Aku tidak pernah bisa menentukan
bacaanku dalam sebulan. Bisa saja aku merencanakan membaca satu judul, tetapi mood untuk membacanya hilang saat
membuka halaman pertama. Sehingga aku paling nggak bisa mengikuti read-a-thon – membaca buku secara
maraton – dengan berbagai tantangan khusus. Buku pilihanku akan berubah seiring
berjalannya waktu. Daripada stres sendiri, aku akhirnya memilih tidak ikutan.
Namun, di bulan-bulan tertentu
ada mood khusus untuk membaca buku
dengan genre atau plot cerita
tertentu. Hal ini berlangsung mulai bulan September sampai Maret. Nah, aku
ingin membagi mood aneh ini. Untuk
bulan September, mood-nya adalah
membaca cerita yang berlatar belakang Paris atau paling tidak mempunyai gambar
menara Eiffel di cover-nya. Sebenarnya
di luar bulan itu, aku masih mood baca
buku seperti itu. Hanya saja dulu aku mengalami transisi di antara bulan
Agustus dan September. Salah satu perubahan besarnya adalah perpisahan. Sedih,
takut, semuanya jadi satu. Tapi aku merasa dikuatkan dengan kenangannya yang
menyangkut kota cahaya itu. Menara Eiffel identik dengan kota itu dan selalu
sukses membuatku teringat. Maka dari itu September bagiku lekat dengan segala
hal tentang Paris, terutama menara Eiffel.
Di bulan September kemaren, aku
membaca empat buku – tiga fiksi dan satu non-fiksi – yang punya latar cerita di
Paris dan ada menara Eiffel di cover-nya.
Berikut sinopsis dan sedikit review dariku ;D
Ajeng pergi ke Paris untuk
mencoba tinggal dan beradaptasi dengan kehidupan pacarnya, Yves. Yves sudah
sangat yakin untuk membangun hidup dengan Ajeng. Sementara Ajeng sedikit ragu
karena kedua orangtuanya tidak mempunyai kehidupan pernikahan yang harmonis.
Alain, teman Yves yang punya jiwa bebas, muncul dan makin membingungkan hati
Ajeng.
Segenggam
Daun di Tepi La Seine menggabungkan kisah cinta yang punya konflik berlapis-lapis
dengan penjelasan kota paling romantis yang fresh.
Konflik batin Ajeng soal pernikahan menurut lebih menarik dibandingkan dengan
kisah cinta segitiganya. Tapi cerita tentang keraguannya dengan Yves dan
keterarikannya kepada Alain tetap seru koq. Apalagi diselingi dengan penjelasan
tentang Paris yang berbeda jauh dari buku panduan wisata. Tidak hanya soal
kehidupan sehari-hari yang penuh aturan, tetapi juga gaya hidup dan hiburan yang
tak pernah terbayangkan. Baca review selengkapnya di sini :D
Penulis membagi pengalamannya
hidup di Paris selama masa dinas suami di KBRI Paris. Ada 33 cerita yang
membahas masa pindahan, mengurus pendidikan anak, mengunjungi tempat-tempat
wisata, dan hal-hal yang identik dalam kehidupan warga Paris. Ada juga bagian khusus
untuk cerita kegiatan warga Indonesia di KBRI. Banyak foto hitam putih dokumentasi
penulis yang disertakan dalam cerita-ceritanya.
Paris – C’est Ma Vie menyuguhkan proses adaptasi dan kehidupan
baru penulis di Paris dengan cerita-cerita menarik, informatif, dan bikin iri
hehehe. Isinya penuh pengetahuan dari yang serius seperti sistem pendidikan, yang
penting untuk calon wisatawan seperti tips berfoto di depan La Tour Eiffel
sesuai posisi matahari, sampai hal-hal kecil nan unik seperti cara
menerjemahkan bahasa Inggris ke dalam bahasa Prancis yang agak ‘maksa’. Baca review selengkapnya di
sini :D
Di Sunken City, yang dulu Paris,
terjadi kehebohan. Tahanan, yang merupakan satu keluarga, hilang saat akan
diberikan hukuman pancung. The Red Rook diduga menjadi dalangnya dan membawa
mereka berlayar ke Commonwealth. Penyelidikan yang dipimpin LeBlac pun sampai
ke pesta pertunangan Sophie Bellamy dengan Réne Hasard. LeBlac menyurigai
salah satu Bellamy sebagai Rook.
Rook menghadirkan kisah petualangan dan cinta dalam latar dunia dystopian yang tak biasa. Alih-alih
memunculkan dunia baru dengan peraturan yang tak biasa, kehidupan orang-orang
setelah kehancuran besar malah kembali ke masa lalu. Pemilihan kota Paris sebagai
salah satu setting-nya juga pas. Di
sana bangunan-bangunan klasik masih bertahan dan dirawat dengan baik. Detail
dan perangkat di dalam rumah yang ada sebelum kemunculan listrik atau kemajuan
zaman lainnya juga pasti masih ada. Jadi penduduknya tidak akan kesulitan ‘beradaptasi’
dan hidup sebagai orang tempo dulu. Baca review selengkapnya di sini :D
Anna menjalani tahun seniornya di
sekolah asrama di Paris karena ayahnya. Dia meninggalkan hidup lama di Atlanta
dan susah payah menguasai bahasa Perancis. Tapi dia menemukan teman-teman baru
yang menyenangkan, terutama St. Clair yang mau mengajaknya keliling Paris. Mereka
akrab dengan cepat. Sayangnya baik St. Clair dan Anna sudah punya pasangan.
Anna and the French Kiss menghadirkan kisah cinta remaja yang tak
kukira bakal begitu menguras emosi. Menggambil setting di kota yang didapuk sebagai kota paling romantis di dunia,
cerita Anna, St. Clair, teman-temannya, dan segala permasalahan mereka
membuatku sedikit book hangover. Aku
senang sekali dengan sisi Paris yang ditampilkan di sini. Banyak tempat yang
tak asing disebutkan, tapi banyak juga tempat-tempat baru yang membuatku
bersemangat. Ada Point Zéro Des Routes De France – Titik Nol Perancis yang berada
dekat Notre-Dame. Lalu tentunya bioskop yang tersebar di mana-mana. Dari sekian
banyak buku tentang Paris yang kubaca, belum ada yang menyinggung keberadaan
tempat hiburan favoritku ini. Kalau pun ada, pasti yang dibahas adalah festival
film Cannes. Baca review selengkapnya di sini :D
Selain empat buku itu, aku tentu membaca
buku lain dan tidak selalu menjadikan Paris sebagai setting-nya. Jumlahnya 9 buku, semuanya fiksi. Kebanyakan terbitan
lama karena aku sedang berusaha memenuhi tantangan membacaku tahun ini ;p
Jadi selama bulan September, aku
membaca 13 buku. Yang cukup berkesan adalah Sincerely Yours, Ignite Me,
Torment, dan Anna and the French Kiss. Klik judul-judul tersebut, yang mengarah
langsung ke review-nya, untuk tahu
alasannya ;)
Untuk bulan Oktober ini, mood bacaanku adalah cerita horor,
misteri, dan segala yang seram. Kalau mengecek laman profile Goodreadsku, ada
beberapa buku yang kuselesaikan. Nantikan rangkumannya pertengahan bulan
November! Good day :D
No comments:
Post a Comment
Thanks for leave your comment :D