Lona Hutapea Tanasale
208 Halaman
B first, April 2015
Rp. 44.000,-
And they lived
happily ever after …
Kisah cinta yang berakhir bahagia selalu menjadi mimpi setiap orang.
Namun siapa sangka, jalinan cinta antara Putri Raja dan Kesatria Pemberani di
istana negeri dongeng, terinspirasi dari kemegahan le Mont-Saint-Michel, sebuah
kastel di Prancis yang dinobatkan sebagai World Heritage Site.
Prancis dan Paris memang menyimpan sisi romantis di setiap sudutnya.
Namun tak hanya itu, kota tercantik itu juga menjadi saksi dari berbagai
peristiwa bersejarah dunia.
Melalui buku ini, Anda tak hanya disuguhi Menara Eiffel yang sudah
sangat terkenal. Anda akan diajak mengunjungi kafe-restoran tertua di dunia,
menikmati segarnya Fountain Wallace-pelepas dahaga para pejalan kaki yang
berusia 1,5 abad-menikmati serunya belanja yang tak melulu di branded
boutiques, serta merasakan keindahan
sudut-sudut Shakespeare and Company, toko buku yang kerap disambangi Hemingway
dan para penulis ternama dunia.
Makan, inilah Paris .. si kota cahaya.
"Ingin
merasakan Perancis yang tidak mainstream? Buku ini wajib dibaca. Dalam
kunjungan saya ke Paris, saya menjadikan catatan-catatan mbak Lona sebagai
referensi perjalanan."
- Junanto Herdiawan, penulis Shocking Japan, Shocking Korea, dan Flying Traveler
"Ada
jantung Paris di salah satu bilik hati Lona, wajar kalau ia menceritakan denyut
nadi kota ini secara fasih dan detail."
- Pepih Nugraha, pendiri Kompasiana
Aku menemukan dan langsung
tertarik dengan Voilà la France untuk alasan yang
sangat jelas, menara Eiffel. Sinopsisnya sempat membuatku berpikir ini adalah
novel ber-setting di Paris. Pas tau
ini adalah buku traveling, aku semakin excited.
Aku sudah melirik isinya saat berkunjung di Gramedia Merdeka. Cuma sekilas sih
tapi cukup yakin untuk membuatku membelinya di acara Midnight Sale Rumah Buku. Let’s review it now :D
"Bagi
warga Prancis, liburan adalah sebuah kebutuhan yang harus dipenuhi. Prinsip
mereka adalah ‘bekerja untuk berlibur’." – halaman 43
Voilà la France berisi kumpulan
cerita nyata penulis tentang kehidupan warga Prancis terutama Paris dalam masa
tugas sang suami di KBRI Paris. 35 cerita yang ada dibagi menjadi lima bagian,
sesuai dengan topiknya. Yang pertama ada Selamat Makan! ‘Bon Appétit!’
yang membahas kebiasaan makan dari jenis menu, nilai bintang 3 untuk restoran, sampai
kue tradisional berisi kejutan. Lalu adalah Selamat Jalan-Jalan! ‘Bonnes
Vacances’ yang membahas kegiatan berlibur, terutama saat musim panas, dan
tempat-tempat wisata menarik selain menara Eiffel. Selanjutnya di Paris, si
Kota Cahaya ‘La Ville de la Lumière’ membahas gaya hidup yang tidak melulu
penuh barang bermerk. Kemudian di Peraturan & Kebijakan (Unik)
‘Règles Bizarres’ membahas peraturan tak biasa yang masih dan sudah tidak
berlaku lagi. Dan yang terakhir, Paris yang Kurindukan ‘Paris Me Manque (I Miss
Paris)’ membahas beberapa pengalaman pribadi penulis yang menyangkut latar belakangnya
sebagai orang ‘baru’ di Paris. Di beberapa cerita diakhiri dengan dua-tiga tip
sederhana seperti berbelanja oleh-oleh lebih murah, pilihan transportasi, waspada
copet, dan lainnya.
"Jangan
berharap mereka akan tersenyum ramah dan mempersilakan untuk sekedar
melihat-lihat. Apalagi kalau kita main nyelonong masuk tanpa mengucapkan ‘bonjour’ sama sekali." – halaman 99
Sesuai dengan dugaanku, Voilà
la France memang berbeda dari buku-buku tentang Paris yang sudah aku baca.
