Tuesday, March 19, 2013

Warm Bodies

Isaac Marion
374 halaman
PT. Ufuk Publishing House, Juli 2012
Rp. 49.900,-

‘R’ adalah zombie. Dia tidak punya ingatan, tidak punya identitas, dan tidak punya denyut nadi. Tetapi, dia punya mimpi. Dia tidak suka membunuh manusia. Dia agak berbeda dengan teman-temannya ‘Kaum Mati’. Sewaktu menjelajahi reruntuhan peradaban untuk mencari makan, R bertemu dengan seorang gadis bernama Julie. Gadis itu merupaka kebalikan dari segala yang R tahu. Julie, yang hangat dan ceria serta sangat hidup, membuat sesuatu dalam diri R mulai berubah. R sadar dia tidak ingin memakan Julie, meski gadis itu tampak lezat. Dia ingin melindungi Julie, tak peduli apa pun akibatnya. Pilihan ini seperti percik api di rumput, melanggar aturan dan menyangkal kematian. Dia ingin bernafas lagi, ingin hidup, dan Julie ingin membantunya. Bisakah kasih dari dua dunia yang berbeda ini berpadu?

Kalo kamu pernah liat post yang satu ini, kamu tahu bahwa aku udah punya novel ini sebelum versi layar lebarnya mulai tayang di Hollywood ataupun di Indonesia sendiri. Tapi aku memilih menunggu filmnya dulu, lalu membaca novelnya. Soalnya dalam pengalamanku itu lah cara yang cukup oke untuk mengurangi dan menutupi rasa kecewa atas perbedaan antara novel dan film. It works on Twilight and Percy Jackson but doesn’t really work on Harry Potter or The Hunger Games. How about this one? Aku udah nonton filmnya dan ini reviewnya. Sekarang waktunya mereview novelnya. Lalu di akhir posting ada komentar antara dua media itu. Ready?

Warm Bodies dibuka (dan sebagian besar dikuasai) oleh monolog si zombie yang ‘beda’, R. Semua monolog itu kedengerannya cukup galau untuk ukuran ‘Kaum Mati’. R mengomentari hidupnya sebagai zombie yang gitu-gitu aja, luntang-lantung di bandara, mendapatkan dan kehilangan ‘istri’ dan dua ‘anak’ dengan waktu yang sangat singkat, dan kelaparan. Lapar yang R rasakan bukan lapar akan daging atau otak manusia, tapi dia lapar akan rasa hidup. Untungnya R bertemu dengan Julie yang begitu hidup dan mempunyai semangat untuk terus hidup di tengah keadaan dunia yang sudah terkena wabah zombie ini. Secara tidak sadar, R menempatkan Julie sebagai orang yang sangat berarti untuknya. Dia rela melanggar hukum yang diatur oleh para Tulang dan menyelundup ke stadion besar dimana ‘Kaum Hidup’ berlindung. Itu tidak sia-sia karena teman-teman sesama ‘mati’nya juga mulai ‘terjangkit’ dan tertarik akan rasa hidup yang hangat dan bermakna.

Monolog-monolog R yang bercampur dengan monolog Perry, pacar Julie yang R bunuh dan dimakan otaknya, agak membosankan. Well, mungkin karena aku memaksakan diri untuk baca novel ini menjelang tengah malam dimana aku harus istirahat dan bersiap untuk magang keesokan harinya. Tapi tetap saja aku ingin terus membaca dan mencari tahu maksud dari semua monolog itu. Tema monolog itu berkisar dengan kesalahan zombie dan manusia yang saling berperang akan sesuatu yang tidak jelas dan pandangan-pandangan akan hidup dan mati dari R dan Perry yang seringkali berlawanan. Tak jarang monolog itu seolah menyindir sikap manusia yang egois dan tidak memikirkan masa depan. R dan Perry menggambarkannya dengan wabah zombie yang diperkirakan sudah menyentuh setiap tanah bumi, kecuali stadion besar. Keinginan R untuk hidup dan berjuang untuk melawan wabah itu bertabrakan dengan rasa pesimis Perry akan hidup dan keinginannya untuk mati. Cukup berat ya untuk ukuran zombie yang kita ketahui hanya mengeluarkan kata ‘brains’. Tapi dari sana aku juga agak ngeri dan mikir juga sih J

