Monday, May 20, 2013

Roma: Con Amore

Robin Wijaya
384 Halaman
Gagas Media, 2013 (cetakan pertama)
Rp. 53.000,-

Pembaca tersayang,

Banyak jalan menuju Roma. Banyak cerita berujung cinta. Robin Wijaya, penulis novel Before Us dan Menunggu mempersembahkan cerita cinta dari Kota Tujuh Bukit.

Leonardo Halim, pelukis muda berbakat Indonesia, menyaksikan perempuan itu hadir. Sosok yang datang bersama cahaya dari balik sela-sela kaca gereja Saint Agnes. Hangatnya menorehkan warna, seperti senja yang merekah merah di langit Kota Roma. Namun, bagaimana jika ia juga membawa luka?

Leo hanya ingin menjadi cahaya, mengantar perempuan itu menembus gelap masa lalu. Mungkinkah ia percaya? Sementara sore itu, di luar ruang yang dipenuhi easel, palet, dan kanvas, seseorang hadir untuk rindu yang telah menunggu.

Setiap tempat punya cerita. Roma seperti sebuah lukisan yang bicara tanpa kata-kata.

Enjoy the journey,

EDITOR

Roma: Con Amore adalah seri kedua dari Setiap Tempat Punya Cerita keluaran Gagas Media (Fyi, Bukune yang masih bersaudara dengan Gagas mengeluarkan seri yang sama). Menarik dan unik. Itu pendapatku untuk ide ini. Selain mengeksplor tempat-tempat menarik dan cerita romantis dibaliknya, Gagas sepertinya juga ingin mengembangkan bakat para penulis dibawah naungannya. Lihat saja nama-nama yang ada adalah orang-orang yang sebelumnya pernah menerbitkan karyanya di Gagas dan bahkan ikut bagian seri sebelumnya, Gagas Media.

Seri Setiap Tempat Punya Cerita (STPC) dari Gagas Media adalah Paris: Aline karya Prisca Primasari (baca reviewnya disini) dan yang kedua adalah Roma: Con Amore karya Robin Wijaya. Karya Robin Wijaya sebelumnya yang pernah aku baca adalah Menunggu yang berduet dengan Dahlian. Robin menyajikan sebuah cerita sederhana tapi punya efek galau yang maksimal. Hal itu membuatku yakin untuk membeli seri kedua ini. Aku mau lihat sebetapa galau dan ‘ROMA’ntisnya cerita Robin kali ini. Aku juga memutuskan untuk mengikuti seri STPC berikutnya. Selain karena penasaran dengan tempat apa lagi yang akan diangkat, aku juga senang dengan sinopsisnya yang sudah memberikan sedikit pencerahan tentang isinya :p

Sebelum ke cerita, mari lihat package Roma: Con Amore yang unik.




Aku nggak begitu familiar dengan bangunan yang ada di kartu pos yang menjadi bonus dan ilustrasinya cuma ada enam. Tapi idenya tetap saja unik dan membuat novel ini terasa sangat beda dari yang lain.

Untuk isi ceritanya, Roma: Con Amore mengisahkan tentang pertemuan seorang pelukis muda asal Indonesia, Leonardo Halim dengan seorang pegawai KBRI, Felice Patricia di sebuah galeri lukisan di Roma. Mereka bertemu karena kecerobohan Felice yang membuat lukisan Leo terkirim ke tempat yang salah. Setelah itu mereka tak sengaja bertemu di Bali. Mereka mulai berteman dan menghabiskan waktu tanpa rencana. Ketika mereka bertemu lagi di Roma dan menghabiskan waktu bersama, hubungan pertemanan mereka terasa lain. Mereka tak pernah mengakui satu sama salin karena masing-masing sudah punya pasangan. Leo punya Marla, seorang pengrajin hiasan kaca patri yang selalu setia dan telaten mengurus Leo dan rumahnya. Felice punya Franco, pesepakbola Itali yang super romantis.

Setelah membaca sinopsisnya diatas, udah kebayangkan betapa romantis dan besarnya potensi kegalauan yang dihasilkan hehehe. Hal lain yang bikin galau maksimal adalah isi bab yang cenderung pendek-pendek dan hanya menceritakan satu peristiwa, contohnya bab khusus membahas pekerjaan sehari-hari Leo, kisah percomblangan Leo dan Marla, isu keluarga Felice dan lainnya. Siapa sih yang suka dikasih dikit-dikit? Makanya aku jadi pengen baca terus dan secara tidak langsung meningkatkan kegalauan. Apalagi sebelum bab baru dimulai, sebuah quote muncul di bawah judul bab tersebut. Ini adalah beberapa quotes yang aku suka ;)

