Thursday, September 3, 2009

3 Anak Kucing-Book 1-Last Chapter



Kenapa aku pilih hari Sabtu sih? Aku kesal melihat keadaan tempat pameran kerajinan tangan ini lebih penuh dari yang diceritaka teman-temanku kemaren. Kalo tau gini, aku pilihnya hari sekolah aja. mereka dimana ya?
Dengan susah payah, aku celingak-celinguk nyari dua cowok yang harus dipilih. Sekarang masih 20 menit dari perjanjian, mungkin mereka belum dateng, apalagi sekarang weekend, macet banget. Aku menggunakan waktu itu untuk berputar-putar dan melihat beberapa tas dari kayu yang unik. Ternyata tak kalah bagus dengan tas D&G atau Chanel.
Ketika aku sedang tawar menawar sebuah gelang, kedua cowok itu datang menghampirinya
” Friesca . .” untung aja suara mereka masih terdengar diantara hiruk pikuknya pameran.
” Hai . . .” tadinya aku mau menjawab tapi kejadiannya selanjutnya bikin aku gak enak hati
” Beli gelang ya?” Tama langsung mengeluarkan dompetnya ” Beli berapa? Biar aku yang bayar”
” Gak usah. Udah aku bayar koq”
Dengan kecewa Tama memasukkan dompetnya lagi. Harga yang aku tawar disetujui dan aku membayarnya.
” Macet ya?”
” Banget. Apalagi di dekat pasar itu” dengan mobilnya Tama pasti kena macet
” Kalo kamu?” ternyata Tama menepatin janjinya untuk bilang ke Udith
” Aku lewat jalan tikus . . .”
” Wah, pake motor memang lebih enak ya” potongku.
Tama langsung menatap tajam Udith
” Tapi tetep kena macet karena banyak motor yang juga lewat sana. Pengendara motorkan suka ugal-ugalan”
Tama mengangguk-gangguk setuju sedangkan aku langsung cemberut. Udith udah mulai ngelindungin Tama lagi.
” Cari kursi yuk. Kan gak enak berdiri terus” ajak Tama. Aku mengangguk. Untuk urusan kenyamanan Tama memang bisa diandalkan. Setelah mencari-cari, akhirnya ketemu kursi yang pas banget untuk 3 orang. Aku lalu duduk dan diikuti Tama dan Udith yang duduk di sebelahnya.
” Gelangnya bagus” komentar Udith
Aku tersenyum, senang sekali dia mempunyai selera yang sama denganku. Ada alasan untuk aku memilihnya.
” Gelang yang kayak gitu bakal rusak kalo kena air” Tama berucap cukup sinis
” Gak apa-apa koq. Aku bisa beli lagi. Harganya murah” balasku
” Tapi lebih baik kamu beli yang tahan lama” saran Udith ” Lebih mahal sih. Tapi sama aja dengan beli yang murah berkali-kali”
” Iya sih . .”
Melihat Tama yang keliatan marah dan sikap Udith yang ngelindungi Tama, aku jadi pengen muntah. Kenapa dia hormat banget sama Tama? Seharusnya Tama yang gitu, kerena dia kakaknya. Tama jadi keliatan ’adik’ disini.
Setelah itu keadaan gak ada bedanya. Setiap yang kulakukan dan itu juga Udith suka, Tama memandang marah dan Udith yang langsung meralat kesamaan itu. Aku bener-bener ngerasa ini gak adil. Kenapa dia harus marah kalo aku dan Udith banyak kesamaan? Apa dia pikir aku bakal milih yang sama kayak aku? Apa dia gak ngerti arti perbedaan?
” Aku mau ke toilet” kataku setelah mereka ngobrol tentang warna batik yang terang dan gelap. Udith suka yang terang seperti aku dan Tama sebaliknya.
” Hati-hati” kata Tama.
Nyebelin! aku sedikit membanting pintu toilet. Untung aja dia sendirian disana.
