Wednesday, July 30, 2014

Mini Review: Edge of Tomorrow, The Fault in Our Stars and Step Up All In

Edge of Tomorrow


Genre:
Action/Sci-Fi
Director:
Doug Liman
Cast:
Tom Cruise, Emily Blunt, Bill Paxton, Brendan Gleeson, Kick Gurry, Dragomir Mrsic, Charlotte Riley, Jonas Armstrong, Franz Drameh, Masayoshi Haneda, Tony Way, and Noah Taylor


Major William Cage yang biasa bekerja di belakang meja tiba-tiba ditugaskan di garis paling depan dalam pertempuran melawan alien, yang disebut sebagai Mimics, yang tengah menghantui beberapa wilayah Eropa. Dia harus menyesuaikan diri sebagai prajurit, berlatih dalam sebuah tim dan menggunakan teknologi baju besi. Beberapa menit setelah mendarat di medan tempur, dia diserang mahkluk alien yang agak berbeda dan tersiram darahnya. Saat dia terbangun, penugasan dirinya ke perkemahan prajurit terjadi lagi seperti mimpi.  Hal itu terus terjadi jika dia mati terbunuh. Saat mati untuk kesekian kalinya, dia bertemu dan diberi sebuah pesan aneh oleh Sergeant Rita Vrataski.

Setelah bangun dan kembali ke waktu sebelum terjun ke medan perang, Cage langsung mencari Vrataski. Vrataski ternyata pernah mengalami hal yang sama dengan Cage. Lalu dia merancang sebuah rencana untuk menemukan titik pusat alien tersebut. Sedikit demi sedikit, Cage dan Vrataski mendekati tujuan mereka. Cage harus berlatih dan mati berkali-kali untuk mencapai kemajuan tersebut. Cage akhirnya berjuang sendiri setelah sadar, seberapapun dia berusaha, apapun yang dicoba, Vrataski tetap akan mati di tengah jalan.


Edge of Tomorrow ini adalah film action yang menegangkan, memacu adrenalin, memeras otak sekaligus bisa bikin ketawa ngakak. Kenapa bisa begitu? Film ini menegangkan dan memacu adrenalin karena ini bercerita tentang pertarungan manusia dan mahkluk alien. Tentunya banyak adegan pertempuran seperti saling menembak, membunuh, bertahan hidup dan korban berjatuhan. Ketika elemen memutar waktu ditambahkan, otak kita jadi otomatis berpikir. Bagian ini agak membingungkan, memang. Apalagi perputaran waktu berpengaruh besar pada kesimpulan akhir filmnya. Ah, sudahlah, itu bisa dipikirin nanti atau baca di Wikipedia. Aku lebih suka ngeliat dan ngetawain ekspresi Tom Cruise yang memerankan Cage. Di sini tokoh yang Cruise perankan berbeda dengan peran-peran jagoan yang hebat dan serba bisa. Jadi Cruise keliatan lucu banget hahahaha. Oh, jangan lupa sama Emily Blunt yang memerankan Vrataski. She’s looking good as always, tapi aksen British-nya masih terdengar jelas di telingaku.

My favorite scene: Wajah bengong nan polos Cage saat dia bangun dan mengulang hari untuk kesekian kalinya hahahaha


***

The Fault in Our Stars


Genre:
Drama/Comedy
Director:
Josh Boone
Cast:
Shailene Woodley, Ansel Elgort, Nat Wolff, Laura Dern, Sam Trammell, Willem Dafoe, Lotte Verbeek and Mike Birbiglia


Hazel Grace Lancaster, seorang remaja yang mengidap kanker paru-paru stadium 4, menghadiri sebuah grup penyemangat bagi penderita kanker. Di sana dia bertemu dengan Issac, remaja yang akan melakukan operasi mata dan temannya, Agustus ‘Gus’ Waters, remaja yang dinyatakan sembuh dari kanker tulang setelah kehilangan sebagian kakinya. Gus terang-terangan mengungkapkan bahwa dia tertarik dengan Hazel. Hazel tidak menanggapinya sungguh-sungguh karena dia merasa dirinya dan kanker seperti bom waktu yang akan meledak setiap saat. Tetapi Hazel dan Gus banyak menghabiskan waktu bersama dan menyukai sebuah novel berjudul An Imperial Affliction. Novel itu mempunyai akhir cerita yang ganjil. Hazel ingin sekali bertemu dengan penulisnya, Peter van Houten yang mengasingkan diri di Amsterdam. Dengan segala upaya, Hazel, ibu Hazel dan Gus berhasil pergi ke sana. Sayangnya, sikap sang penulis tidak seperti yang Hazel selama ini bayangkan.


