Prisca Primasari
144 Halaman
Penerbit Inari, Mei 2016
"Karena
terkadang, tidak merasakan itu lebih baik daripada menanggung rasa sakit yang
bertubi-tubi."
Ivarr
Amundsen kehilangan kemampuannya untuk merasa. Orang yang sangat dia sayangi
meninggal dengan cara yang keji, dan dia memilih untuk tidak merasakan apa-apa
lagi, menjadi seperti sebongkah patung lilin.
Namun,
saat Ivarr bertemu Solveig, perlahan dia bisa merasakan lagi percikan-percikan
emosi dalam dirinya. Solveig, gadis yang tiba-tiba masuk dalam kehidupannya.
Solveig, gadis yang misterius dan aneh.
Berlatar
di Trondheim, Norwegia, kisah ini akan membawamu ke suatu masa yang muram dan
bersalju. Namun, cinta akan selalu ada, bahkan di saat-saat tergelap sekalipun.
Aku beruntung banget bisa membaca
Purple Eyes sebelum bukunya resmi
terbit dan beredar di toko buku. Walaupun cukup cepat mendapatkannya, aku ada
di belakang para book blogger lain untuk urusan mereview. Waktu itu aku baru
beres baca Love Theft #2 dan nggak mau mencampurkan dua dunia berbeda itu. Hal
itu juga bikin aku hampir aja kena spoiler
dan mempunyai ekspetasi yang cukup tinggi. Aku mengatasinya dengan tidak
membaca sinopsisnya sampai selesai baca bukunya. Now, let’s review it!
:D
"Barulah
Solveig memahami bahwa barangkali Ivarr memang memilih untuk tidak merasakan
apa-apa. Karena terkadang, tidak merasakan itu lebih baik daripada menanggung
rasa sakit yang bertubi-tubi."
Sang dewa kematian, Hades, turun ke
bumi bersama asistennya untuk sebuah urusan. Mereka menggunakan nama Halstein
dan Solveig. Tujuan pertama mereka adalah rumah Ivarr Amundsen, pemilik
Amundsen Corp. Ivarr masih dalam kondisi berduka untuk Nikolai, adiknya yang
dibunuh secara misterius dan levernya diambil. Tapi dia tidak bisa merasakan
apa-apa, menangis pun tidak. Tanpa memberitahu rencananya, Halstein menyuruh
Solveig mengunjungi Ivarr sendirian secara berkala. Kebersamaan mereka
menghadirkan keakraban tersendiri. Solveig ingin melindungi lelaki itu. Ivarr
pun ingin tahu lebih banyak tentang gadis yang tampaknya berasal dari zaman
berbeda itu.
"Apa
salahnya mengharapkan yang terbaik, baik ketika hidup maupun setelah mati?"
Purple Eyes memiliki cerita yang menyentuh tentang pilihan untuk
hidup atau mati. Memilih untuk merasakan
sesuatu atau mengabaikan semuanya menjadi ‘efek’ pilihan tersebut. Keduanya
beresiko menimbulkan rasa sakit yang ‘mematikan’, tapi itulah esensi dari hidup
dan mati. Bisa dibilang, Ivarr berada di antara dua hal yang berlawanan itu. Dia
harus memilih salah satu dan melakukannya dengan sungguh-sungguh. Solveig juga
muncul untuk memahaminya. Cerita dari sudut masing-masing memberikan sisi baru
tentang bagaimana mereka bertahan. Cerita mereka singkat saja dan jumlah
halaman pun tidak begitu tebal, tetapi secara keseluruhan ceritanya terasa penuh,
‘gendut’, dan berhasil menyentuh sisi sensitifku. Latar Trondheim yang dipilih termasuk baru
dan segar buatku. Detail-detail kecilnya, terutama sejarah tradisi berciuman di
bawah misletoe, menjeratku untuk
terus baca. Settingnya juga memberikan aura tersendiri, dingin sekaligus hangat
dan klasik. Sehingga menggunakan bahasa baku terasa pas dan enak dibaca. Di
akhir, aku merasakan book hangover
yang tidak jauh berbeda dengan saat aku membereskan Me Before You.
Sebelum menikmati kebersamaan
Ivarr dan Solveig yang sederhana tapi sangat bermakna itu, aku sempat tertarik
pada misteri pembunuhan Nikolai. Bagian ini yang mencegahku untuk ketiduran
untuk kesekian kalinya. Aku kira misteri tersebut akan terkuak dengan
mencengangkan dan berperan besar membawa Ivarr kembali. Hmm, sebenarnya
hasilnya tidak jauh beda, tapi alurnya yang tidak sesuai perkiraanku. Di sana
aku sadar bahwa ini adalah cerita romantis dan jarang sekali menggunakan elemen
kejutan yang gelap seperti itu. Lalu aku juga mempelajari bahwa novella ini
punya genre magical realism, yaitu
cerita yang menggunakan hal-hal magis dan fantasi tapi memperlakukannya sebagai
hal biasa. Pengertian ini membuatku lebih bisa membayangkan Hades mendata
orang-orang yang dia panggil. Sebelumnya aku merasa aneh sekali membaca
bagian-bagian dunia selanjutnya yang ‘disisipkan’ ke dunia nyata. Otakku juga
agak macet untuk mengira-gira kelanjutan ceritanya. Sempat menduga Ivarr dan
Solveih akan berakhir di suatu tempat, dan itu memang terjadi di bagian epilog.
Kalau biasanya aku tidak suka kalau tebakanku terkabul, kali ini aku merasa senang
dan sangat puas.
At last, Purple Eyes
memperlihatkan sisi hidup dan mati lewat Ivarr dan Solveig. Trondheim
yang dingin memberikan kehangatan tersendiri untuk perjalanan ini. Kehidupan
mereka yang berlawanan hadir dengan dua sisi cerita dan gaya tulisan yang kuat.
Makna dan pengalaman membaca yang dihasilkan pun lebih dari cerita romantis.
Maka dari itu kisah ini sangat dekat dengan pengalaman pribadiku. Recommended! :D
dari reviewnya aku udah mikir kalo tulisannya Kak Prisca ini magis dan klasik. Penasaraan :D
ReplyDeleteHalo Putri Prama,
ReplyDeleteIyaaa, ceritanya memang terasa magis dan klasih. Harus baca yaaa.