Vinca Callista
434 halaman
Grasindo, 2014
Rp. 65.000,-
Mau tak mau, Bonie harus berurusan dengan teman-teman barunya di Desa
Angsawengi. Macam-macam pribadi, dari anak yang sangat menyenangkan sampai yang
selalu menyebalkan, berinteraksi di rumah yang sama, karena kelompok mahasiswa
ini sedang menjalani program Kuliah Kerja Nyata. Di kelompok anak muda ini
hadir Arbil Radeagati – seorang aktor muda yang bermaksud melarikan diri dari
tekanan keluarganya, penyakit yang menggerogoti jiwanya. Dan ada pula Mada
Giorafsan, sahabat masa kecilnya yang mengetahui betapa Bonie tumbuh dari masa
lalu yang gelap dan menjijikan.
Pada awalnya, hubungan di antara kesebelas pribadi ini hanya seputar
program kerja di desa serta perkembangan chemistry yang bercabang jadi persahabatan dan permusuhan. Namun, nyatanya Desa
Angsawengi terlalu terkonsep. Ada orang-orang yang sengaja menakut-nakuti
mereka, sistem kehidupan di sana lama-lama jadi mencekam jiwa Bonie dan
kawan-kawan. Tidak ada remaja yang tinggal di sana, malah ada kawanan anjing
besar yang sering kali muncul bersama anak kecil berkepala botak, ada pula pria
misterius yang selalu mengganggu dengan mesin pemotong rumputnya. Anak-anak ini
terus diteror oleh penguakan rahasia yang menggiring mereka ke misteri yang
nyatanya melibatkan pribadi Bonie.
Membeli Seruak adalah keputusan yang cukup berani. Jumlah halaman yang
lumayan dan genre-nya belum terlalu
populer. Namun, gelar Publisher Searching for Author (PSA) dan nama penulisnya
membuatku optimis dengan ceritanya. Now,
let’s review it :D
"Baru
identik dengan kesan menarik. Tempat baru. Teman baru. Tebakan baru. Menarik untuk
dicari tahu, atau menarik untuk dibiarkan begitu saja karena cukup tahu." –
halaman 22
Bonie pergi melakukan Kuliah Kerja
Nyata ke Desa Angsawengi bersama sepuluh mahasiswa dari berbagai jurusan dan mempunyai
macam-macam kepribadian. Ada Jiana Aryon yang juga presenter acara musik dan
tak segan mengeluarkan pendapat, Natanina dengan ciri khas bibir merah dan setipe
dengan Jiana, Fabryan Sadamelik yang kocak dan menyenangkan, India Catur yang disebut-sebut
mempunyai indera keenam, Arbil Radeagati yang muak dengan efek kepopulerannya
sebagai aktor, Chamae Trileon yang jago memasak, Dwi Dwayanto si ketua
koordinator yang suka seenaknya, Firsta Lula yang manja dan tak henti
menyombongkan kekayaan keluarga, Mada Giorafsan yang lekat dengan
kamera, dan
pacar Mada, Kalima Faye, yang cermat mengamati kegiatan dan teman-teman barunya
dengan ilmu Psilokog.
Hari-hari awal mereka di Desa
Angsawengi menjadi ajang saling beradaptasi dengan orang-orang baru yang
ternyata punya sejarah panjang. Pertemanan lama Bonie dan Mada membuat Faye
cemburu. Apalagi saat Nina menanyakan kesetiaan Mada padanya. Lalu ada Fabryan
yang sudah punya pacar tapi sangat tertarik dengan Nina. Sedangkan India dan
Lula yang diam-diam menyukai Fabryan dan membenci keakraban cowok itu dengan
Jiana. Arbi lebih sering menyendiri tapi tak luput dari perhatian Chamea dan
Bonie. Banyak masalah lain yang menghambat perumusan program kerja mereka dan
membuat suasana mencekam. Kunjungan mendadak ke acara Kenduri Sang Kepala Desa,
bertemu nenek bergolok yang tinggal di pinggir hutan, diserang kawanan anjing
ganas yang dipimpin seorang bocah, dan muncul informasi-informasi membingungkan
yang berpotensi mengancam mereka sendiri.
