256 Halaman
GagasMedia, Juni 2014
Rp. 46.000,-
Agar matang sempurna, ada takaran waktu yang tepat untuk pasta.
Begitu pula cinta. Ada waktu yang tepat untuk cinta.
Namun, waktu malah mempertemukan kita dengan orang-orang dari masa lalu.
Aku yakin cintamu hanya untuk dia yang selalu kau cinta sejak lama; dan cintaku ini hanya untuknya—orang yang kutunggu sejak dahulu.
Maafkan aku, kau bukanlah orang yang kuinginkan. Kau bukanlah orang yang kuharapkan.
Kita tak pernah tahu pasti kapan cinta datang, bukan? Hanya ketika merasakannya, barulah kita tahu bahwa telah tiba waktunya untuk cinta. Dan, hatiku telah lama merasakan aku ditakdirkan untuk dia; dia yang masih saja membuatku penuh debar saat di dekatnya.
Usah lagi tinggalkan hangat bibirmu di bibirku. Usah sisipkan kata cinta di dalamnya. Lepaskan pelukmu dan kumohon jawab tanyaku; bolehkah aku meninggalkanmu?
Begitu pula cinta. Ada waktu yang tepat untuk cinta.
Namun, waktu malah mempertemukan kita dengan orang-orang dari masa lalu.
Aku yakin cintamu hanya untuk dia yang selalu kau cinta sejak lama; dan cintaku ini hanya untuknya—orang yang kutunggu sejak dahulu.
Maafkan aku, kau bukanlah orang yang kuinginkan. Kau bukanlah orang yang kuharapkan.
Kita tak pernah tahu pasti kapan cinta datang, bukan? Hanya ketika merasakannya, barulah kita tahu bahwa telah tiba waktunya untuk cinta. Dan, hatiku telah lama merasakan aku ditakdirkan untuk dia; dia yang masih saja membuatku penuh debar saat di dekatnya.
Usah lagi tinggalkan hangat bibirmu di bibirku. Usah sisipkan kata cinta di dalamnya. Lepaskan pelukmu dan kumohon jawab tanyaku; bolehkah aku meninggalkanmu?
Novel Al Dente: Waktu yang Tepat untuk Cinta ini aku dapatkan dari giveaway di Goodreads. Menang giveaway di situs paling kusuka. Unbelievable, ya? Karena begitu excited, aku memajukan jadwal baca novel
ini, melewati novel-novel lain yang sudah lama menimbun di kamar hehehe. Let’s review it now :D
Cynara ‘Nara’ Pratita dan Benjamin ‘Ben’ Farid
sudah saling kenal dari kecil. Nara bersahabat dengan adik Ben, Anindita (Dita), begitu
pula dengan kedua keluarga mereka. Perjodohan dirancang saat mereka dewasa dan mereka
pun menikah. Nara menerima perjodohan karena dia yakin Ben memang ditakdirkan
untuknya. Sedangkan Ben baru menyadari semenjak dulu dia sudah menyukai
Nara. Dia menunjukannya dengan sebuah janji, di setiap tanggal pernikahan
mereka, dia akan memasak makanan kesukaan Nara, pasta.
Di bulan pertama pernikahan
mereka, Nara menemukan album lama milik Ben yang memuat foto yang cukup akrab
antara Ben dan seorang perempuan bernama Milly. Nara menuduh Ben masih punya
perasaan untuk Milly. Saat itu pula, laki-laki impian Nara muncul lagi. Dia
adalah Elbert ‘El’ Octavio, kakak tingkatnya semasa kuliah.
"Sejak kecil, aku selalu mendapatkan apa yang kuinginkan, Ben. Dan, aku nggak pernah menginginkan seseorang yang telah kuanggap sebagai kakak malah menjadi suamiku. Tapi, akhirnya, aku mengerti ada keinginan yang nggak bisa kucapai." – halaman 41
Al Dente: Waktu yang Tepat untuk Cinta ini sepertinya tidak ‘dimasak’
secara sempurna. Banyak bagian yang membuatku bosan, bingung, bahkan kesal
sendiri. Padahal aku suka sekali dengan premis perjodohannya. By the way, aku selalu suka dengan
cerita perjodohan. Jadi begitu makna perjodohan tersirat di bab pertama, aku
langsung tenggelam ke dalam ceritanya, apalagi gaya bahasanya lumayan enak
dibaca. Tapi makin dalam, aku tidak tertarik lagi. Karakter Nara ini menyebalkan. Dia tidak
begitu antusias menerima Ben sebagai suaminya, lalu marah-marah karena Ben
punya keakraban dengan perempuan lain, tapi dengan datarnya pergi ‘berkencan’
dengan laki-laki lain. Karakter Ben sih agak mending. Dia masih mau memikirkan
masalah dan mencari solusinya. Namun pelaksanaanya tidak selalu berhasil.