Sikap Udith yang ngelindungin Tama bikin aku pusing. Apalagi Tama yang selalu marah mendadak karena Udith sama kayak aku. Tiba-tiba hpku bergetar. Ayah udah ngesms lagi. Aku harus pulang sekarang. Tapi aku belum mutusin aku mau pilih siapa. Hpku bergetar lagi. Duh, Ayah bener-bener cemas. Aku harus putusin sekarang.
***
” Koq lama?” tanya Tama yang ternyata menunggu di depan toilet bersama Udith
” Biasa, cewek” aku tersenyum ” Ayah udah ngesms, aku harus pulang sekarang”
” Aku anter”
Tama kecewa melihat aku menggeleng
” Aku bakal milih kalian . . .”
” Kak Tama aja. aku gak bisa kayaknya bensin aku abis” aku menggeleng lagi
” Bukan itu. Kali ini bener-bener pilihan terakhir. Aku bakal milih siapa yang akan aku terima jadi cowok aku”
Suasana jadi tegang. 2 cowok dihadapanku saling memandang
” Caranya?” pertanyaan bagus, Dith!
” Aku udah bikin 2 kertas” aku mengeluarkan 2 lembar kertas yang tadi ku tulisi di toilet ” Di dalemnya ada tulisan diterima atau ditolaknya kalian”
Lalu aku memberikan kertas itu. Ini seperti permainan anak kecil, tapi aku cuma bisa melakukan ini. Mereka juga sepertinya tidak keberatan dengan hal ini.
” Jangan dulu!” tangan Tama langsung berhenti ” Jangan dulu dibuka. Aku akan tunggu di luar pameran sana. Begitu aku sampai kalian boleh buka dan yang diterima pergi ke sana dan ngenter aku pulang”
” Kalo yang ditolak?”
” Dia gak boleh ketemu aku atau sms aku lagi. Setuju?” Tama dan Udith mengangguk
” Aku pergi sekarang. Ingat jangan dibuka dulu!”
Aku lalu pergi. Berlari diantara kerumunan orang yang masih banyak dan menghilang. Kedua cowok yang terdiam dan memandang kertas masing-masing, menunggu dan 5 menit kemudian . . .
” Ayo kita buka” kata Tama yang diikuti anggukan Udith. Dia membuka lipatan kertas itu pelan-pelan. Dia membaca beberapa kalimat yang tertulis disana.
Ditolak! Ternyata Tama ditolak. Tama bener-bener merasa marah. Kalo dia ditolak berarti Udith. . .
” Dia ternyata gak berbakat bikin puisi” kata Udith pelan. Dia memasukkan kertas itu ke sakunya dan pergi
” Dith, kamu diterima?”
Udith bingung mendengar pertanyaan kakaknya itu
” Bukannya kakak yang diterima?”
Udith mengeluarkan kertasnya dan disana ada tulisan yang sama. Mereka berdua ditolak! Apa yang dipikirin Friesca? Kalo mereka berdua ditolak, Friesca pulang sama siapa? Tama langsung berlari ke luar ruangan pameran, tempat Friesca menunggu. Tapi disana gak ada Friesca
” Pak, Liat cewek pake baju ungu?” Udith langsung bertanya ke petugas parkir yang sibuk mencatat nomor polisi sebuah kendaraan.
” Udah naik angkot. Barusan banget”
Mereka berdua kaget. Sementara itu diangkot, aku memandang kedua cowok yang kebingungan. Sorry, aku gak milih kalian berdua. Aku gak mau ngerusak hubungan adik kakak kalian. Hpnya bergetar lagi telepon dari Ayah
” Halo? Iya, Friesca lagi diangkot. Macet banget. Cowok? Nggak, Friesca gak ketemu sama mereka. Gak akan lagi, Yah . . .” perlahan airmataku menetes
Dhyn Hanarun~

No comments:

Post a Comment

Thanks for leave your comment :D