"Jangan
takut sama Ludus – cinta yang muncul
akibat ketertarikan, kedekatan, keterhubungan, atau jadi permainan. ‘Eros’ plus ‘Ludus’, equals ‘Mania’, it’s obsessive love. It’s you to Nina, isn’t
it?" – halaman 188
Aku mempunyai hubungan benci tapi
cinta dengan Seruak ini. Banyak
banget hal yang menurutku menyebalkan, baik gaya bahasanya maupun alur
ceritanya sendiri. Asalnya sih asyik mengikuti kegiatan KKM ini. Aku kurang
lebih punya pengalaman yang sama, jadi gampang masuk ke drama yang terjadi
dalam kelompok Bonie. Dari beradaptasi dengan lingkungan yang lebih sederhana, adu
pendapat soal program kerja sampai diam-diam naksir teman kelompok. Namun, cerita
jadi melebar ke masa lalu beberapa tokoh. Tak jarang isinya kelam dan
menyedihkan. Setiap salah satu tokoh selesai dikupas, ada semacam kesimpulan
dan pemahaman dari sisi psikologi. Itu tidak hanya berlaku pada pembahasan
lengkap kehidupan sang tokoh, tapi juga pada reaksi yang dia berikan pada
beberapa situasi. Beberapa malah menyangkut masalah sosial yang kecil tapi
berefek besar, seperti pertanyaan ‘kapan nikah?’, cara berpakaian, dan
lainnya. Semuanya pemikiran itu ada benarnya juga. Tapi entah aku bacanya
terlalu berapi-api, beberapa terasa terlalu menggurui dan mengabaikan budaya.
Capek dan kesal sendiri bacanya.
Penjelasan panjang lebar tentang keluarga,
kehidupan mereka sebelum KKNM, dan akhirnya masuk ke Desa Angsawengi mengambil menguasai
awal cerita. Belum cukup panjang? Ada banyak pengulangan kalimat-kalimat.
Contoh diceritakan mereka makan lalu istirahat. Kemudian sesuatu terjadi dan
semua panik. Satu tokoh yang ketinggalan mencoba mengerti keadaan tersebut. By
the way, kenapa dia terlambat, ya? Jawabannya dijabarkan dalam kalimat
yang panjang bagaimana mereka semua menyantap makan malam, memutuskan
istirahat, sang tokoh itu sibuk dengan hal pribadinya, kejadian ganjil terjadi,
mereka bereaksi, lalu kembali ke satu orang yang terlambat sadar itu. Nama
lengkap para tokoh juga sering dicantumkan berulang kali. Bingung deh kenapa
harus diceritakan ulang dengan kalimat lengkap yang sangat kompleks. Padahal kan
kejadiannya cuma beda beberapa paragraf. Sebagian pembaca sepertinya
kemungkinan tidak menderita amnesia mendadak. Pengulangan tersebut menganggu
sekali. Kalau disunting ulang, mungkin jumlah halaman novel ini akan berkurang
drastis.
Pertanyaan besar lain yang sangat
menganggu adalah siapa ‘Saya’ yang bertugas menjadi narator. Aku mengira
itu Bonie karena dia tokoh utamanya. Iya, kan? Tetapi dari mana dia tahu semua
tetek bengek keluarga dan masa lalu teman-temannya, yang katanya baru bertemu
karena kegiatan mahasiswa tersebut? Lalu suara ‘Saya’ terasa berbeda di
beberapa bagian. Bukan Bonie, tapi kadang memang Bonie. Pusing deh! Sempat
ingin menyerah rasanya. Peduli amat aku sudah sampai halaman sekian. Aku hanya
ingin semua kekesalan dan rasa sakit di kepalaku berakhir. Tapi aku juga sadar
berhenti bukan solusinya. Aku terus maju, maju, mengeleng-geleng untuk setiap
pengulangan, maju terus sampai menemukan kata ‘eksekusi’ dan mataku pun tak
terasa berat lagi.
