Wednesday, May 1, 2013

My Life as Writer

Haqi Achmad & Ribka Anastasia Setiawan
200 Halaman
PlotPoint, Maret 2013
Rp. 49.000,-

Penulis mencatat apa yang dialaminya sebagai sejarah kehidupan. Dan dengan itu ia tidak hanya mengubah hidup sendiri, tapi juga hidup orang lain.

Dalam buku ini, lima penulis mumpuni akan membagi cerita mengenai perjalanan karier mereka. Lima latar belakang berbeda, lima energi kreatif berbeda. Haqi Achmad dan Ribka Anastasia Setiawan menyajikannya untuk kamu. Ya. Hanya untuk kamu.

Kamu butuh buku ini kalau:

- Mau jadi penulis tapi bingung cara mulainya
- Kamu punya banyak cerita menarik dan ingin dibaca banyak orang
- Suka baca buku dan mau akrab sama penulisnya
- Ragu untuk memulai passion
- Mau meyakinkan orang tua kamu tentang bakat menulismu
- Sudah sering nulis tapi belum pernah diterbitkan

My Life as Writer adalah buku yang sudah aku tunggu-tunggu dari tahun lalu. Aku tau tentang rencana penulisan buku ini karena suka mantengin blognya Haqi Achmad dan kebetulan juga sedang magang/volunteer di Reading Lights, saat Haqi melakukan wawancara dengan Farida Susanty! :D

Bulan April lalu, disaat aku ngerasa kesel (read about it here), aku pergi ke Rumah Buku. Toko buku diskon langganan aku itu sedang diskon 30% untuk hampir semua buku. Aku asalnya cuma mau beli Roma: Con Amore yang cukup tebal dan siap membayar. Tapi entah kenapa (mungkin karena diskonnya oke banget), aku ngerasa aku harus beli satu buku lagi. Setelah milih-milih dan terus-terusan ragu, buku dengan warna dominan merah ini muncul dan menyegarkan pikiranku. Harganya agak mahal sih untuk buku yang bisa dibilang ‘tipis’. Tapi setelah ngitung-ngitung harga setelah diskon dan melirik isi dompet, aku langsung mantap membawa dua buku itu ke kasir hehehehe

Seperti buku-buku seri ‘My Life as’ lainnya, Haqi yang kali ini menulis bersama Ribka membahas tentang sebuah profesi dan seluk beluknya ke sumbernya langsung, tiada lain selain orang-orang yang nampang di sampul buku ini. Ada lima penulis yang mendapat kehormatan dan bersedia membagi cerita tentang profesi tulis menulis mereka, yaitu Alanda Kariza, Clara Ng, Dewi ‘Dee’ Lestari, Farida Susanty dan Valiant Budi. Aku bisa saja belum pernah membaca karya mereka (kecuali Perahu Kertas - Dee) tapi mereka tetap menginspirasi dan menyemangati. Saking semangatnya aku ngeberesin buku ini hanya dalam 5 jam ;)



Leason Learned:

- Jika kita belum ngerasa siap untuk mengirim naskah ke penerbit karena kurang pede, cobalah membagikan tulisan kita kepada teman terdekat untuk dikomentari. Siapa tau kita cuma perlu dukungan dan pengingat bahwa kita sudah berkerja keras ;)

- Walaupun sudah menerbitkan buku dan sukses dalam kegiatan berorganisasi, Alanda masih belajar tentang menulis lewat obrolan dengan teman penulis seperti Raditya Dika, Sitta Karina dan Ollie. Jadi tetaplah belajar untuk menjadi lebih baik ;)

Fun Fact! Alanda terinspirasi novel Eiffel, I’m in Love. Novel itu menyadarkannya bahwa tidak semua novel yang diterbitkan harus sastra banget dan berbahasa penuh kiasan.


Leason Learned:

- Jangan pernah biarkan mood menganggu proses menulis kita. Terus lah menulis dengan berpegangan dan berkomitmen pada motif kita untuk menulis.

- Jangan khawatir jika kita butuh waktu lebih panjang untuk menjadi penulis. Biarkan diri kita dan ide itu sendiri mencapai tingkat ‘kematangan’nya ;)

Fun Fact! Clara Ng ternyata seorang pemalu dan menulis menjadi tempat berekspresinya. :D


Leason Learned:

- Tulislah apapun yang kita mau, suka dan tau. Jangan khawatir tulisan itu tidak memiliki ide yang wah. Karena suatu saat, kita bisa kembali membongkar tumpukan tulisan itu, memoles dan  menyuntingnya ;)

- Lawan Writer’s Block dengan mandi! Otak dan badan kita sepertinya butuh penyegaran, bukan segudang hal ‘menyilaukan’ diluar proses penulisan sana :p

Fun Facts! Dee ternyata tidak terlalu senang membaca saat masih kecil.



Leason Learned:

- Menulis bisa dimana saja, kapan saja dan di media apa saja. Jangan biarkan ide yang cemerlang atau sekedar random thought hilang begitu saja. Segera tangkap dan bekukan dalam sebuah catatan ;)

Fun Fact! Farida menulis karena terinspirasi novel Dealova karya Dyan Nuranindya. Tapi dia menulis dengan genre berbeda karena bosan dengan teenlit yang lebay pada saat itu.


