Saturday, October 24, 2015

Seruak

Vinca Callista
434 halaman
Grasindo, 2014
Rp. 65.000,-

Mau tak mau, Bonie harus berurusan dengan teman-teman barunya di Desa Angsawengi. Macam-macam pribadi, dari anak yang sangat menyenangkan sampai yang selalu menyebalkan, berinteraksi di rumah yang sama, karena kelompok mahasiswa ini sedang menjalani program Kuliah Kerja Nyata. Di kelompok anak muda ini hadir Arbil Radeagati – seorang aktor muda yang bermaksud melarikan diri dari tekanan keluarganya, penyakit yang menggerogoti jiwanya. Dan ada pula Mada Giorafsan, sahabat masa kecilnya yang mengetahui betapa Bonie tumbuh dari masa lalu yang gelap dan menjijikan.

Pada awalnya, hubungan di antara kesebelas pribadi ini hanya seputar program kerja di desa serta perkembangan chemistry yang bercabang jadi persahabatan dan permusuhan. Namun, nyatanya Desa Angsawengi terlalu terkonsep. Ada orang-orang yang sengaja menakut-nakuti mereka, sistem kehidupan di sana lama-lama jadi mencekam jiwa Bonie dan kawan-kawan. Tidak ada remaja yang tinggal di sana, malah ada kawanan anjing besar yang sering kali muncul bersama anak kecil berkepala botak, ada pula pria misterius yang selalu mengganggu dengan mesin pemotong rumputnya. Anak-anak ini terus diteror oleh penguakan rahasia yang menggiring mereka ke misteri yang nyatanya melibatkan pribadi Bonie.

Membeli Seruak adalah keputusan yang cukup berani. Jumlah halaman yang lumayan dan genre-nya belum terlalu populer. Namun, gelar Publisher Searching for Author (PSA) dan nama penulisnya membuatku optimis dengan ceritanya. Now, let’s review it :D

"Baru identik dengan kesan menarik. Tempat baru. Teman baru. Tebakan baru. Menarik untuk dicari tahu, atau menarik untuk dibiarkan begitu saja karena cukup tahu." – halaman 22

Bonie pergi melakukan Kuliah Kerja Nyata ke Desa Angsawengi bersama sepuluh mahasiswa dari berbagai jurusan dan mempunyai macam-macam kepribadian. Ada Jiana Aryon yang juga presenter acara musik dan tak segan mengeluarkan pendapat, Natanina dengan ciri khas bibir merah dan setipe dengan Jiana, Fabryan Sadamelik yang kocak dan menyenangkan, India Catur yang disebut-sebut mempunyai indera keenam, Arbil Radeagati yang muak dengan efek kepopulerannya sebagai aktor, Chamae Trileon yang jago memasak, Dwi Dwayanto si ketua koordinator yang suka seenaknya, Firsta Lula yang manja dan tak henti menyombongkan kekayaan keluarga, Mada Giorafsan yang lekat dengan kamera, dan pacar Mada, Kalima Faye, yang cermat mengamati kegiatan dan teman-teman barunya dengan ilmu Psilokog.

Hari-hari awal mereka di Desa Angsawengi menjadi ajang saling beradaptasi dengan orang-orang baru yang ternyata punya sejarah panjang. Pertemanan lama Bonie dan Mada membuat Faye cemburu. Apalagi saat Nina menanyakan kesetiaan Mada padanya. Lalu ada Fabryan yang sudah punya pacar tapi sangat tertarik dengan Nina. Sedangkan India dan Lula yang diam-diam menyukai Fabryan dan membenci keakraban cowok itu dengan Jiana. Arbi lebih sering menyendiri tapi tak luput dari perhatian Chamea dan Bonie. Banyak masalah lain yang menghambat perumusan program kerja mereka dan membuat suasana mencekam. Kunjungan mendadak ke acara Kenduri Sang Kepala Desa, bertemu nenek bergolok yang tinggal di pinggir hutan, diserang kawanan anjing ganas yang dipimpin seorang bocah, dan muncul informasi-informasi membingungkan yang berpotensi mengancam mereka sendiri.


