Thursday, October 8, 2015

Anna and the French Kiss

Stephanie Perkins
268 Halaman
Dutton Juvenile, 2010

Anna is looking forward to her senior year in Atlanta, where she has a great job, a loyal best friend, and a crush on the verge of becoming more. Which is why she is less than thrilled about being shipped off to boarding school in Paris--until she meets Étienne St. Clair: perfect, Parisian (and English and American, which makes for a swoon-woorthy accent), and utterly irresistible. The only problem is he’s taken, and Anna might be, too, if anything comes of her almost-relationship back home.

As winter melts into spring, will a year of romantic near-misses end with French kiss Anna-and the readers-have long awaited?

Anna and the French Kiss terpilih menjadi buku bacaan Quirky Reads di bulan September. Buku ini sebenarnya kurencanakan untuk dibaca pada pertengahan bulan lalu. Tapi begitu baca satu bab, langsung kubatalkan. ‘French Kiss’ di judulnya itu aku kira kiasaan saja, tapi ternyata tokohnya beneran pindah ke Paris. Saat itu aku sedang membaca buku lain yang kental dengan Paris. Agak overwhelmed deh. Setelah dianggurin, novel ini aku selesaikan tepat di hari terakhir September. Now, let’s review it! :D

"I feel it coming, but I can’t stop it.
PANIC.
They left me. My parents actually left me! IN FRANCE!"
           
Anna Oliphant kesal ayahnya memasukannya ke sekolah asrama di Paris. Dia harus meninggalkan kehidupannya di Atlanta, tempat Sean, adiknya yang masih kecil, Bridgette sahabatnya, Toph, gebetannya tinggal, dan memulai segalanya dari nol. Ketika homesick mulai menyerang Anna, penghuni kamar sebelah, Meredith ‘Mer’ Chevalier, menenangkannya. Mer menyakinkan dirinya dan teman-teman yang lain akan membantunya. Ada Rashmi dan Josh yang merupakan sepasang kekasih. Lalu ada Étienne St. Clair, yang berpacaran dengan Ellie, teman mereka yang sudah lulus.

Di antara teman-teman barunya, St. Clair dengan sabar mengajari Anna beradaptasi mulai dari memesan makanan kantin yang kebanyakan menggunakan bahasa Perancis sampai menemaninya berwisata keliling Paris. Mereka juga punya banyak persamaan, salah satunya ayah yang menyebalkan. Anna bisa mengerti kenapa semua orang suka pada St. Clair. Tetapi Anna tidak mau melihat St. Clair lebih dari teman. Mereka masing-masing sudah punya pasangan, lalu rahasia umum kalau Mer memendam perasaan kepada St. Clair, dan keadaan keluarga St. Clair yang rumit. Yang dibutuhkan St. Clair saat ini adalah dukungan penuh dari teman-temannya, bukan masalah baru.

"And if he doesn’t like me, then I’d probably lose his friendship. Things would be too weird.
And right now St. Clair needs friendship."

Anna and the French Kiss menghadirkan kisah cinta remaja yang tak kukira bakal begitu menguras emosi. Menggambil setting di kota yang didapuk sebagai kota paling romantis di dunia, cerita Anna, St. Clair, teman-temannya, dan segala permasalahan mereka membuatku sedikit book hangover. Tak hanya sedih karena cerita menyenangkan ini akhirnya berakhir, tapi juga karena .. um, ada beberapa yang sedikit baper. Jadi aku butuh waktu untuk menenangkan diri, memikirkan faktor apa yang memicunya, sebelum siap mencurahkan semuanya di sini.

Jawabannya tentu hubungan Anna dan St. Clair yang terhalangi status masing-masing.

Chemistry di antara mereka begitu kuat. Setiap kegiatan yang mereka lakukan bersama atau setiap topik obrolan, yang sensitif sekalipun, terasa bermakna. Aku juga suka sekali dengan candaan mereka yang begitu lepas, biasanya menyangkut aksen dan ke-british-an St. Clair.  Tak hanya itu, saat-saat yang canggung sekali pun membuat hubungan mereka lebih seru untuk diikuti. Bagi yang tidak bisa merasakannya sepertiku, mungkin akan cepat bosan. Apalagi kisah mereka mengambil waktu satu tahun ajaran dan melewati hari-hari libur khas Amerika Serikat. Semuanya terasa diulur-ulur. Aku juga sempat tidak mengerti kenapa salah satu dari mereka mengalami ketakutan yang tidak beralasan. Namun, di akhir semuanya terasa memuaskan. Saat hubungan mereka ditelaah lagi dari awal sampai akhir, aku akhirnya paham akar masalahnya adalah salah pengertian, sesuatu yang sering terjadi pada komunikasi dua orang atau lebih. Tidak melihat apakah mereka pasangan tua atau muda, keluarga atau pacar. Kesimpulan yang di dapat dari Anna dan St. Clair itu memberikan contoh penting, tentang bagaimana kita menyikapi persoalan cinta yang sebenarnya sederhana tapi sering kali terlihat sangat rumit karena bercampur dengan berbagai emosi.

