Lois Lowry
232
Halaman
PT.
Gramedia Pustaka Utama, Agustus 2014
Rp. 48.000,-
Dunia Jonas adalah dunia yang sempurna. Semuanya terkendali dan
teratur. Tak ada perang, ketakutan, atau kesakitan. Juga tak ada yang namanya
pilihan.
Semua orang memiliki peran di
Komunitas. Saat Jonas menjadi Dua Belas, dia terpilih menerima latihan khusus
dari Sang Pemberi. Selama ini Sang Pemberi memegang ingatan akan rasa sakit
sejati dan kenikmatan hidup. Sekarang saatnya bagi Jonas untuk menerima
kebenaran. Dan tak ada jalan untuk kembali.
Saat itu menjelang
Desember, dan Jonas mulai merasa takut....
Kalau tidak ada film adaptasinya,
The Giver – Sang Pemberi tidak akan
pernah menarik perhatianku. Aku menonton filmnya tepat setahun yang lalu dan
secara keseluruhan filmnya di bawah ekspetasi. Sempat menyurutkan niatku untuk membaca
bukunya. Namun, ada sedikit keyakinan kalau bukunya lebih baik. Aku juga
penasaran kenapa buku ini dijadikan bacaan wajib anak sekolah di Amerika
Serikat. Now, let’s review it! :D
"Aku
tahu tidak ada yang harus dicemaskan dan setiap orang dewasa sudah melaluinya. Aku
tahu kau sudah melaluinya, Ayah, dan kau juga, Ibu. Tapi Upacaranya yang
kukhawatirkan. Sebentar lagi Desember." – halaman 21
Kedatangan bulan Desember membuat
Jonas merasa takut. Dia memikirkan Upacara Dua Belas dan Penugasan apa yang
akan dia dapat di Komunitas. Dia mengungkapkannya di ritual berbagi perasaan di
malam hari kepada Ayah, Ibu, dan adik perempuannya, Lily. Ayah dan Ibu, yang
ditugaskan di bagian Pengasuh dan Hukum dan Peradilan, menenangkannya dengan
penjelasan Para Tetua pasti menentukan tugas yang pas untuk Jonas. Sementara
itu Ayah menceritakan tentang anakbaru yang tidak terlalu sehat. Ayah khawatir
anakbaru itu akan diberi Pelepasan. Dia lalu meminta izin ke komite untuk
membawa anakbaru ke rumah dan mengasuhnya lebih intens. Jika bertahan, anakbaru
itu akan diberi nama Gabriel. Mata pucat Gabriel mengingatkan Jonas akan
dirinya sendiri.
Upacara Dua Belas yang ditunggu pun
tiba. Tapi tidak seperti yang Jonas bayangkan. Teman-temannya, Asher sebagai
Asisten Direktur Rekreasi dan Fiona menjadi Pengurus Lansia, sedangkan Jonas
mendapatkan Penugasan istimewa, Penerima Ingatan. Dia akan dilatih oleh Sang
Pemberi tentang ingatan masa lalu dan rasa sakit yang sesungguhnya. Peraturan
yang dia terima membuatnya tidak nyaman karena sebagian besar melanggar
nilai-nilai yang diajarkan kepadanya dari kecil seperti diperbolehkan berbohong.
Pelatihannya tidak hanya memberi Jonas sisi menyenangkan dalam hidup seperti
macam-macam warna, tapi juga hal-hal yang tak pernah dia ketahui seperti ketakutan
dan kesedihan.
"Jonas
menyadari sekarang dia sering marah: kemarahan irasional pada teman-teman kelompoknya,
lantaran mereka puas dengan kehidupan mereka yang sama sekali tidak bergelora
seperti kehidupannya kini. Dan dia marah kepada diri sendiri karena tidak bisa
mengubahnya untuk mereka." – halaman 122
Untuk masalah keseruan, The Giver – Sang Pemberi mungkin kalah
jauh dengan novel young adult dystopian
lainnya. Tapi kalau membicarakan efeknya, kisah Jonas punya berpengaruh yang
sangat besar. Pada awalnya, cerita bergulir sangat mirip dengan pengalamanku
menonton film adaptasinya. Ada beberapa perbedaan pada hal-hal kecil tapi itu
malah membuatku lebih awas. Aku jadi lebih memperhatikan reaksi Jonas dan lebih
paham akan rasa frustrasinya kepada kehidupan Komunitas yang terlalu aman.
Begitu banyak yang bisa mereka lakukan dalam menjalani hidup, tapi mereka ‘terpaksa’
main di jalur ‘lurus’. Tidak rasa rasa sakit, baik fisik maupun mental, itu
yang ditujunya. Tapi nyatanya, segala kenyamanan
itu tetap memiliki resiko dan menghasilkan sesuatu yang lebih buruk. Contohnya Upacara
Pelepasan. Kalau tahu arti dari upacara itu, aku yakin tidak ada yang merayakan
secara berlebihan, apalagi melakukannya dengan senang hati. Memang banyak yang
terjaga, tapi lebih banyak yang hilang sia-sia.