Leason Learned:

- Harus tahan sama kritik, baik dari editor ataupun pembaca

- ’Jangan takut mendobrak. Siapa tahu dobrakan yang kita lakukan akan jadi tren berikutnya.’ – halaman 186

Fun Fact! Novel bestseller ‘Kedai 1001 Mimpi’ membuat Vabyo mendapat banyak teror dan ancaman!


 Setelah membaca cerita dan pengalaman dari kelima penulis ini, aku menemukan beberapa hal yang sama diantara mereka, yaitu:

- Mereka lebih memilih/seringkali/cenderung menulis di malam hari. Tapi kemudian mencoba menyesuaikan waktu dan menulis di pagi hari atau kapanpun setelah mengalami perubahan hidup yang tidak bisa dihindarkan (punya anak, sibuk, dll). So anytime is okay ;)

- Mereka butuh dan ngerasa bahwa membaca itu berjalan selaras dengan menulis. Walaupun dimasa kecilnya Dee mengungkapkan bahwa dia tidak bisa dibilang maniak membaca, di masa sekarang dia pernah membeli banyak buku karya teman sesama penulis untuk semacam studi banding. Baca, baca, baca!

- Mereka tidak menjadikan profesi ini sebagai ladang uang. Mungkin karya mereka sudah masuk daftar bestseller, dicetak berulang kali hingga diadaptasi ke layar lebar, tapi mereka tidak gila penghargaan berbentuk uang atau apapun. Mereka hanya ingin terus menulis dan berbagi dengan orang banyak. So, stay humble ya ;)


Pengalaman nyata dari kelima penulis ini mungkin sudah ditemui di beberapa majalah atau tanya jawab lewat Twitter yang bersangkutan. Tapi tidak pernah dirangkum selengkap dan seunik dalam My Life as Writer. Wawancana yang dilakukan Haqi dan Ribka membuat pembaca mungkin juga ngerasa mereka sedang mengobrol langsung dengan penulis tersebut. Semua itu tertuang dalam bahasa yang ringan, mudah dicerna tapi tetap memberikan semangat. Lalu dibalik harganya fantantis, ternyata di dalamnya full color dengan foto-foto para penulis, tata letak yang enak dan ada kutipan tentang proses menulis yang dicetak dengan huruf besar dan juga tebal sehalaman penuh!


Tapi sayangnya, banyak tanda baca yang hilang dan menjadikan beberapa kalimat terbaca membingungkan. Mungkin itu karena mereka menuliskan wawancara yang merupakan ‘bahasa lisan’ dalam ‘bahasa tulisan’ di buku ini. Inti pembicaraannya tidak berubah sama sekali, tapi cara penulis (yang diwawancari) berkata, tinggi rendah nada bicara mereka, penekanan kata tidak ‘terbaca’, menimbulkan kesalahan dalam saat pembacaan dan membingungkan.

Yang justru terbaca adalah kedekatan dan kekaguman pribadi penulis (yang mewawancarai) dan penulis (yang diwawancarai). Contohnya dalam bab yang membahas Alanda Kariza dan Dewi ‘Dee’ Lestari. Pembeli dan pembaca buku ini sudah bisa dikategorikan orang yang suka menulis atau suka penulis yang ada disini, tapi rasa kesukaannya terhadapnya mungkin berbeda dengan apa yang dirasakan penulis (yang mewawancarai). Dan buku ini dipercaya sebagai karya atas nama kedua penulis (yang mewawancarai), ketika yang muncul hanya salah satu nama, rasanya jadi aneh dan tidak seimbang.

Hasil wawancara yang disajikan juga kurang serasi satu sama lain. Contohnya biodata penulis (yang diwawancarai) seperti tanggal lahir dan latar belakang pendidikan. Walaupun hal tersebut disinggung sedikit atau malah ditonjolkan, alangkah baiknya jika biodata lengkap penulis (yang diwawancarai) tersaji. Itu akan membuat pembaca yang asalnya tidak tau atau lupa, menjadi tau (tentunya!) dan mengenal profilnya.

At last, dibalik semua kekurangan yang telah dibahas diatas, penantianku terhadap buku ini tidak sia-sia. My Life as Writer menampilkan profesi penulis dari penulisnya langsung dengan begitu menarik dan ada apanya. Keterbukaan dan kejujurannya itu membuat calon penulis bisa mempersiapkan diri untuk terus bekerja keras dalam bidang penulisan. Buku motivasi yang bagus ya, mungkin Haqi dan Ribka bisa mempertimbangkan untuk menulis My Life as Writer 2 dan aku ingin Sitta Karina, Luna Torashyngu, Primadonna Angela, Andrei Aksana dan Winna Effendi didalamnya hehehehehe. Recommended!

2 comments:

  1. Tau bukunya tapi belum pernah baca hehehe. Paling salut sama Dee. You should read Supernova (fyi, di antara Supernova saya paling suka Petir sama Partikel :D ).
    Oya, tere liye kayaknya jg bagus diangkat kiat-kiatnya. Dia produktif banget :D

    ReplyDelete
  2. Dear Hasnawati, aku nunggu dananya dulu buat baca seri Supernova. Oh iya, Tere Liye bagus juga tuh.

    ReplyDelete

Thanks for leave your comment :D