Aku juga mengalami sedikit salah pengertian saat baru mengenal karakter Anna. Di minggu-minggu pertamanya sekolah di Paris, Anna tidak excited untuk keliling Paris, mempelajari bahasa Perancis, atau paling tidak keluar dari kamar asramanya. Kalau pun akhirnya keluar, dia tidak jarang membandingkan hal-hal baru dengan kehidupan yang dia tinggalkan di Atlanta. Uggh, aku kesal dia tidak memanfaatkan semua keberuntungan yang dia dapat dengan gampang. Aku tahu dia homesick, tapi siapa sih yang bakal begitu menderita dikirim ke kota cahaya itu? Saat culture shock yang dirasakan Anna sudah berkurang, aku mulai menyukainya. Pertama, dia ternyata punya hobi menonton dan menulis review film-film yang kebanyakan tidak mainstream. Prinsipnya pergi nonton sendirian itu sangat aku kagumi karena aku sendiri kayak gitu hahaha. Aku mengerti perasaan Anna saat dia mendapatkan pertanyaan atau tatapan heran dari orang-orang tentang kebiasaan itu. Apa salahnya nonton sendiri? Toh, bioskopnya kemungkinan penuh, jadi kita tidak benar-benar sendirian. Di dalam juga gelap dan diperuntukan untuk nonton film dengan nyaman. Ngobrol atau cek ponsel sebentar bisa membuyarkan konsentrasi. Lalu tidak enak untuk memaksa orang lain menonton film yang bukan selera mereka, seperti yang malas nonton film Indonesia. Jadi nonton sendiri adalah pilihan terakhir :p Alasan kedua, cara Anna menghadapi masalah cintanya cukup dewasa. Pilihannya untuk mengutamakan persahabatan adalah langkah yang berani. Dia begitu mengerti permasalahan yang menderap teman-temannya, sehingga rela berkorban untuk kebaikan semua. Memang sih pengorbanan itu sedikit penyiksa. Tapi menunjukkan bahwa Anna punya kepribadian yang baik dan seseorang yang terlalu berharga untuk ditinggalkan.

Kalau untuk St. Clair, hmmm . . dia dan segala pesonanya sangat memikat. Walaupun punya tinggi badan yang cukup pendek untuk kalangan laki-laki dan takut ketinggian, kekurangannya itu tertutupi oleh sifatnya yang baik, ramah, dan menyenangkan. Latar belakang campurannya, ayah dari Paris, lahir di Amerika, besar di Inggris, membuatnya sangat unik. Sayangnya, aku kurang sreg dengan posisi dan cara dia menghadapi masalah cintanya. Sebelum akhir cerita yang penuh penjelasan itu, aku tidak benar-benar mengerti apa yang St. Clair inginkan. Sikapnya itu yang membuat drama datang tak henti. Aku nggak tega memikirkan semua ini terjadi di kehidupan nyata dan aku menjadi pihak yang kurang beruntung. Baper deh jadinya. Dan walaupun tidak sepenuhnya, aku menemukan sifat orangtuanya dalam St.Clair. Hanya saja jalan hidup St. Clair masih panjang dan dia masih bisa berusaha untuk menjadi lebih baik.

Stop baper soal cinta, mari pindah ke baper soal kota impianku! Aku senang sekali dengan sisi Paris yang ditampilkan di sini. Banyak tempat yang tak asing disebutkan, tapi banyak juga tempat-tempat baru yang membuatku bersemangat. Ada Point Zéro Des Routes De France – Titik Nol Perancis yang berada dekat Notre-Dame. Selama ini aku kita titik tersebut ada di Menara Eiffel, karena di sana terdapat data jumlah jarak Paris dengan beberapa ibu kota dunia. Lalu tentunya bioskop yang tersebar di mana-mana. Dari sekian banyak buku tentang Paris yang kubaca, belum ada yang menyinggung keberadaan tempat hiburan favoritku ini. Kalau pun ada, pasti yang dibahas adalah festival film Cannes. Tambah satu lagi tujuan wisataku ke Paris (ammiiiinnnn) ;)

At last, Anna and the French Kiss melewati ekspetasiku dengan kisah romantis di kota romantis yang sukses membuatku baper, lagi. Anna, St. Clair, dan teman-temannya memang masih remaja. Tapi mereka memberiku hal-hal baru yang sangat berguna, untuk masalah hati dan Paris. Rasa puas ini membuatku ingin meneruskan ke buku selanjutnya, Lola and the Boy Next Door. Belum tahu apa benang merahnya, tapi aku excited untuk mencari tahu. Recommended! :D

No comments:

Post a Comment

Thanks for leave your comment :D