Hari Minggu dulu sangat berarti buat aku. Apalagi dulu jadwal sekolah aku sampe hari Sabtu. Waktu jadwal sekolah aku sampai hari Jum’at dan hari Sabtu dibebaskan, hari Minggu masih sangat berarti buat aku. Aku bisa maen di hari Sabtu dan mulai kembali konsen ke sekolah saat hari Minggu. Hari Minggu juga hari tidur buat aku. Saat hari sekolah waktu tidur aku selalu berantakan. Bukan cuma karena nonton TV berlebihan, tugas-tugas dan hobi yang terhambat juga bikin aku kurang tidur.
Tapi hari Minggu sejak aku bebas dari jadwal sekolah sangat membosankan!
Dari hari Senin sampe Jum’at, aku bisa nonton hampir 12 jam lebih. Semua programnya gitu-gitu aja. Lama-lama juga bosen. Jadi pas hari minggu dimana programnya gak jauh beda bikin hari Minggu gak berkesan lagi. Aku juga sekarang bebas tidur jam berapa aja tanpa takut kesiangan dateng kesekolah.
Acara-acara musik, gosip-gosip seleb dan sinetron yang alurnya lambat bener-bener bikin jenuh. Aku lalu inget sama hobi yang cukup aku seriusi, nulis. Tapi moodnya gak bagus sekarang. Aku coba bangkitin dengan baca-baca cerpen aku yang ada dibinder dan sedikit bingung nemuin cerpen yang satu ini.
Cinta Yang Lain
” Cara mengobati sakit hati adalah menemukan cinta yang baru . .”
Itulah kalimat yang terucap dari seorang cowok asing yang menghampiri Lona yang tengah duduk sendirian dengan segelas moccachino di sebuah coffee shop.
Bagaimana dia bisa tahu?
” Nandi” tangannya terulur
Lona tak bergeming dan meminum moccachinonya seolah-olah masih sendirian seperti tadi.
” Tak apa” kata Nandi setelah menunggu beberap saat dengan tangan tetap mengulur. Dia menarik tangannya, berbalik dan kembali ke sebuah meja di pojok coffe shop, tempat dia berasal.
Secepat itukah? Mencoba menarik perhatian dengan sebuah kalimat yang seakan menghibur dan kini menyerah. Tentu dia tidak serius dengan kalimat itu.
” Maaf, Mbak . .”
Seorang pramusaji membawa nampan hitam. Lalu sepotong kue coklat pindah ke meja Lona dari nampan itu.
” Mbak, saya tidak merasa memesan . . ”
” Ini kiriman dari laki-laki yang bernama Nandi” potong pramusaji itu ” Dia juga menitipkan ini”
Tidak sopan! Memotong ucapan orang lain.
” Permisi”
Lona mengangguk dengan agak kesal. Dipandangi kue dan kertas yang tertutup itu agak lama. Kemudian ia membuang muka. Ia juga coba menahan diri saat muncul keinginan untuk melirik sang pengirim.
Apa dia masih duduk disana? Apa dia sedang memandangiku?
Semilir angin berhembus membuat rambut tipis Lona sedikit berkibar. Tak menyangka, selembar kertas yang tertutup itu bisa terbuka dan mata Lona mau tak mau melihat sebaris kalimat yang ditulis tangan.
” Saat patah hati, semuanya ingin sednirian. Tapi itu bukan berati kamu benar-benar sendirian. Cinta baru sedang menunggumu..”
Lona tentu tak mengerti apa maksud kalimat itu terutama alasan kenapa cowok bernama Nandi itu mengirimnya. Kini dia tidak bisa menahan keinginannya dan menoleh ke meja di pojok. Tapi Nandi sudah pergi dari sana.
Sebenernya ceritanya masih panjang, tapi aku sendiri gak begitu suka dengan jalan cerita yang jalan ceritanya aku buat sendiri!
Cerpen itu masih tertulis tangan di binder dan aku nulis itu tanggal 27 Juli tahun lalu. Sudah hampir setahun dan cerpen itu gak tau nasibnya bakal gimana. Aku gak tau bisa nulis cerita kayak gitu. Aku biasanya nulis berdasarkan pengalaman dan gampang kalo diteruskan kemudian waktu. Tapi yang ini bener-bener asing. Aku lupa akhirnya gimana. Gak ada catatan kecil sedikitpun.
No comments:
Post a Comment
Thanks for leave your comment :D