Mereka berdua sepertinya punya
masalah dengan cara berkomunikasi. Mereka sama-sama mengharapkan pasangannya
bisa membaca pikiran atau tingkah laku masing-masing. Padahal, kan, kalo mereka
mau duduk selama lebih dari lima menit dan mengobrol, masalahnya nggak bakal berputar-putar.
Chemistry antara Nara dan Ben juga
tidak terasa. Aku juga tidak mengerti bagaimana kontak fisik di antara mereka,
seperti berciuman dan bercinta, nggak berdampak sama sekali ke hubungan mereka.
Apa harus muncul cinta dulu atau sebegitu ogahnya Nara sama Ben? Dan
bagian ending-nya itu terlalu cepat
dan nggak mengharukan sama sekali, tidak seperti review ditulis penghuni Goodreads lain.
"Kalian kan saling mencintai, semestinya mudah untuk saling memperbaiki. Kecuali, ya, itu … selingkuh. Ketika seseorang berani mencintai orang kedua, berarti ia tidak cukup atau bahkan sama sekali nggak pernah mencintai orang pertama." – halaman 177
Ada satu bagian, bukan cerita, yang
pengen aku komentari, yaitu penulisan nama para karakter yang tidak konsisten.
Masing-masing punya nama lengkap dan nama panggilan. Setauku umumnya, nama
lengkap mereka diperkenalkan di bagian awal cerita, sedangkan nama panggilan
digunakan dari sana sampai akhir cerita. Tapi di sini, nama lengkap dan nama
panggilan muncul secara bergantian. Kesannya nggak konsisten. Terlebih lagi
melihat penggunaan point of view
orang pertama atau ‘aku’. Contoh, dalam POV milik Ben, di bagian dialog dia
memanggil istrinya dengan ‘Nara’. Di dialog berikutnya malah berganti menjadi ‘Cynara’.
Di bagian narasi juga begitu. Ini juga terjadi kepada nama karakter lain,
seperti Dita dan El. Aku nggak ngerti kenapa penulisannya seperti ini. Tapi rasanya
itu seperti terus diingatkan, ‘nama lengkap Nara itu Cynara, loh’.
Walaupun sebagian besar isi novel
ini membuatku mengerut kening, ada beberapa bagian yang membuatku jadi agak
melankolis. Aku lupa ceritanya tentang apa, yang jelas aku jadi teringat
pengalaman pribadi. Aku serius. Aku sempat berhenti beberapa kali untuk
mengingat-ngingat, sekedar menarik nafas bahkan memilih untuk tidur saja. Seperti
yang aku sebutkan sebelumnya, cerita perjodohan selalu menarik buatku. Oh, iya,
ada satu bab di mana Nara menjelaskan bagaimana pasta bisa disebut al dente. Penjelasannya itu sangat
panjang, begitu rinci dan agak melenceng dari cerita. Tapi lumayan, lah buat
pengetahuan soal masak memasak.
At last, Al Dente: Waktu yang
Tepat untuk Cinta memang tidak memberikan yang aku mau, tapi bisa
memberikan momen melankolis yang mengejutkan. Ini pasti karena ‘perjodohan’-nya
itu. Semoga novel selanjutnya punya kematangan yang lebih pas sehingga bisa
kunikmati :)
waaa diniii, baru aja minggu kemaren aku beli novel ini :) kurang greget sih, aku malah jadi anti-Nara gegara sikapnya yang seolah-olah nyalahin perjodohan itu. Thanks anyway reviewnya, tar aku link ke blogku boleh?
ReplyDelete@Eka: Kita Team Ben ya hahaha. Boleh koq, asal ngelink balik ke blog ini :)
ReplyDeletemakasih cuyuuuuungg :*
ReplyDelete