Lona Hutapea Tanasale
273 Halaman
Gramata Publishing, Desember 2012
PARIS – C’est Ma Vie berkisah
tentang keseharian hidup penulis di Paris – the real life yang tak nampak dalam kilau foto-foto
di kartu pos atau brosur wisata.
Lebih dari ‘sekedar’ Eiffel, Champs-Elysées, atau Monalisa, Anda akan
diajak menyusuri Axe Historique,
menembus dunia bawah tanah, merasakan perjuangan saat menyetir dan mengisi
bensin self-service, menikmati
serunya belanja yang (ternyata) tak melulu di branded boutiques, dan menguak sisi-sisi lain Paris yang unik
meski tak selalu romantis, lalu mengintip dunia di balik gerbang KBRI,
menyelami kehidupan keluarga diplomat yang seolah gemerlapan namun sesungguhnya
bergelimang tantangan.
*****
This is a detail
diary, of a woman, who has passion for so many things in life...
Syaharani - Singer, Founder of ESQI:EF
Syaharani - Singer, Founder of ESQI:EF
Lona menceritakan semua tentang Paris secara fasih!
Pepih Nugraha - Redaktur Pelaksana Komunitas Kompas.com
Pepih Nugraha - Redaktur Pelaksana Komunitas Kompas.com
Memoir yang memikat, dengan gaya bertutur serenyah tempe keripik dan
semanis es krim.
Endah Raharjo - Penulis Novel 'Senja di Chao Phraya'
Endah Raharjo - Penulis Novel 'Senja di Chao Phraya'
Setelah selesai melahap habis buku ini saya mulai khawatir tidak ada
seorang pun diplomat di Kemlu yang bersedia posting kecuali ke
Paris...
Raja J. Antoni - Peneliti MAARIF Institute
Raja J. Antoni - Peneliti MAARIF Institute
Hanya di buku inilah, saya bisa menjelajahi Paris hingga sudut-sudut
yang mungkin tak banyak orang tahu.
Junanto Herdiawan - Kompasianer, Penulis Buku 'Shocking Japan' & 'Japan Aftershock'
Junanto Herdiawan - Kompasianer, Penulis Buku 'Shocking Japan' & 'Japan Aftershock'
Paris – C’est Ma Vie bisa dibilang bagian pertama dari
pengalaman Mbak Lona di Paris. Bagian keduanya, Voila la France, sudah aku baca
dan review di sini. Penulisnya
mengapresiasi review-ku itu dengan
buku ini. Aku sangat senang dan semangat untuk baca lebih banyak lagi
cerita-cerita Mbak Lona sebagai ‘orang Paris’. Now, let’s review it :D
"Syarat
utama [untuk naik Métro dengan nyaman] adalah harus mahir membaca peta. Mungkin
awalnya sulit, tapi dalam waktu singkat pasti akan terbiasa. ‘Si tu veux, tu peux,’ kata orang
Perancis. Kalau kamu mau, kamu (pasti) bisa." – halaman 42
Paris – C’est Ma Vie merangkum pengalaman penulis saat ikut
suaminya posting di KBRI Paris. 33
cerita nyata itu dibagi lima bagian. Bagian pertama, Paris? Non, Merci .. –
kenapa Harus Paris Sih?,
menceritakan reaksi penulis saat pertama kali mendapatkan berita akan pindah ke
Paris. Bagian kedua, La Vie
Quotidienne – Paris dalam Keseharian, menjelaskan kehidupan warga Paris
pada umumnya. Mulai dari mengurus pendidikan anak-anak, menggunakan Metro
sebagai transportasi, mengisi bensin sendiri, berbelanja saat sale, dan cuaca yang sangat mempengaruhi
kegiatan lainnya. Bagian ketiga, La Plus
Belle Ville du Monde – Kota Terindah di Dunia, membahas tempat-tempat wisata
di Paris dari yang sangat terkenal seperti La
Tour Eiffel, lukisan Monalisa di Musée du
Lourve, Montmartre yang penuh sejarah seni, dan Catacombes de Paris yang mencekam. Tidak
lupa peringatan tentang pencopetan yang sering terjadi.
Bagian keempat, L’Art de Vivre – Seni Hidup ala Perancis,
memaparkan hal-hal yang identik dengan warga Paris seperti ‘kewajiban’ untuk
menggunakan bahasa Perancis, urusan kesehatan yang sudah terjamin, hobi berdemo
dan aksi damai yang unik, pasar kaget dalam menyambut liburan, dan tahapan
panjang dalam menyantap makanan beserta berbagai macam roti, anggur, dan keju. Bagian
kelima, Les Coulisses de l’Ambassade
– Di Balik Gerbang KBRI, berisi kegiatan warga Indonesia di KBRI Paris seperti,
mengenalkan tarian khas Indonesia, melangsungkan upacara peringatan
kemerdekaan, menyambut kedatangan Presiden, dan saling berbagi dengan sesama
orang Indonesia di negara orang. Banyak foto hitam putih dokumentasi penulis
yang disertakan dalam cerita-ceritanya.