"Jangan takut sama Ludus – cinta yang muncul akibat ketertarikan, kedekatan, keterhubungan, atau jadi permainan. ‘Eros’ plus ‘Ludus’, equals  ‘Mania’, it’s obsessive love. It’s you to Nina, isn’t it?" – halaman 188

Aku mempunyai hubungan benci tapi cinta dengan Seruak ini. Banyak banget hal yang menurutku menyebalkan, baik gaya bahasanya maupun alur ceritanya sendiri. Asalnya sih asyik mengikuti kegiatan KKM ini. Aku kurang lebih punya pengalaman yang sama, jadi gampang masuk ke drama yang terjadi dalam kelompok Bonie. Dari beradaptasi dengan lingkungan yang lebih sederhana, adu pendapat soal program kerja sampai diam-diam naksir teman kelompok. Namun, cerita jadi melebar ke masa lalu beberapa tokoh. Tak jarang isinya kelam dan menyedihkan. Setiap salah satu tokoh selesai dikupas, ada semacam kesimpulan dan pemahaman dari sisi psikologi. Itu tidak hanya berlaku pada pembahasan lengkap kehidupan sang tokoh, tapi juga pada reaksi yang dia berikan pada beberapa situasi. Beberapa malah menyangkut masalah sosial yang kecil tapi berefek besar, seperti pertanyaan ‘kapan nikah?’, cara berpakaian, dan lainnya. Semuanya pemikiran itu ada benarnya juga. Tapi entah aku bacanya terlalu berapi-api, beberapa terasa terlalu menggurui dan mengabaikan budaya. Capek dan kesal sendiri bacanya.

Penjelasan panjang lebar tentang keluarga, kehidupan mereka sebelum KKNM, dan akhirnya masuk ke Desa Angsawengi mengambil menguasai awal cerita. Belum cukup panjang? Ada banyak pengulangan kalimat-kalimat. Contoh diceritakan mereka makan lalu istirahat. Kemudian sesuatu terjadi dan semua panik. Satu tokoh yang ketinggalan mencoba mengerti keadaan tersebut. By the way, kenapa dia terlambat, ya? Jawabannya dijabarkan dalam kalimat yang panjang bagaimana mereka semua menyantap makan malam, memutuskan istirahat, sang tokoh itu sibuk dengan hal pribadinya, kejadian ganjil terjadi, mereka bereaksi, lalu kembali ke satu orang yang terlambat sadar itu. Nama lengkap para tokoh juga sering dicantumkan berulang kali. Bingung deh kenapa harus diceritakan ulang dengan kalimat lengkap yang sangat kompleks. Padahal kan kejadiannya cuma beda beberapa paragraf. Sebagian pembaca sepertinya kemungkinan tidak menderita amnesia mendadak. Pengulangan tersebut menganggu sekali. Kalau disunting ulang, mungkin jumlah halaman novel ini akan berkurang drastis.

Pertanyaan besar lain yang sangat menganggu adalah siapa ‘Saya’ yang bertugas menjadi narator. Aku mengira itu Bonie karena dia tokoh utamanya. Iya, kan? Tetapi dari mana dia tahu semua tetek bengek keluarga dan masa lalu teman-temannya, yang katanya baru bertemu karena kegiatan mahasiswa tersebut? Lalu suara ‘Saya’ terasa berbeda di beberapa bagian. Bukan Bonie, tapi kadang memang Bonie. Pusing deh! Sempat ingin menyerah rasanya. Peduli amat aku sudah sampai halaman sekian. Aku hanya ingin semua kekesalan dan rasa sakit di kepalaku berakhir. Tapi aku juga sadar berhenti bukan solusinya. Aku terus maju, maju, mengeleng-geleng untuk setiap pengulangan, maju terus sampai menemukan kata ‘eksekusi’ dan mataku pun tak terasa berat lagi.