“Aku bersembunyi di balik keangkuhan. Diam-diam menjadi pengagummu.”     – bab 5

“Cinta adalah penerimaan tanpa ada penolakan.” – bab 14

“Setiap orang punya ruang dan tempat tersendiri. Mereka yang pergi dan datang, tak akan pernah bisa saling menggantikan.” – bab 18

“Kamu menjadi alasan aku kembali. Tak perlu tanya, tak perlu kata untuk menjelaskan.” – bab 22

“Ada perbedaan tipis antara benci dan cinta. Dan yang menyekatkan keduanya, hanyalah perasaan tak mau memaafkan.” – bab 33

Tapi sayangnya, cara penceritaan yang dikit-dikit dan dosis galau yang semakin besar seperti itu membuat alurnya terasa lambat dan hambar. Cara tersebut juga tidak maksimal untuk menceritakan masalah utama masing-masing karakter. Butuh berbab-bab untuk tahu status hubungan yang dimiliki Leo dan Marla dan juga untuk mengerti kenapa Felice begitu marah dengan keputusan Mamanya berhubungan dengan Benny.

Entah kenapa, aku menemukan bahwa deskripsi dan narasi di novel ini lebih berperan daripada dialog antar karakternya. Setiap bab atau paragrap ini dimulai dengan deskripsi tempat lalu narasi tentang kegundahan hati karakter yang terlibat. Semua itu terasa begitu indah dan mendayu-dayu. Tapi ketika karakter tersebut bercakap-cakap dengan karakter lain, mereka terdengar kaku dan geje banget.

Itu membuat konflik yang ada (yang semula sangat galau) jadi biasa-biasa saja. Ke-Roma-annya juga kurang kerasa disaat kedua tokoh malah mulai menjadi teman di Bali dan adanya menggunaan Bahasa Inggris yang efektif ketimbang Bahasa Itali.

Mau sedikit berkomentar tentang cinta segitiga Marla – Leo – Feline. Bagi yang belum baca, bisa lanjut ke kesimpulan setelah tanda alert merah kedua untuk menghindari spoiler :)

ALERT!

Leo adalah seorang pelukis dan dia sangat butuh mood dan inspirasi untuk menghasilkan setiap lukisan. Entah dihalaman berapa, Marla membahas bahwa Leo selalu mengerjakan setiap lukisannya dengan perasaan (cinta?) dan dengan begitulah lukisan dibuatnya akan hidup. Marla yang selama ini menemani Leo, sebelum akhirnya Felice yang berbeda dengan Marla datang dan menyiptakan inspirasi baru buat Leo. Jadi apakah rasa cinta yang Leo rasakan nyata atau sekedar membutuhkan muse untuk lukisannya? Jadi keingetan dengan Gossip Girl, Serena van der Woodsen pacaran dengan seorang seniman yang merupakan teman masa kecilnya. GG berkomentar diakhir, "Looks like B's prophecy came true. One day you're a muse. The next day you're old news."

Felice menolak hubungan Mamanya dengan Benny, seorang pria beristri yang berjanji akan bercerai secepatnya. Alasannya karena Benny jelas milik orang lain dan Felice tidak mau seorangpun menggantikan Papanya. Tapi lihatlah hubungannya dengan Leo. Leo jelas tidak sendiri walaupun dia tidak mengakuinya sebelumnya. Felice tidak sempat menanyakan hal tersebut karena terlalu mabuk oleh cinta. Bukankan itu sama saja dengan Mamanya yang mementingkan perasaannya kepada Benny dan tutup mata atas kejelasan status Benny. Like mother like daughter. Lalu bagaimana dengan ‘pengganti’? Felice dengan mudahkan menggantikan Marla di hati Leo. So Felice, there is no reason to forbin your mother, at least when she is dating the right man.

ALERT!

At last, Roma: Con Amore dan segala kegalauannya was quite good. But I realized the doses is just not my cup of coffee. Terlalu banyak buat aku, sampe tidak mempan lagi. Untuk Robin Wijaya, aku tetap menantikan karya selanjutnya, sebuah cerita yang tidak terlalu galau mungkin? :D 

2 comments:

  1. Good Review :))

    BTW, entah kenapa aku enggak begitu suka sama novel karya kak Robin Wijaya kali ini u,u
    Mungkin gara-gara dari awal udah sebel aja sama si tokoh utama cewek (Felice). Kesannya itu kayak dia ngerebut cowok orang -,-
    Jadi kasihan sama Marla, mungkin bagiku agak sulit jadi cewek sekuat Marla yang rela ngelepasin sesorang yang sangat berarti ke orang lain u,u

    ReplyDelete
  2. Dear Ila, aku juga sebel sama Felice :(

    ReplyDelete

Thanks for leave your comment :D