"Axe Historique yang bermula sejak abad
ke-17 (dan kemungkinan besar masih akan diteruskan di tahun-tahun mendatang)
adalah sebuah garis lurus virtual berawal dari Musée du Lourve, membentang melalui Arc du Caroussel dan Jardin
des Tuileries, terus melewati Place
de la Concorde, Avenue des
Champs-Elysées, Arc de Triophe,
dan (untuk sementara ini) berakhir di Grande
Arche de la Défense." – halaman 127 - 128
Paris – C’est Ma Vie menyuguhkan proses adaptasi dan kehidupan
baru penulis di Paris dengan cerita-cerita menarik, informatif, dan bikin iri
hehehe. Isinya penuh pengetahuan dari yang serius seperti sistem pendidikan, yang
penting untuk calon wisatawan seperti tips berfoto di depan La Tour Eiffel
sesuai posisi matahari, sampai hal-hal kecil nan unik seperti cara
menerjemahkan bahasa Inggris ke dalam bahasa Prancis yang agak ‘maksa’. Nggak beda jauh sama Indonesia
hehehe. Semua informasi itu tidak berat koq karena diceritakan dengan bahasa
yang tidak kaku dan bersahabat. Jadi buku ini cocok untuk dibaca dalam keadaan
santai. Aku bahkan sempat senyum-senyum dan geleng-geleng sendiri dengan
pengalaman penulis di Paris.
Isi buku ini menampilkan kota
cahaya dari berbagai sisi. Pembahasannya nggak jauh dari tempat wisata khas
seperti Musée du Lourve atau cara
naik Métro, tapi banyak hal-hal kecil baru yang kudapat, bahkan untuk sesuatu
yang sudah kuketahui. Contohnya, aku sudah tahu bahwa ukuran lukisan Monalisa
itu ternyata tidak begitu besar. Penulis mengiyakannya dalam salah satu
ceritanya. Tidak hanya kekagetannya, yang sempat kurasakan juga, tetapi cerita perjalanan
dari luar museum sampai tiba di kerumuman orang yang sibuk memotret pemilik
senyuman misterius itu. Penulis juga melengkapinya pengetahuannya tentang efek
lukisan itu pada dunia seni, yang tentu tidak pernah aku cari atau dengar
sebelumnya. Bagi aku, yang pengen banget ke sana, cerita-ceritanya membantuku
untuk membayangkan keadaan di sana. ‘Jalan-jalan’ lewat buku jadinya hehehe.
Untuk bagian yang paling menarik
buatku adalah pembahasan tentang arsitektur klasik yang masih bertahan seperti
gedung dan jembatan, Axe
Historique dan La Tour Eiffel
tentunya. Uggh, aku tidak pernah tidak tertarik dengan segala sesuatu tentang
menara berbentuk huruf A ini. Super sirik saat penulis menjelaskan bahwa dia melewati
menara ini hampir setiap hari dan tidak merasa bosan karena penampilan ‘sang nyonya
besar’ selalu berbeda setiap pergantian cuaca. Lalu konsep Axe
Historique itu membuatku terkagum-kagum. Mereka tidak hanya membangun dan
mempertahankan bangunan penuh seni, tapi terus mengembangkannya dari abad ke
abad. Walaupun zaman sudah lebih modern dari masa rencana itu mulai
dilaksanakan, mereka tetap teguh meneruskan proyek garis lurus itu. Hebaaat!
Aku juga mengacungkan dua jempol untuk kelestarian bangunan antik nan klasik
yang membuat Paris seperti museum terbuka. Semuanya punya sejarah dan memang
pantas untuk dijaga untuk selamanya. Sedih deh kalau membandingkannya dengan
kotaku, Bandung. Punya julukan Paris van Java tapi tidak bisa seperti Paris
asli yang punya prinsip kuat soal pengelolaan tata kota dan bangunan bersejarah,
hiks.
Dalam cerita-ceritanya, banyak
ungkapan bahasa Prancis yang diselipkan, lengkap dengan arti perkata dan secara
keseluruhan. Diselipin foto-foto, walaupun dalam keadaan hitam putih, yang cukup
menangkap keadaan yang dialami penulis. Tetapi filter yang digunakan agak aneh, membuat beberapa foto terkesan
seram apalagi bagian kunjungan ke Catacombes
de Paris, hiiiiii! Lalu banyak pembahasan yang diulang secara tidak sengaja.
Pengulangan itu terjadi untuk menyembatani pembaca untuk mengerti pembahasan
lain yang bersangkutan. Tapi pengulangan itu membuat ceritanya merasa
berputar-putar pada hal yang sama dan cukup menganggu juga. Setiap cerita
terasa ditulis secara terpisah. Benang merah yang menyatukan mereka sepertinya
kusut ditengah-tengah. Namun cukup bagus untuk mengingatkan lagi pada istilah
bahasa Prancis yang memang tidak mudah.
At last, sesuai judulnya, Paris
– C’est Ma Vie memperlihatkan berjuangan penulis hidup di negeri
orang. Banyak yang bikin deg-degan tapi semuanya menjadi pengalaman yang
berkesan. Dengan membagi cerita-cerita tersebut dalam sebuah buku, penulis
sangat membantuku melihat kota impian itu dari sudut berbeda. Buku ini cukup
langka di pasaran. Jadi kalau tertarik bisa baca buku sekuelnya, Viola la France, yang tak kalah menarik. Recommended! :D
No comments:
Post a Comment
Thanks for leave your comment :D