Satu kata itu membuatku merinding
sekaligus memberikan semangat untuk terus mengikuti ceritanya. Dari sana aku
sadar banyak hal yang menarik dan menghibur. Para tokoh punya suara yang kuat. Karakter
mereka sudah tergambar jelas di pikiranku – thanks
to pengulangan yang tak berujung itu – sehingga tidak sulit menebak siapa
yang berbicara apa. Lalu panggilan ‘boy’ sebagai pengganti ‘bro’ itu unik banget.
Aku menikmati setiap percakapan mereka, bahkan untuk bagian yang tidak
pentingnya atau berasal dari tokoh menyebalkan seperti Lula. Kemudian selipan
teori yang memusingkan itu mulai berguna di pertengahan cerita. Setelah
dipikirkan cukup lama, tidak semuanya melenceng dari cerita. Ada beberapa yang menarik,
seperti The Butterfly Effect dan soal Id, Ego, dan Super Ego. Khusus yang
terakhir, penjelasan panjangnya soal yang melibatkan pengalaman salah satu
tokoh malah membuatku sadar dengan reaksi emosiku sendiri. Tak hanya itu, efek
psikologis itu mengantar para tokoh ke bagian penuh darah hahahaha.
Aku merasa tidak pantas karena kegirangan
saat menemukan ada bagian mengerikan tersebut. Tapi itu yang aku tunggu-tunggu! Akhirnya
aku disuguhi jawaban-jawaban misteri dengan bumbu thriller yang cepat dan penuh twist.
Kematian yang erat dengan konsep alam membuat penggunaan Desa Angsawengi sebagai
setting terasa tidak ganjil lagi. Malah
jadi terlihat cerdas dan gilaaaa, dalam artian bagus tentunya. Kejutan juga
datang dari hal-hal yang semula membuat kepalaku beneran sakit. Seperti pengulangan
nama lengkap para tokohnya. Ternyata maksudnya adalah . . . nggak bakal spoiler ah.
Ooooh, jadi ini yang namanya cerita
psychothriller, teori psikolog
dipaparkan panjang lebar untuk bisa nyambung dengan thriller-nya nanti. Tapi menurutku keduanya tidak bersatu dengan
baik dan seimbang. Bagian awal lebih condong ke psikolog dan sisanya ke
thriller. Kenapa tidak mempertemukan mereka sejak awal sehingga ketegangan
cerita bisa langsung terasa di halaman pertama? Kemudian konsep Desa
Angsawengi itu sangat di luar dugaan, begitu pula masalah yang dihadapi Bonie
tak tertebak. Sayangnya cara kedua hal itu terungkap terasa terlalu mudah,
diceritakan langsung oleh orang yang terlibat dari awal. Sebelumnya aku
berharap jawaban-jawabannya datang karena ada tokoh yang berhasil menghubungkan
setiap kejadian aneh yang terus terjadi pada kelompoknya. Untuk paparan
teorinya yang melimpah di tiap halaman, aku merasakan manfaatnya sekaligus
merasa sedikit geli. Para tokoh dalam cerita ini tidak cocok untuk menjadi
subjek penelitian karena semua aksi dan akibatnya sudah dijelaskan dengan
panjang lebar, lengkap dengan teorinya ;p
At last, Seruak yang
semula mengesalkan karena pengulangan kalimat-kalimat tidak penting dan teori
yang memusingkan, berakhir jadi sangat mengesankan dengan karakter yang kuat
dan rentetan twist di akhir cerita.
Bagi yang tertarik, bacalah yang sabar. Perjuangan kalian akan berakhir manis (dan
penuh darah)
di akhir hehehe. Aku jadi bersemangat untuk membaca karya psychothriller lain dari
penulis ini. Recommended!
:D
lumayan juga ya mbak halamnnya heee
ReplyDelete