Satu kata itu membuatku merinding sekaligus memberikan semangat untuk terus mengikuti ceritanya. Dari sana aku sadar banyak hal yang menarik dan menghibur. Para tokoh punya suara yang kuat. Karakter mereka sudah tergambar jelas di pikiranku – thanks to pengulangan yang tak berujung itu – sehingga tidak sulit menebak siapa yang berbicara apa. Lalu panggilan ‘boy’ sebagai pengganti ‘bro’ itu unik banget. Aku menikmati setiap percakapan mereka, bahkan untuk bagian yang tidak pentingnya atau berasal dari tokoh menyebalkan seperti Lula. Kemudian selipan teori yang memusingkan itu mulai berguna di pertengahan cerita. Setelah dipikirkan cukup lama, tidak semuanya melenceng dari cerita. Ada beberapa yang menarik, seperti The Butterfly Effect dan soal Id, Ego, dan Super Ego. Khusus yang terakhir, penjelasan panjangnya soal yang melibatkan pengalaman salah satu tokoh malah membuatku sadar dengan reaksi emosiku sendiri. Tak hanya itu, efek psikologis itu mengantar para tokoh ke bagian penuh darah hahahaha.

Aku merasa tidak pantas karena kegirangan saat menemukan ada bagian mengerikan tersebut. Tapi itu yang aku tunggu-tunggu! Akhirnya aku disuguhi jawaban-jawaban misteri dengan bumbu thriller yang cepat dan penuh twist. Kematian yang erat dengan konsep alam membuat penggunaan Desa Angsawengi sebagai setting terasa tidak ganjil lagi. Malah jadi terlihat cerdas dan gilaaaa, dalam artian bagus tentunya. Kejutan juga datang dari hal-hal yang semula membuat kepalaku beneran sakit. Seperti pengulangan nama lengkap para tokohnya. Ternyata maksudnya adalah . . . nggak bakal spoiler ah.

Ooooh, jadi ini yang namanya cerita psychothriller, teori psikolog dipaparkan panjang lebar untuk bisa nyambung dengan thriller-nya nanti. Tapi menurutku keduanya tidak bersatu dengan baik dan seimbang. Bagian awal lebih condong ke psikolog dan sisanya ke thriller. Kenapa tidak mempertemukan mereka sejak awal sehingga ketegangan cerita bisa langsung terasa di halaman pertama? Kemudian konsep Desa Angsawengi itu sangat di luar dugaan, begitu pula masalah yang dihadapi Bonie tak tertebak. Sayangnya cara kedua hal itu terungkap terasa terlalu mudah, diceritakan langsung oleh orang yang terlibat dari awal. Sebelumnya aku berharap jawaban-jawabannya datang karena ada tokoh yang berhasil menghubungkan setiap kejadian aneh yang terus terjadi pada kelompoknya. Untuk paparan teorinya yang melimpah di tiap halaman, aku merasakan manfaatnya sekaligus merasa sedikit geli. Para tokoh dalam cerita ini tidak cocok untuk menjadi subjek penelitian karena semua aksi dan akibatnya sudah dijelaskan dengan panjang lebar, lengkap dengan teorinya ;p

At last, Seruak yang semula mengesalkan karena pengulangan kalimat-kalimat tidak penting dan teori yang memusingkan, berakhir jadi sangat mengesankan dengan karakter yang kuat dan rentetan twist di akhir cerita. Bagi yang tertarik, bacalah yang sabar. Perjuangan kalian akan berakhir manis (dan penuh darah) di akhir hehehe. Aku jadi bersemangat untuk membaca karya psychothriller lain dari penulis ini. Recommended! :D

1 comment:

Thanks for leave your comment :D