Isaac Marion
374 halaman
PT. Ufuk Publishing House, Juli 2012
Rp. 49.900,-
‘R’ adalah zombie. Dia tidak
punya ingatan, tidak punya identitas, dan tidak punya denyut nadi. Tetapi, dia
punya mimpi. Dia tidak suka membunuh manusia. Dia agak berbeda dengan
teman-temannya ‘Kaum Mati’. Sewaktu menjelajahi reruntuhan peradaban untuk
mencari makan, R bertemu dengan seorang gadis bernama Julie. Gadis itu merupaka
kebalikan dari segala yang R tahu. Julie, yang hangat dan ceria serta sangat
hidup, membuat sesuatu dalam diri R mulai berubah. R sadar dia tidak ingin
memakan Julie, meski gadis itu tampak lezat. Dia ingin melindungi Julie, tak
peduli apa pun akibatnya. Pilihan ini seperti percik api di rumput, melanggar
aturan dan menyangkal kematian. Dia ingin bernafas lagi, ingin hidup, dan Julie
ingin membantunya. Bisakah kasih dari dua dunia yang berbeda ini berpadu?
Kalo kamu pernah liat post yang
satu ini, kamu tahu bahwa aku udah punya novel ini sebelum versi layar lebarnya
mulai tayang di Hollywood ataupun di Indonesia sendiri. Tapi aku memilih
menunggu filmnya dulu, lalu membaca novelnya. Soalnya dalam pengalamanku itu
lah cara yang cukup oke untuk mengurangi dan menutupi rasa kecewa atas
perbedaan antara novel dan film. It works on Twilight and Percy Jackson but
doesn’t really work on Harry Potter or The Hunger Games. How about this one?
Aku udah nonton filmnya dan ini reviewnya. Sekarang waktunya mereview novelnya.
Lalu di akhir posting ada komentar antara dua media itu. Ready?
Warm Bodies dibuka (dan sebagian
besar dikuasai) oleh monolog si zombie yang ‘beda’, R. Semua monolog itu
kedengerannya cukup galau untuk ukuran ‘Kaum Mati’. R mengomentari hidupnya
sebagai zombie yang gitu-gitu aja, luntang-lantung di bandara, mendapatkan dan
kehilangan ‘istri’ dan dua ‘anak’ dengan waktu yang sangat singkat, dan
kelaparan. Lapar yang R rasakan bukan lapar akan daging atau otak manusia, tapi
dia lapar akan rasa hidup. Untungnya R bertemu dengan Julie yang begitu hidup
dan mempunyai semangat untuk terus hidup di tengah keadaan dunia yang sudah
terkena wabah zombie ini. Secara tidak sadar, R menempatkan Julie sebagai orang
yang sangat berarti untuknya. Dia rela melanggar hukum yang diatur oleh para
Tulang dan menyelundup ke stadion besar dimana ‘Kaum Hidup’ berlindung. Itu
tidak sia-sia karena teman-teman sesama ‘mati’nya juga mulai ‘terjangkit’ dan
tertarik akan rasa hidup yang hangat dan bermakna.
Monolog-monolog R yang bercampur
dengan monolog Perry, pacar Julie yang R bunuh dan dimakan otaknya, agak
membosankan. Well, mungkin karena aku memaksakan diri untuk baca novel ini
menjelang tengah malam dimana aku harus istirahat dan bersiap untuk magang
keesokan harinya. Tapi tetap saja aku ingin terus membaca dan mencari tahu
maksud dari semua monolog itu. Tema monolog itu berkisar dengan kesalahan
zombie dan manusia yang saling berperang akan sesuatu yang tidak jelas dan
pandangan-pandangan akan hidup dan mati dari R dan Perry yang seringkali berlawanan.
