Udith baru turun dari motornya ketika aku masuk halaman rumah. Keliatannya dia baru pulang sekolah sama sepertiku. Mata kami bertatapan sebentar lalu diakhiri aksi buang muka Udith. Aku sedih melihat itu. Dith, apa kamu udah gak sayang lagi sama aku?
” Kebetulan ada kalian” seru Tama begitu aku dan Udith masuk ke rumah bersamaan ” Mumpung masih pake sepatu, kalian pergi lagi ya”
” Kemana, Kak?” tanya Udith dengan suara datar
” Beli makanan” jawab Tama ” Nih, uangnya. Cepetan”
” Beli apa?” aku memandang selembar uang merah ditanganku
” Apa aja!” Tama berpikir ” Jangan lupa cup noodle, green tea, keripik kentang sama snack yang lainnya”
” Nitip aja ke Kak Namira” kata Udith dan masuk kedalam rumah. Tapi, Tama menahannya
” Kasian Mira. Diakan sibuk banget di rumah sakit. Apalagi sekarang orang-orang banyak yang kena flu”
” Tapi . . .”
” Gak ada tapi-tapian. Pergi sekarang!” Tama mendorongku dan Udith keluar dan langsung menutup pintunya.
” Apa itu bisa berhasil?” tanya Namira yang tiba-tiba muncul
” Semoga aja” kata Tama puas
Diluar, aku dan Udith saling berpandangan
***
Motor Udith masuk ke halaman parkir sebuah supermarket.
” Nah, ini yang terakhir” kata Udith setelah membuka helm full-facenya ” Kalo gak ada juga, jangan harap aku mau muter-muter lagi” aku mengangguk
” Gak akan. Aku juga udah cape” kataku. Ketika mau masuk, aku terhenti melihat supermarket itu
” Kenapa?” tanya Udith
” Ng, nggak koq”
” Cepet masuk” kata Udith
Dia masuk tanpa menitipkan tasnya dulu. Aku mengambil nomor yang diberikan petugas disana. Dia pasti cape, pikirku. Iya jelas dong cape. Duh, kenapa sih aku pake ngotot segala? Tama juga pasti maklum kalo cup noodle yang dia pesan abis. Aku? Aku malah ngotot nyari cup noodle itu. Sampe kita muter-muter ke semua supermarket, minimarket, dan toserba juga. Tetep aja gak ada. Dan sekarang aku sama Udith udah nyampe di sebuah supermarket deket rumahku yang dulu yang sekarang jadi kantor kedua Ayah. Apa Udith nyadar?
” Kemana aja?” tanya Udith. Ditangannya ada sebuah keranjang yang penuh dengan snack
” Nitipin tas. Tas kamu gak dititipin?” tanyaku
” Buat apa? Bentar lagi koq” jawab Udith ” Kamu cari cup noodlenya. 5 aja”
” 5? Buat Tama semua?”
” Kamu banyak nanya! Udah cari aja”
” Sorry, deh” aku cemberut dan pergi dengan kesal.
Ok, aku emang banyak nanya. Tapi gak usah pake marah-marah dan ngebentak gitu dong. Melihat itu Udith jadi menyesal. Dia membanting snack kentang yang ada ditangannya ke keranjang belanja.
Duh, ternyata supermarket ini penuh banget. Biasa sih kalo awal bulan. Aku berusaha menyelinap di sela-sela para ibu yang juga sedang belanja dengan trolinya yang penuh banget.
Begitu berhasil, aku mematung melihat keadaan supermarket. Loh, koq sabun ada disini? Biasanyakan ini tempat mie instan. Itu jadi tempat kue kering bukannya bumbu dapur. Ih, ternyata supermarket ini udah direnovasi!
Aku berbalik dan menyelinap lagi diantara ibu-ibu tadi. sambil berjalan aku memperhatikan papan hijau yang ada diatas setiap bagian. Sabun, snack, bumbu dapur, kecantikan, bagian mie instan dimana sih?
Mie instan dan makanan cepat saji. Aku langsung berlari ketempat itu. Tapi cuma beberapa langkah karena tempat tak memungkinkan. Udah hampir jam 6. Gimana nih? Aku belok dan mengambil jalan memutar. Begitu melihat ke atas, aku kaget. Sabun? Koq balik lagi kesini?
Aku melihat sekeliling dan merasa sangat bahagia melihat bagian kecantikan yang sejalur dengan bagian mie instan tampak kosong. Itu dia! Aku gak berlari lagi tapi jalan cepat. Cepat, cepat pikirku. Sedikit lagi, bentar lagi. Tiba-tiba muncul seorang ibu dengan badan [maaf] overweight. Gimana nih? Aku menyelip di samping ibu-ibu langsing disebelahnya dan membuat beberapa botol lotion jatoh. Ups, gak sengaja!
Akhirnya aku sampai dibagian mie instan. Wah, tinggal dikit lagi. Aku langsung mengambil cup-cup itu. Karena panik, satu cup jatuh. Kenapa pake jatoh segala sih? Aku jongkok sebentar untuk mengambil cup itu. Ketika bangung, cup noodle itu tinggal satu. Jangan sampai kehabisan! Tanganku meraih cup itu dan . . . dapat! Eh, ada tangan lain yang menggengam cup noodle itu.
” Udith?”
Udith tidak menjawab atau bersuara. Dia mengambil alih semua cup-cup itu dan memasukannya ke keranjang belanja
” Ayo, ke kasir” ajak Udith. Masih dengan suara datar ” Ngambil 5 aja koq lama”
” Kamukan gak tau perjuangan aku tadi” protesku ” Nyelap-nyelip, kejepit . . .”
” Aku gak mau tau. Yang penting kita udah beli yang Tama pesen dan sekarang kita pulang”
” Udah pasti ada disini. Inikan supermarket tempat kita pertama kali ketemu. Kita juga rebutan cup noodle itu”
Langkah Udith terhenti. Aku buru-buru menutup mulutku. Ternyata dia gak inget.
” Ngapain mikirin itu. Sekarang ayo, kita bayar” Udith kembali melangkah dan bergabung diantrian denganku disisinya ” Seharusnya kita gak ketemu . . .”
” Apa?” tanyaku
” Ng, apa?” tanya Udith bingung
” Kamu tadi ngomong apa?” tanyaku lagi
” Gak ngomong apa-apa”
” Masa sih?” aku heran sendiri
” Iya. Mana uangnya?” sambil tetep heran aku merogoh sakuku
” Ups . . .”
” Ups, apa?” Udith curiga dengan kata itu. Jangan-jangan . . .
” Uangnya gak tau dimana” jawabku sambil nyengir ” Ilang kali”
” Friesca!”
***
” Seharusnya kira gak ketemu . . .”
Jangan pikir aku nanya karena gak tau. Aku tau!. Kalimat yang kamu ucap itu kedengeran sama aku. Kalo kita gak jadi saudara tiri kayak gini dan Tama itu bukan kakak kamu, apa kamu bakal bilang kalimat itu?
No comments:
Post a Comment
Thanks for leave your comment :D