak hanya menulis tentang perasaan jatuh
cintanya, tapi juga tentang teman-teman dekatnya dan masalah yang mereka
hadapi. Ada Andy yang gila senioritas, lalu Lyla yang berusaha mandiri walaupun
keluarganya sangat berada dan Scarlet yang mengkhawatirkan adiknya, Anye. Sylvi
juga punya masalah pribadi yang dia simpan rapat-rapat. Dia ingin kurus dan
rela tidak makan untuk berhari-hari.
“Berkali-kali aku
menanyai diriku sendiri, apakah sudah cukup? Apakah aku sudah cukup kurus untuk
menjadi bagian dari dunia, terutama duniamu?
Kapan seharusnya aku berhenti? Dan aku tak pernah berhasil menjawab pertanyaan
itu. Tak pernah.” – halaman 181
Aku benar-benar menyesal telah memandang
Sylvia's Letters dengan sebelah mata! Pikiranku
sudah terkuras dan lumayan capek dengan cerita novel yang kuselesaikan
sebelumnya. Tadinya aku berpikir untuk mengembalikan tanpa membacanya sama
sekali. Tapi karena aku penasaran, aku baca satu halaman, berlanjut jadi bab dan
akhirnya beres dalam beberapa jam saja. Rasa capek pun hilang, digantikan oleh
kekaguman dan kepuasan. Jumlah halamannya memang cukup singkat tapi format
surat dan email yang unik membuatnya lebih menarik dan gampang diikuti. Kategori
yang dipakai, terkirim, tidak terkirim, dan terkirim tapi tidak dibaca
penerima, menghasilkan makna tersendiri. Didukung dengan sudut pandang pertama,
surat-surat itu jadi terasa lebih intim dan intens sehingga pesan yang
disampaikan sangat kuat. Sangat cocok untuk para remaja yang bisa saja menghadapi
masalah seperti Sylvi dan teman-temannya. Aku, yang hampir keluar zona young adult dan menuju new adult, ikut merasakan ‘tonjokan’
halus itu. Aku jadi memikirkan obsesi dan hobiku yang bisa merugikan di masa
depan, misalnya kegilaanku pada makanan super pedas. Nafsu itu langsung anjlok!
Setiap keinginan itu muncul kembali, aku menahan diri dengan mengingat apa yang
menimpa para tokoh di akhir cerita dan itu berhasil. Aku jadi heran sendiri,
kenapa selama ini aku menutup mata dengan semua penderitaan yang kurasakan
akibat hobi itu? Lalu kenapa cerita itu lebih ampuh ‘mengobati’-ku dibandingkan
ucapan orang-orang terdekatku? Itu bukti bahwa ceritanya benar-benar
menyentuhku.
Gaya bahasa yang digunakan sedikit
baku tapi tak terasa kaku. Cocok untuk menggambarkan tokoh dengan karakter yang
unik. Kalimat-kalimat hasil pemikiran mereka pun jadi lebih bisa dinikmati tapi
tetap bermakna besar. Banyak yang aku suka. Semuanya langsung aku masukin ke
laman Goodreadsnya, hehe. Untuk tokoh kesukaanku, tentu saja jatuh kepada
Sylvi, sang penghasil kata. Dia punya pemikiran cukup dewasa dibandingkan
teman-temannya. Perbedaannya dalam cara berpikir tidak membuatnya membosankan.
Dia malah sukses membuatku terpingkal-pingkal! Dia juga punya prinsip
tersendiri tentang cinta atau perasaan lainnya. Contohnya dalam lukisan
abstraknya, dia memilih warna ungu untuk melambangkan kebahagiaan, sedangkan
merah untuk lambang kelemahan. Itu menandakan dia tidak mengikuti standar umum
dan tidak keberatan sama sekali. Sayangnya, dia tidak berpikir demikian saat
menyangkut obsesinya untuk menjadi kurus. Bagaimana bisa seseorang yang begitu
kuat, menjadi lemah seketika? Aku sangat sedih dan kehilangan kata-kata ketika
dia memetik ‘hasil benih’ itu :(
Masalah yang dihadapi Sylvi juga
teman, Scarlet, mempunyai proses dan akhir yang cukup mengejutkan. Tapi tidak
dengan masalah Andy dan Lyla. Hanya dijelaskan semua itu diselesaikan oleh
waktu. Agak mengesalkan buatku. Kenapa susah-susah memunculkan suatu konflik,
yang aku suka, kemudian mengabaikannya? Aku sudah terlanjur peduli dengan
mereka tapi tidak mendapatkan penjelasan yang layak. Well, saat itu keadaan Sylvia sedang dalam puncak-puncaknya. Mungkin
dia susah untuk peduli pada hal lain. Itu salah satu kelemahan format dan sudut
pandang yang dipilih.
At last, Sylvia's Letters
menyajikan cerita remaja yang sederhana tapi mampu memberikan pesan yang kuat.
Dengan format dan kategori surat yang tak biasa, kehidupan Sylvi dan segala
masalahnya menghibur sekaligus memberikan kesan mendalam. Aku juga menyukai
gaya bahasa yang dipakai. Untuk penulisnya, ditunggu karya selanjutnya. Recommended! :D
Watch me on YouTube
No comments:
Post a Comment
Thanks for leave your comment :D