Ada semacam koneksi yang terjalin
lantaran aku merasa pengalaman hidupku tidak jauh berbeda. Rasa nyaman selalu
menjadi hal yang kuutamakan dalam keseharian. Aku tidak pernah memikirkan
kesempatan-kesempatan berharga yang terbuang selama ini. Pengalamanku sederhana
saja, sepasang sepatu wedges cantik
yang sudah dipersiapkan malam sebelumnya, bisa batal dipakai di pagi hari
karena aku takut tidak nyaman melangkah di jalanan yang kurang halus. Ada resiko
kepeleset, terpaksa tidak berjalan dalam garis lurus, dan ancaman lain untuk kenyamanan
hariku. Apa yang hilang? Kalau saja aku mau mengambil resiko dan terus mencoba
berjalan di berbagai medan, aku mungkin sudah berhenti iri kepada teman-teman
yang ‘jago’ pake heels dan uang yang
kukeluarkan untuk membeli sepatu itu tidak percuma. Di sini aku beneran paham
arti ungkapan ‘no pain, no gain’. Betul-betul
ada sesuai yang dikorbankan untuk mencapai tujuan kita.
Pesan penting lain yang kudapatkan
dari pelatihan Jonas sebagai Penerima Ingatan adalah lebih menghargai hal-hal
yang dianggap sepele, seperti warna saja. Kalau aku mungkin sudah bosan melihat
koleksi bukuku tiap hari. Lalu bagaimana dengan orang lain yang tidak punya
cukup uang untuk membeli buku atau belum bisa membaca sama sekali? Gila
ya kalau dipikir-pikir. Namun, kehidupan tidak berhenti di sana. Seperti
perjuangan Jonas, jadilah berani yang keluar dari zona nyaman dengan mencari
tahu dan mencoba sesuatu yang baru. Terdengarnya biasa saja, tapi kesederhanaan
ceritanya benar-benar menggerakanku. Orang dewasa saja bisa begitu tersentuh,
anak-anak umur 12 tahun apalagi. Kebayang mereka pasti kaget saat tahu masih
banyak kejutan di luar perlindungan orang tuanya. Mereka juga bisa saja
ketakutan. Pantas saja selain pujian dan penghargaan, buku ini juga mendapatkan
kritikan pedas.
Selain kesan kuat yang kudapat
dari ceritanya, aku senang dengan diksi yang digunakan Jonas dan rang-orang
Komunitas. Bahasa juga jadi salah satu yang diatur sedemikian rupa. Ada kata
yang dihilangkan. Itu mendorong mereka menjadi kata lain yang sepadan. Saat diterjemahkan
ke bahasa Indonesia, ada tantangan tersendiri. Kata-kata yang asing buatku
muncul dan memperkaya reviewku yang selama ini berputar di kata ‘menarik’. Ya,
aku juga sadar ;p. Lalu di awal dan akhir bagian, ada pengantar dari penulis. Pidato
penulis saat menerima penghargaan Newbery, di simpan di akhir, sekali lagi
mengubah pandanganku kepada cerita yang dulu aku anggap mengecewakan. Aku juga
kagum dengan pengalaman-pengalaman pribadinya yang kini hadir dalam buku.
Book vs Movie Adaptation
Selama pengalamanku membandingkan
buku dan film, The Giver adalah film adaptasi yang paling setia dengan cerita
aslinya. Memang sih banyak perbedaan yang signifikan, seperti umur Jonas yang
16 padahal harusnya 12, porsi tokoh sampingan yang lebih banyak (Taylor Swift
as Rosemary!), dan ending- yang tidak
terlalu menggantung. Lalu kenapa aku baru tergerak setelah baca bukunya? Sepertinya
faktornya adalah film itu sendiri. Aku terlalu fokus pada visualnya sehingga
tidak sempat memahami idenya. Sedangkan saat membaca buku, aku membuat visual
sendiri yang pastinya lebih lekat dengan kehidupan pribadi. Jadi, kalau kamu
kecewa dengan satu film adaptasi, lebih baik tidak langsung menuduh cerita di
bukunya jelek juga ya :)
At last, di balik kesederhaan ceritanya, The Giver – Sang Pemberi memberikan pesan dan kesan yang sangat kuat
tentang kehidupan. Segala hal yang kita anggap aman, mungkin saja mengandung
hal yang tidak baik dan menghambat kemajuan diri sendiri. Sesuatu yang terlalu
sempurna malah sebenarnya tidak sempurna. Teruslah memperbesar zona nyamanmu. Recommended!
:D
"Segala hal yang kita anggap aman, mungkin saja mengandung hal yang tidak baik dan menghambat kemajuan diri sendiri. Sesuatu yang terlalu sempurna malah sebenarnya tidak sempurna." Nice statement, kak! Btw kakak sudah baca A List of Cages yang versi bahasa Indonesia?
ReplyDelete