Genre:
Drama
Director:
Rizal Mantovani
Cast:
Herjunot Ali, Raline Shah, Fedi Nuril, Paula Verhoeven, Arifin Putra, dan Hamish Daud
Sepuluh tahun setelah pertemuan
mereka di Washington D.C., Ruben dan Dimas memulai proyek ambisius mereka,
menulis sebuah fiksi yang dibumbui sains. Tulisan tersebut menceritakan seorang
pria sukses yang terpikat dengan wanita yang sudah menikah dan disesuaikan
dengan dongeng tentang ksatria, putri dan bintang jatuh. Di saat yang sama,
Ferre bertemu dengan Rana dalam sebuah acara wawancara untuk majalah. Ciri dan
karateristik mereka sesuai dengan yang ditulis Reuben dan Dimas. Hubungan
rahasia dan terlarang Ferre dan Rana berlangsung cukup lama dan serius. Rana
mulai berpikir untuk bercerai dari suaminya, Arwin. Sedangkan Ferre mendapatkan
tetangga baru yang bernama Diva. Di lain sisi, muncul sebuah website misterius
bernama Supernova, yang menjadi wadah keluh-kesah pengunjungnya.
Supernova: Ksatria,
Putri dan Bintang Jatuh ini punya visual yang menakjubkan, twist yang oke banget, pemain yang enak
dilihat dan soundtrack yang pas. Sekali
melihat aku yakin biaya yang dikeluarkan untuk membuat film ini sangat besar
dan butuh waktu yang lama. Tak lupa animasi dan visual effect-nya yang rapi dan mulus. Animasi dongeng ksatria,
putri dan bintang jatuh yang dinarasikan oleh Ferre jadi bagian favoritku.
Adegan itu mengingatkanku sama film Harry Potter ke 7 part I, di mana Hermione
menceritakan dongeng tentang tiga bersaudara yang berhadapan dengan kematian.
Selain itu aku optimis Indonesia bisa bikin film lebih keren lagi, kalau mereka
berani berinvestasi seperti ini. Kemudian, ada twist after twist. Aku sempet mengira kisah Ferre dan Rana adalah
visualisasi dari tulisan Reuben dan Dimas itu. Twist selanjutnya makin bikin kaget sekaligus kagum. Untuk soundtrack,
aku tidak terlalu tau judul dan lirik lagunya. Tapi suara Giring Nidji sudah
jadi jaminan, cocok dengan kemewahan filmnya dan membuat wajah-wajah familiar
itu lebih enak ditonton.
Sayangnya ceritanya sendiri sulit
dicerna, dialognya tidak natural dan angle-nya
tidak variatif. Wah, para pembaca setia Supernova pasti sangat marah dan tidak
setuju. Tapi itu yang aku rasakan. Sampai bagian pertengahan, aku masih bisa
menikmati ceritanya. Setelah bagian pertengahan, aku mulai bingung dengan alur
ceritanya. Apalagi aku terganggu dengan cara para pemainnya mengucapkan dialog
yang sangat panjang, penuh istilah tingkat tinggi dalam satu tarikan nafas dan
tetap menjaga wajah mereka tetap menawan. Asli, mereka keliatan aneh banget.
Dialognya juga terasa kosong dan tidak nyangkut sama sekali di kepalaku. Lalu
pilihan angle-nya aneh dan kurang
beragam. Ada satu di mana Rana sedang makan bersama Arwin. Yang diperlihatkan adalah
shot jauh, yang membingkai mereka
berdua, lalu zoom ke wajah
masing-masing. Tidak ada shot yang
memperlihatkan hal-hal kecil yang bisa bercerita banyak seperti cara mereka
menyuap atau memegang alat makan. Mungkin ada satu di bagian awal, zoom ke cincin pernikahannya Rana.
Setelah itu tidak ada yang spesial atau berbeda. Terus, ada saat wajah Arwin terus
diperlihatkan sampai akhirnya dia ‘curhat’ tentang Rana. Aku, kan bingung dia
ngomong sama siapa. Eh, ternyata ada temen-temennya di belakang.
Ada beberapa hal yang random banget, tapi sayang kalau tidak
aku tulis di sini. Satu, wawancara Ferre dan Rana mengingatkan aku dengan
wawancara Anastasia Steele dan Christian Grey di Fifty Shades of Grey. Dua,
para pemain jarang sekali memakai pakaian yang bukan warna hitam dan putih.
Apakah itu disengaja untuk membuat sebuah statement?
Tiga, aku lebih nyaman membaca subtitle
berbahasa Inggrisnya, daripada mendengarkan para pemain mengucapkannya.
At
last, Supernova: Ksatria, Putri dan Bintang Jatuh sukses
dalam bagian produksi dan menampilkan masa depan perfilman Indonesia yang
sangat cerah. Untuk bagian ceritanya sendiri, aku suka dan kagum dengan otak
dan imajinasi Dee, sang penulis. Hanya saja banyak bagian yang sulit untuk
memahaminya. Harus baca bukunya segera :D
No comments:
Post a Comment
Thanks for leave your comment :D