Thursday, July 17, 2014

The Elite

Kiera Cass
420 halaman
Bentang Pustaka, Mei 2013
Rp. 69.000,-

Ini tidak mudah. Tinggal enam yang bertahan sekarang. Tugas-tugas Seleksi semakin sulit dan menegangkan.

Pada saat seperti ini, bisa-bisanya perasaanku terhadap Maxon justru naik turun. Labil.
Kadang, aku merasa benar-benar menyukai Maxon, dan akan maju untuk itu. Namun, saat aku bertemu Aspen di sudut istana ini, aku juga nggak bisa menghindari perasaanku yang masih membuncah untuknya, cinta pertamaku.

Dilema itu makin memuncak saat sesuatu yang besar dan mengerikan terjadi. Ketika aku meragukan kebijaksanaan seorang pangeran Maxon.


“Sebuah hiburan yang lezat” -Publishers Weekly

Sama seperti buku sebelumnya, butuh waktu dan pemikiran yang panjang untuk membeli The Elite. Tahun lalu, aku mengikuti sebuah lomba resensi buku di situs belanja online yang mengunggulkan produk dari Korea. Dua kali aku dinyatakan sebagai pemenang dan berhak memilih dua judul buku. Salah satu buku yang aku ajukan adalah The Elite. Berminggu-minggu setelah mengirimkan email konfimasi, kedua buku itu tak kunjung datang. Padahal saat aku kepoin pemenang lain, mereka tidak terdengar kesulitan mendapatkan hadiahnya. Aku lalu menanyakan lewat email dan telepon berulang kali. Email tidak dibalas, telepon pun tidak jelas. Kecewa, sedih dan juga sedikit kesal, aku berhenti mencoba menghubungi dan merelakan saja. Tapi satu hal yang pasti, kepercayaanku terhadap situs belanja online itu hilang. Aku akhirnya membeli buku ini dengan uang sendiri, sebagai hadiah ulang tahunku. Enough with the dilemma, now let’s review the book :)

America Singer bertahan sebagai peserta Seleksi calon pendamping putra mahkota Illéa, Pangeran Maxon. Dari 35 peserta, kini tinggal dia, Marlee, Celeste, Kriss, Natalie dan Elise. Tapi tanpa sepengetahuan kelima gadis lain, Maxon sudah mengungkapkan rasa sukanya kepada America. Dia menyembunyikan hal itu dari khayalak ramai, termasuk orangtuanya, karena America belum merasa siap untuk menjadi seorang putri dan dia juga masih memikirkan patah hatinya. Maxon tidak mengetahui kalau mantan pacar America, Aspen, berada di dalam istana dan sesekali menjaga kamar America. Bimbang di antara kedua laki-laki yang bisa memahaminya dalam segi yang berbeda, America masih harus menjalani proses Seleksi yang rumit. Kegiatan yang menguras mental dan pikirannya itu sering kali terganggu dengan serangan pemberontak yang semakin lama semakin brutal.

Saat membaca bab-bab awal The Elite, jujur aku merasa bingung dan sedikit bosan. Bab-bab pembukanya memang menceritakan hal-hal dasar yang terjadi di buku pertamanya, tapi aku nggak bisa mengingat jelas apa yang sebenarnya terjadi sebelumnya. Mungkin kan akunya yang lupa? Dan rasa bosan itu muncul karena tidak ada kejadian yang menarik. Bukannya aku berharap ada serangan pemberontak terus-terusan ya. Hanya saja apa menariknya membaca interaksi America dan Maxon lalu America dan Aspen yang itu-itu saja? Contoh, pikiran America dipenuhi Maxon terus-terusan. Untuk sesaat dia yakin Maxon memang cocok dengan dirinya. Lalu saat Maxon melakukan atau mengatakan sesuatu yang mengecewakan atau simply tidak sejalan dengan pikiran America, dia akan kabur ke Aspen. Aspen menghiburnya, mengingatkannya dengan masa lalu yang penuh kenangan. America lalu meneguhkan hati kalau cuma Aspen yang mengenalnya luar dalam. Guess what? America luluh begitu Maxon datang, meminta maaf dan menyatakan kembali kesungguhan perasaannya. Begitu terus deh. Capeeeeeeee! Porsi masalah pemberontakan yang semakin menggila malah kurang. Masih misteri besar siapa dalang dan motifnya.

"Ternyata aku benar-benar buruk kalau soal berada jauh dari kamu. Ini adalah sebuah masalah yang sangat serius." – halaman 5

Setelah bagian awal yang mengecewakan, bagian tengah sampai akhir ternyata menarik. Sekaligus menyesakkan, hiks. Mungkin itu juga yang bikin aku lama banget nulis review ini. Karena pada dasarnya aku sama dengan America, ikut terombang-ambing dengan pilihan antara Maxon dan Aspen. Maxon itu menarik karena dia orang baru, membawa America mengenai hal-hal yang dulu jauh dari jangkauannya dan out of the box. Sedangkan Aspen itu nyaman karena terasa familiar, mengingatkan pada sederhana hidupnya sebelum masuk Seleksi. Semacam confort zone gitu. Setelah kebimbangan hati America dan sebuah kejadian besar (spoiler, bukan pemberontakan) hubungan America dan Maxon merenggang. Mereka berbaikan sih, tapi ada yang berubah. Maxon berubah huhuhuhu. Aku nggak bakal ngasih tau kenapa. Karena ini super spoiler. Yang pasti aku super duper patah hati. Aku nggak terima. Maxon, why oh why?

Aku berharap sikap Maxon yang nyebelin itu terbalaskan atau paling nggak worth a broken heart lah di buku ketiga nanti. Aku juga berharap terjemahan di buku ketiganya lebih baik. Sebenarnya hasil terjemahaan di buku sebelumnya dan ini sudah cukup baik. Hanya saja aku nggak suka menggunaan kata ‘kamu’ yang tidak cocok saat cerita sedang masuk suasana serius dan penggunaan kata gaul lainnya. Mungkin itu sebagai penyesuaian agar tidak terbaca terlalu kaku. Tapi mau gimana lagi, bahasa terjemahaan memang selalu begitu.

At last, The Elite ini menyenangkan sekaligus menyesakan. Sama seperti menonton reality show yang konfliknya yang nggak jelas hahahaha. Tapi aku suka banget cerita antara America, Maxon (ugh) dan Aspen ini. Semoga saja buku ketiganya, versi terjemahaan Bahasa Indonesia, segera keluar karena aku mau tahu siapa dibalik aksi pemberontakan dan tentunya pemenang Seleksi. Recommended! :D

No comments:

Post a Comment

Thanks for leave your comment :D