Purple Eyes

by - 2:59 AM

Prisca Primasari
144 Halaman
Penerbit Inari, Mei 2016

"Karena terkadang, tidak merasakan itu lebih baik daripada menanggung rasa sakit yang bertubi-tubi."

Ivarr Amundsen kehilangan kemampuannya untuk merasa. Orang yang sangat dia sayangi meninggal dengan cara yang keji, dan dia memilih untuk tidak merasakan apa-apa lagi, menjadi seperti sebongkah patung lilin.

Namun, saat Ivarr bertemu Solveig, perlahan dia bisa merasakan lagi percikan-percikan emosi dalam dirinya. Solveig, gadis yang tiba-tiba masuk dalam kehidupannya. Solveig, gadis yang misterius dan aneh.

Berlatar di Trondheim, Norwegia, kisah ini akan membawamu ke suatu masa yang muram dan bersalju. Namun, cinta akan selalu ada, bahkan di saat-saat tergelap sekalipun.

Aku beruntung banget bisa membaca Purple Eyes sebelum bukunya resmi terbit dan beredar di toko buku. Walaupun cukup cepat mendapatkannya, aku ada di belakang para book blogger lain untuk urusan mereview. Waktu itu aku baru beres baca Love Theft #2 dan nggak mau mencampurkan dua dunia berbeda itu. Hal itu juga bikin aku hampir aja kena spoiler dan mempunyai ekspetasi yang cukup tinggi. Aku mengatasinya dengan tidak membaca sinopsisnya sampai selesai baca bukunya. Now, let’s review it! :D

"Barulah Solveig memahami bahwa barangkali Ivarr memang memilih untuk tidak merasakan apa-apa. Karena terkadang, tidak merasakan itu lebih baik daripada menanggung rasa sakit yang bertubi-tubi."

Sang dewa kematian, Hades, turun ke bumi bersama asistennya untuk sebuah urusan. Mereka menggunakan nama Halstein dan Solveig. Tujuan pertama mereka adalah rumah Ivarr Amundsen, pemilik Amundsen Corp. Ivarr masih dalam kondisi berduka untuk Nikolai, adiknya yang dibunuh secara misterius dan levernya diambil. Tapi dia tidak bisa merasakan apa-apa, menangis pun tidak. Tanpa memberitahu rencananya, Halstein menyuruh Solveig mengunjungi Ivarr sendirian secara berkala. Kebersamaan mereka menghadirkan keakraban tersendiri. Solveig ingin melindungi lelaki itu. Ivarr pun ingin tahu lebih banyak tentang gadis yang tampaknya berasal dari zaman berbeda itu.

"Apa salahnya mengharapkan yang terbaik, baik ketika hidup maupun setelah mati?"

Purple Eyes memiliki cerita yang menyentuh tentang pilihan untuk hidup atau mati. Memilih untuk  merasakan sesuatu atau mengabaikan semuanya menjadi ‘efek’ pilihan tersebut. Keduanya beresiko menimbulkan rasa sakit yang ‘mematikan’, tapi itulah esensi dari hidup dan mati. Bisa dibilang, Ivarr berada di antara dua hal yang berlawanan itu. Dia harus memilih salah satu dan melakukannya dengan sungguh-sungguh. Solveig juga muncul untuk memahaminya. Cerita dari sudut masing-masing memberikan sisi baru tentang bagaimana mereka bertahan. Cerita mereka singkat saja dan jumlah halaman pun tidak begitu tebal, tetapi secara keseluruhan ceritanya terasa penuh, ‘gendut’, dan berhasil menyentuh sisi sensitifku. Latar Trondheim yang dipilih termasuk baru dan segar buatku. Detail-detail kecilnya, terutama sejarah tradisi berciuman di bawah misletoe, menjeratku untuk terus baca. Settingnya juga memberikan aura tersendiri, dingin sekaligus hangat dan klasik. Sehingga menggunakan bahasa baku terasa pas dan enak dibaca. Di akhir, aku merasakan book hangover yang tidak jauh berbeda dengan saat aku membereskan Me Before You.

Sebelum menikmati kebersamaan Ivarr dan Solveig yang sederhana tapi sangat bermakna itu, aku sempat tertarik pada misteri pembunuhan Nikolai. Bagian ini yang mencegahku untuk ketiduran untuk kesekian kalinya. Aku kira misteri tersebut akan terkuak dengan mencengangkan dan berperan besar membawa Ivarr kembali. Hmm, sebenarnya hasilnya tidak jauh beda, tapi alurnya yang tidak sesuai perkiraanku. Di sana aku sadar bahwa ini adalah cerita romantis dan jarang sekali menggunakan elemen kejutan yang gelap seperti itu. Lalu aku juga mempelajari bahwa novella ini punya genre magical realism, yaitu cerita yang menggunakan hal-hal magis dan fantasi tapi memperlakukannya sebagai hal biasa. Pengertian ini membuatku lebih bisa membayangkan Hades mendata orang-orang yang dia panggil. Sebelumnya aku merasa aneh sekali membaca bagian-bagian dunia selanjutnya yang ‘disisipkan’ ke dunia nyata. Otakku juga agak macet untuk mengira-gira kelanjutan ceritanya. Sempat menduga Ivarr dan Solveih akan berakhir di suatu tempat, dan itu memang terjadi di bagian epilog. Kalau biasanya aku tidak suka kalau tebakanku terkabul, kali ini aku merasa senang dan sangat puas.

At last, Purple Eyes memperlihatkan sisi hidup dan mati lewat Ivarr dan Solveig. Trondheim yang dingin memberikan kehangatan tersendiri untuk perjalanan ini. Kehidupan mereka yang berlawanan hadir dengan dua sisi cerita dan gaya tulisan yang kuat. Makna dan pengalaman membaca yang dihasilkan pun lebih dari cerita romantis. Maka dari itu kisah ini sangat dekat dengan pengalaman pribadiku. Recommended! :D

You May Also Like

2 comment(s)

  1. dari reviewnya aku udah mikir kalo tulisannya Kak Prisca ini magis dan klasik. Penasaraan :D

    ReplyDelete
  2. Halo Putri Prama,
    Iyaaa, ceritanya memang terasa magis dan klasih. Harus baca yaaa.

    ReplyDelete

Thanks for leave your comment :D