Tak jarang monolog itu seolah menyindir sikap manusia yang egois dan tidak
memikirkan masa depan. R dan Perry menggambarkannya dengan wabah zombie yang diperkirakan
sudah menyentuh setiap tanah bumi, kecuali stadion besar. Keinginan R untuk
hidup dan berjuang untuk melawan wabah itu bertabrakan dengan rasa pesimis
Perry akan hidup dan keinginannya untuk mati. Cukup berat ya untuk ukuran
zombie yang kita ketahui hanya mengeluarkan kata ‘brains’. Tapi dari sana aku
juga agak ngeri dan mikir juga sih J
Monolog penuh ketidakpastian dan
putus asa itu kemudian bercampur dengan kalimat-kalimat ceria dan manja dari
Julie. Julie hanya ingin semuanya bahagia dan dia mau melakukan apa pun yang
bisa menyatukan ‘Kaum Hidup’ dan ‘Kaum Mati’ dalam satu tempat tanpa terbunuh
dan dibunuh. Julie masih punya semangat untuk hidup dan bersama dengan teman
baiknya, Nora, dia bahkan sempat bersenang-senang dan meneguk vodka. R suka itu
dan tanpa disadari dia mulai ’hidup’. Dalam pandanganku ‘Kaum Hidup’ dan ‘Kaum
Mati’ seperti manusia biasa saja, yang membedakannya adalah keinginan mereka
untuk hidup atau mati. R bisa berubah menjadi ‘hidup’ lagi dengan bantuan Julie
dan tekad kuatnya sendiri. Sedangkan Perry diam saja saat kematian merenggutnya
dari kehidupan yang selalu diinginkan oleh R. Jadi rasa hidup dan mati kita
ditentukan dari keinginan kita untuk menjalani salah satu pilihan itu. Pernah
merasa ‘mati’ karena terlalu banyak mengeluh, pesimis dan berpikiran negatif? I
think you (and I) should change that and live the life. To be honest, I thought
about that when I was writing this review :D
Monolog-monolog yang membosankan
tapi bermakna itu mewarnai perjalanan cinta antara R dan Julie. Eh, sadar gak
ada sedikit bumbu-bumbu ‘Romeo and Juliet’ dalam kisah ini. Dimulai dengan nama
dua tokoh tersebut, R(omeo) dan Julie(t). Lalu juga Perry (Paris) dan Nora (Nurse),
yang juga berminat dalam keperawatan. Terus ada bagian *spoiler* R memanggil
Julie yang ada di balkon rumahnya. Aku sebenarnya belum membaca versi yang
paling asli dari ‘Romeo and Juliet’, tapi aku puas dua tokoh utama itu tidak
bunuh diri bersama *kinda spoil it :p*
Karena aku udah nonton filmnya
dan tahu wajah-wajah yang memerankan para tokoh tersebut, aku gak bisa bohong
kalo wajah Nicholas Hoult terus ada saat R bermonolog. Di novelnya yang
mempunyai tiga bab besar juga menampilkan wajah hot zombie itu. Mana bisa
tahaaaaaaaaan :p
Dan karena Nicholas Hoult lah mau
tak mau aku terus sama membandingkan novel dan filmnya. Novel yang menjadi
dasar dari versi layar lebar tidak bisa disalahkan atas perbedaan yang ada,
jadi ‘kesalahan’ memang selalu ada di bagian film. Filmnya lebih mengambil sisi
humor, romantis dan sedikit action dari kehidupan zombie-zombie bandara. Semua hal itu
membuatnya sangat menghibur. Makanya aku agak kaget ketika mendapati versi
novelnya yang agak berat dan serius. Aku jadi kecewa, tapi seperti yang aku
tulis di awal paragraf, buku bukan kambing hitam disini (kalo kamu nyari
sesuatu untuk disalahkan). Tapi keduanya tetap menyenangkan koq, in different
way J
At last, Warm Bodies ternyata
bukan cuma cerita cinta-cintaannya manusia dan zombie, it’s beyond that. Novel
ini membuatku berpikir ulang akan kehidupan dan kematian, yang pasti akan
datang dan pergi. Then I prefer to called it as ‘hot’ than ‘warm’. Recommeded J
Baik novel dan filmnya gak sesuai seleraku aja dibacanya u.u Gak suka Zombie ._.
ReplyDelete