Kebanyakan dari buku-buku sebelumnya lebih condong ke kegiatan traveling, sedangkan di buku ini fokus
pada kehidupan warga Prancis sebagai .. ya warga Prancis. Dengan gaya tulisan
yang enak dibaca, hal-hal menarik dan tak biasa tentang kehidupan di Prancis,
terutama Paris, jadi menghibur dan kaya infomasi berharga. Foto-foto yang
disertakan sangat membantuku membayangkan bagaimana tempat-tempat dan suasana
sesuai ceritanya. Banyak sekali hal baru yang kini aku ketahui. Banyak juga
penjelasan yang melegakanku, seperti larangan berkerudung. Peraturan itu sempet
aku kecewa dan ragu-ragu menempatkan Paris sebagai tempat impianku. Tapi setelah
dijelaskan, ternyata larangan itu tidak berlaku pada gaya kerudung yang
kukenakan. Lagian, ternyata di sana penduduk muslimnya adalah terbanyak di
Eropa. Makin cinta deh! :p
Banyak cerita yang menjadi favoritku.
Di bagian pertama, Selamat Makan! ‘Bon Appétit!’, aku suka sekali dengan
hubungan erat antara sastra dan kafe yang dijelaskan di ‘Kafe Aroma Seni dan
Sastra’ dan tradisi unik yang berhubungan dengan kue di ‘Galette des Rois’. Di Selamat
Jalan-Jalan!
‘Bonnes Vacances’, aku kini tahu masih banyak kegiatan dan tempat wisata menarik
selain naik menara Eiffel seperti mengunjungi kastel bersejarah yang dijelaskan
di ‘The Real Castle’ dan berkunjung ke ‘Toko Buku Istimewa’ yang tak lain
adalah Shakespeare and Company. Di Paris, si Kota Cahaya ‘La Ville de la
Lumière’, aku suka dengan cerita ‘Paris Syndrome’ yang seringkali menyerang
wisatawan asal Jepang. Gambaran sempurna Paris dan bentrokan budaya yang mereka
alami kadang membuat mereka sampai depresi. Di Peraturan &
Kebijakan (Unik)
‘Règles Bizarres’, selain cerita tentang berkerudungan di ‘Terkecoh dengan Laïcité’,
cerita ‘Dilarang Rnovasi Sembarangan’ membuatku kagum dengan ketegasan hukum di
sana dan wajar saja kehidupan mereka mengundang banyak wisatawan. Dan di Paris
yang Kurindukan ‘Paris Me Manque (I Miss Paris)’, aku secara tidak langsung
merasakan naik menara Eiffel di ‘Ke Puncak La Tour Eiffel’. Bener kata penulis,
sebagai penduduk lokal, kita jarang merasa terdesak untuk mengunjungi tempat
wisata setempat. Aku, sebagai orang Bandung, jarang tuh nongkrong di kafe di
Dago, berbelanja ke factory outlet di
jalan Riau atau main ke taman tematik seperti Taman Film, Taman Jomblo dan
Alun-Alun. Seringnya lewat doang hahaha. Tapi dalam hati aku juga pengen main
dan mungkin semua itu akan aku coba satu per satu.
Di akhir beberapa cerita, ada
tip-tip singkat, sederhana namun sangat berguna untuk calon wisatawan.
Sayangnya tip itu seringkali hanya malah tidak nyambung dengan cerita
sebelumnya atau rangkuman dari cerita di bab sebelumnya. Tidak hanya itu,
banyak hal yang diulang seperti fasilitas Vélib (sepeda sewaan). Sebenarnya
pengulangan itu berguna untuk menjelaskan satu cerita yang kebetulan butuh
penjelasan yang serupa. Tapi aku membaca cerita-cerita itu cukup cepat dan masih
ingat jelas informasi itu. Jadinya pengulangan itu agak menganggu. Hal lain
yang kurang enak menurutku adalah cerita yang berakhir begitu saja, seperti
cerita ‘Presiden ‘Normal’’. Aku menginginkan cerita yang lebih detail, eh
taunya berakhir begitu saja. Aku juga sebenarnya berharap foto hitam putihnya
di cetak di kertas yang agak terang biar terlihat lebih jelas. Sayangnya kertas
yang digunakan buram dan terkesan agak kucel. Pilihan lainnya mungkin ada beberapa foto yang
berwarna. Memang harganya nanti akan sedikit lebih mahal. Tapi dengan isinya
yang bagus, cukup pantas, kan.
At last, cerita-cerita dalam Voilà la France membawaku menikmati
Paris sebagai warga ‘biasa’, bukan traveler.
Hal-hal unik, foto-foto yang menarik dan didukung gaya penulisan yang mengalir
membuatku lebih tahu bagaimana kehidupan dan kebiasaan di sana. Semoga ada buku
sekuelnya, karena aku yakin masih banyak hal yang bisa diceritakan penulis. Recommended! :D
No comments:
Post a Comment
Thanks for leave your comment :D