The Fault in Our Stars is the best! Ceritanya manis, mengharukan dan terasa remajanya. Walaupun kanker hidup di badan masing-masing karakter, ini bukan film tentang kanker. Ini film tentang dua remaja yang saling jatuh cinta. Hanya saja waktu yang mereka punya sangat terbatas, dan mereka tahu itu. Oh, iya, jalan ceritanya setia loh sama novelnya. Sebenernya banyak sih yang detail nggak dibahas, seperti apa isi cerita buku atau minimnya cerita tentang keluarga Gus. But it was good, very good. Bagian-bagian penting dan memorable-nya ada koq. Hal lain yang menyenangkan dari film adaptasi ini adalah hebatnya Elgoft membawa Gus menjadi nyata. Ah, pokoknya pas banget. Eits, Woodley juga berhasil koq membawakan tokoh Hazel. Tapi tetep aku lebih suka Gus di sini. Senyumnya bikin aku tersipu-sipu sendiri.

Banyak pengalaman menarik saat akan, sedang dan selesai menonton film ini. Mengantri panjang dan bersaing dengan calon penonton yang sebagian memilih Transformers 4 (they didn’t know what they missed), lupa mempersiapkan tisu yang bikin aku menahan tangis sepanjang film, dan dikomentari pacar penonton sebelah karena mataku tidak basah. Uggh, dia nggak tau apa aku udah nangis-nangis saat baca bukunya. So, kalian harus nonton. Jangan lupa bawa tisu dan kalo bisa jangan ngajak pacar yang nggak sensitive hehehehe.

My favorite scene: saat Gus mengangkat kedua alisnya, bersamaan dan dua kali, kepada Hazel di acara makan malam di Amsterdam. Soo cute!


***

Step Up All In


Genre:
Drama
Director:
Trish Sie
Cast:
Ryan Guzman, Briana Evigan, Misha Gabriel, Adam Sevani, Alyson Stoner, Izabella Miko, Mari Koda, Martín Lombard, Christopher Scott, Stephen "tWitch" Boss, Luis Rosado, Chadd Smith, Parris Goebel, Stephen "Stevo" Jones, David "Kid David" Shreibman, Celestina Aladekoba and Freddy HS


Setelah membintangi sebuah iklan, Sean dan The Mob pergi ke LA dan mengikuti banyak audisi menari. Karena tidak kunjung mendapatkan pekerjaan, sisa anggota The Mob memilih untuk pulang ke Miami, sedangkan Sean tetap bertahan. Sean melihat info audisi The Vortex, sebuah kompetisi menari yang berhadiah kontrak pertunjukan sendiri selama tiga tahun di Las Vegas. Sean mengajak Moose untuk membentuk sebuah tim dan mendaftarkan diri. Moose setuju dan tak susah untuknya mengumpulkan teman-teman penarinya, termasuk Andie, yang sempat berhenti karena cedera. Masalah tidak hanya dari lawan terberat mereka, The Grim Knights, tapi juga dari dalam tim. Contohnya, Sean dan Andie seringkali mengalami ketidakcocokan saat berlatih dan bersikeras memimpin tim dengan caranya masing-masing. Tapi keduanya punya satu hal yang sama, mereka belum bisa melupakan mantan kekasih mereka yang sama-sama penari.

Step Up All In ini masih sama dengan tiga film Step Up sebelumnya. Ceritanya masih berputar pada sekelompok penari, entah dari jalanan atau sudah terkenal dan kompetisi atau sesuatu yang harus dicapai dengan tarian. Yang membedakannya adalah banyak wajah familiar yang kembali seperti Andie dari Step Up: The Street, Sean dari Step Up Revolution dan Moose yang seringkali muncul sebentar di banyak sekuel Step Up. Ini menarik! Apalagi mereka juga membahas sedikit tentang kisah cinta Andie dan Sean yang kandas karena hubungan jarak jauh. Dan sudah ditebak, Andie dan Sean jadi lebih dekat dengan nasib yang serupa itu.


Sayangnya, cerita cinta baru itu tidak begitu dieksplor. Mungkin karena ini film tentang tarian, ya tarian lah yang paling banyak mendominasi durasi. Cerita sih nggak begitu penting. Untuk segi tarian, seperti biasa keren dan bikin menganga. Banyak elemen baru yang menantang dan tak biasa hadir di sini, seperti api dan pasir. Tapi aku merasa musiknya tidak sesuai. Musiknya terlalu keras, beat-nya gak sesuai dengan gerakan, kurang enak aja liatnya.

You know what, aku nonton trailer-nya lagi setelah pulang dari bioskop. Ternyata adegan-adegan penting dan paling hebat itu udah ada di sana semua. Tapi aku beneran suka dengan kembalinya Andie dan pemain lain dari film Step Up sebelumnya. So, for Step Up’s produsers, kalo mau bikin film terusannya lagi (pasti kayaknya) coba ajak pemain lama, terutama Channing Tatum dan Jenna Dewan-Tatum yaaaa.

My favorite (dancing) scene: Sean dan Andie jalan-jalan berdua, menemukan taman bermain tak terpakai lalu menari bersama. Nah, di sini lagu dan gerakannya cocok.

No comments:

Post a Comment

Thanks for leave your comment :D