Monolog penuh ketidakpastian dan putus asa itu kemudian bercampur dengan kalimat-kalimat ceria dan manja dari Julie. Julie hanya ingin semuanya bahagia dan dia mau melakukan apa pun yang bisa menyatukan ‘Kaum Hidup’ dan ‘Kaum Mati’ dalam satu tempat tanpa terbunuh dan dibunuh. Julie masih punya semangat untuk hidup dan bersama dengan teman baiknya, Nora, dia bahkan sempat bersenang-senang dan meneguk vodka. R suka itu dan tanpa disadari dia mulai ’hidup’. Dalam pandanganku ‘Kaum Hidup’ dan ‘Kaum Mati’ seperti manusia biasa saja, yang membedakannya adalah keinginan mereka untuk hidup atau mati. R bisa berubah menjadi ‘hidup’ lagi dengan bantuan Julie dan tekad kuatnya sendiri. Sedangkan Perry diam saja saat kematian merenggutnya dari kehidupan yang selalu diinginkan oleh R. Jadi rasa hidup dan mati kita ditentukan dari keinginan kita untuk menjalani salah satu pilihan itu. Pernah merasa ‘mati’ karena terlalu banyak mengeluh, pesimis dan berpikiran negatif? I think you (and I) should change that and live the life. To be honest, I thought about that when I was writing this review :D

Monolog-monolog yang membosankan tapi bermakna itu mewarnai perjalanan cinta antara R dan Julie. Eh, sadar gak ada sedikit bumbu-bumbu ‘Romeo and Juliet’ dalam kisah ini. Dimulai dengan nama dua tokoh tersebut, R(omeo) dan Julie(t). Lalu juga Perry (Paris) dan Nora (Nurse), yang juga berminat dalam keperawatan. Terus ada bagian *spoiler* R memanggil Julie yang ada di balkon rumahnya. Aku sebenarnya belum membaca versi yang paling asli dari ‘Romeo and Juliet’, tapi aku puas dua tokoh utama itu tidak bunuh diri bersama *kinda spoil it :p*

Karena aku udah nonton filmnya dan tahu wajah-wajah yang memerankan para tokoh tersebut, aku gak bisa bohong kalo wajah Nicholas Hoult terus ada saat R bermonolog. Di novelnya yang mempunyai tiga bab besar juga menampilkan wajah hot zombie itu. Mana bisa tahaaaaaaaaan :p


Dan karena Nicholas Hoult lah mau tak mau aku terus sama membandingkan novel dan filmnya. Novel yang menjadi dasar dari versi layar lebar tidak bisa disalahkan atas perbedaan yang ada, jadi ‘kesalahan’ memang selalu ada di bagian film. Filmnya lebih mengambil sisi humor, romantis dan sedikit action dari kehidupan zombie-zombie bandara. Semua hal itu membuatnya sangat menghibur. Makanya aku agak kaget ketika mendapati versi novelnya yang agak berat dan serius. Aku jadi kecewa, tapi seperti yang aku tulis di awal paragraf, buku bukan kambing hitam disini (kalo kamu nyari sesuatu untuk disalahkan). Tapi keduanya tetap menyenangkan koq, in different way J

At last, Warm Bodies ternyata bukan cuma cerita cinta-cintaannya manusia dan zombie, it’s beyond that. Novel ini membuatku berpikir ulang akan kehidupan dan kematian, yang pasti akan datang dan pergi. Then I prefer to called it as ‘hot’ than ‘warm’. Recommeded J

1 comment:

  1. Baik novel dan filmnya gak sesuai seleraku aja dibacanya u.u Gak suka Zombie ._.

    ReplyDelete

Thanks for leave your comment :D