Robin Wijaya
304 Halaman
GagasMedia, Februari 2012
Rp. 43.000,-
"Kau adalah tamu tak diundang. Datang tanpa pemberitahuan, memaksa
masuk ke ruang hati setelah bertahun-tahun tanpa kabar. Aku merindukanmu,
tulismu di e-mail terakhir. Bahkan setelah tahu aku bersamanya pun,
masih saja kau lancang mengulangi hal yang sama.
Kau tahu, aku tak bisa lolos dengan mudah dari jerat-jerat cerita kita yang tak pernah benar-benar selesai. Kau bilang tak perlu ada yang berubah—tapi kenapa aku merasa semakin jauh dengan dirinya, terseret arus yang membawaku ke pelukanmu?
Kau harus pergi, begitu inginku. Tapi suaraku terlalu gemetar dan terlalu takut untuk terdengar tegas di hadapanmu. Bagaimana aku bisa sampai ada di situasi ini, terperangkap perasaanku sendiri? Disudutkan dilema yang melibatkan kau dan dirinya? Sebelum aku berhasil menemukan jawabannya, aku kemudian tersadar....
Aku sudah tak setia.
Kau tahu, aku tak bisa lolos dengan mudah dari jerat-jerat cerita kita yang tak pernah benar-benar selesai. Kau bilang tak perlu ada yang berubah—tapi kenapa aku merasa semakin jauh dengan dirinya, terseret arus yang membawaku ke pelukanmu?
Kau harus pergi, begitu inginku. Tapi suaraku terlalu gemetar dan terlalu takut untuk terdengar tegas di hadapanmu. Bagaimana aku bisa sampai ada di situasi ini, terperangkap perasaanku sendiri? Disudutkan dilema yang melibatkan kau dan dirinya? Sebelum aku berhasil menemukan jawabannya, aku kemudian tersadar....
Aku sudah tak setia.
Sejujurnya, aku nggak suka dengan
sesuatu yang terlalu romantis dan berbunga-bunga. Tapi entah mengapa aku punya sebagian
besar karya penulis Robin Wijaya yang terkenal dengan kepiawaiannya merangkai
cerita dengan kalimat-kalimat puitis. Aku menyukai novella-nya di GagasDuet,
Menunggu. Namun aku agak muak dengan Roma: Con Amore. Kali ini ada novel dewasa
pertamanya, Before Us, yang kudapat
lewat giveaway di @HeartRobin tahun lalu. Denger-denger ceritanya tentang
perselingkuhan. Hmm, tema sensitif ditambah kalimat yang dipastikan
mendayu-dayu, apa aku bisa menikmatinya? Let’s
review the book now :)
Before Us menceritakan pertemuan dua sahabat lama Agil dan Radith. Mereka
sudah dekat, saling berbagi cerita dan keluh kesah sejak SMA. Mereka terpisah
karena keputusan Radith untuk bekerja di Korea. Empat tahun kemudian mereka
bertemu lagi. Agil yang menjabat sebagai kepala training department tinggal
beberapa bulan lagi melangkah ke pelaminan bersama Ranti, wanita yang sudah
dipacarinya selama sembilan tahun. Sementara Radith sudah menjadi perancang
interior sukses. Kehadiran kembali Radith membuat Agil ragu akan keputusannya
untuk menikah. Karena sebenarnya mereka lebih dari sahabat, mereka saling
mencintai.
“Kadang kita harus memilih bukan karena kita menginginkan pilihan tersebut. Tapi hanya karena, dengan pilihan tersebut segalanya akan lebih baik.” – halaman 280
Before Us ini ternyata cukup bagus. Gaya bahasanya sesuai dengan
perkiraanku, mendayu-dayu, romantis dan penuh kata-kata yang berpotensi membuat
galau, tapi tidak terlalu berlebihan. Untuk ceritanya sendiri, koq agak datar, ya?
Konfliknya hanya berputar pada Agil yang tidak bisa tegas dalam memilih
sesuatu. Kekurangannya ini bahkan terlihat dari cara dia memilih baju untuk
acara pertunangan dan pernikahan, lamaaa dan plin-plan, ckckck. Dia
berkali-kali melakukan kesalahan dengan tidak memilih sama sekali lalu
bergalau-galau ria karenanya. Mungkin itu yang bikin ceritanya kurang naik
turun. Kalau saja tokoh lain, terutama Radith, diajak masuk dan diberi ruang
untuk membeberkan cerita dari sudut pandangnya, mungkin novel ini akan lebih
menarik. Radith bisa menjelaskan bagaimana kisah cinta terlarang mereka tumbuh,
bagaimana pergolakan batinnya dan harapannya pada Agil.
Selain datarnya cerita, ada hal-hal
lain yang mengurangi keasyikanku menikmati novel ini, seperti banyak pengulangan
informasi. Ada informasi yang diulang karena memang dibutuhkan. Tapi kan kalau
terlalu banyak jadinya berlibet juga. Lalu kurangnya pengenalan karakter. Selain
Agil, aku tidak terlalu dekat dengan tokoh lain. Ada jarak yang tak kasat mata
dan membuatku terasing dengan mereka. Walaupun ada beberapa typo, aku gak bakal komplen karena jumlahnya
tidak terlalu banyak dan kadang aku tidak menyadarinya sama sekali.
At last, untuk yang selalu menolak untuk memilih, Before Us bisa menjadi bahan pelajaran
untuk melihat bagaimana ‘tidak memilih’ tidak menyelesaikan masalah sama
sekali. Cocok sekali, penulis memilih cinta terlarang sebagai konflik dalam
proses pemilihan tersebut :)
Kurang suka sama novel ini. Ngga suka tema yang mengangkat cerita tentang gay ._.
ReplyDeleteMendadak aku kasian sama Ranti, TERNYATA.... Agil itu gay :O Oh My God! Sedih gue mah jadi dia sediiiiih.... Sakiiit! #hiperbola | Setuju dgn Adelia, novel ini jg gak masuk ke dalam Wish Buy-ku._.v Sorry to say
ReplyDelete