420 halaman
Bentang Pustaka, Mei 2013
Rp. 69.000,-
Ini tidak mudah. Tinggal enam yang bertahan sekarang. Tugas-tugas
Seleksi semakin sulit dan menegangkan.
Pada saat seperti ini, bisa-bisanya perasaanku terhadap Maxon justru naik turun. Labil.
Kadang, aku merasa benar-benar menyukai Maxon, dan akan maju untuk itu. Namun, saat aku bertemu Aspen di sudut istana ini, aku juga nggak bisa menghindari perasaanku yang masih membuncah untuknya, cinta pertamaku.
Dilema itu makin memuncak saat sesuatu yang besar dan mengerikan terjadi. Ketika aku meragukan kebijaksanaan seorang pangeran Maxon.
“Sebuah hiburan yang lezat” -Publishers Weekly
Pada saat seperti ini, bisa-bisanya perasaanku terhadap Maxon justru naik turun. Labil.
Kadang, aku merasa benar-benar menyukai Maxon, dan akan maju untuk itu. Namun, saat aku bertemu Aspen di sudut istana ini, aku juga nggak bisa menghindari perasaanku yang masih membuncah untuknya, cinta pertamaku.
Dilema itu makin memuncak saat sesuatu yang besar dan mengerikan terjadi. Ketika aku meragukan kebijaksanaan seorang pangeran Maxon.
“Sebuah hiburan yang lezat” -Publishers Weekly
Sama seperti buku sebelumnya,
butuh waktu dan pemikiran yang panjang untuk membeli The Elite. Tahun lalu, aku mengikuti sebuah lomba resensi buku di
situs belanja online yang
mengunggulkan produk dari Korea. Dua kali aku dinyatakan sebagai pemenang dan
berhak memilih dua judul buku. Salah satu buku yang aku ajukan adalah The Elite. Berminggu-minggu setelah
mengirimkan email konfimasi, kedua buku itu tak kunjung datang. Padahal saat
aku kepoin pemenang lain, mereka tidak terdengar kesulitan mendapatkan
hadiahnya. Aku lalu menanyakan lewat email dan telepon berulang kali. Email
tidak dibalas, telepon pun tidak jelas. Kecewa, sedih dan juga sedikit kesal,
aku berhenti mencoba menghubungi dan merelakan saja. Tapi satu hal yang pasti,
kepercayaanku terhadap situs belanja online
itu hilang. Aku akhirnya membeli buku ini dengan uang sendiri, sebagai hadiah ulang tahunku. Enough with the dilemma,
now let’s review the book :)
America Singer bertahan sebagai
peserta Seleksi calon pendamping putra mahkota Illéa, Pangeran Maxon. Dari 35
peserta, kini tinggal dia, Marlee, Celeste, Kriss, Natalie dan Elise. Tapi
tanpa sepengetahuan kelima gadis lain, Maxon sudah mengungkapkan rasa sukanya
kepada America. Dia menyembunyikan hal itu dari khayalak ramai, termasuk
orangtuanya, karena America belum merasa siap untuk menjadi seorang putri dan
dia juga masih memikirkan patah hatinya. Maxon tidak mengetahui kalau mantan
pacar America, Aspen, berada di dalam istana dan sesekali menjaga kamar
America. Bimbang di antara kedua laki-laki yang bisa memahaminya dalam segi
yang berbeda, America masih harus menjalani proses Seleksi yang rumit. Kegiatan
yang menguras mental dan pikirannya itu sering kali terganggu dengan serangan
pemberontak yang semakin lama semakin brutal.
Saat membaca bab-bab awal The Elite, jujur aku merasa bingung dan
sedikit bosan. Bab-bab pembukanya memang menceritakan hal-hal dasar yang
terjadi di buku pertamanya, tapi aku nggak bisa mengingat jelas apa yang
sebenarnya terjadi sebelumnya. Mungkin kan akunya yang lupa? Dan rasa
bosan itu muncul karena tidak ada kejadian yang menarik. Bukannya aku berharap
ada serangan pemberontak terus-terusan ya. Hanya saja apa menariknya membaca
interaksi America dan Maxon lalu America dan Aspen yang itu-itu saja? Contoh,
pikiran America dipenuhi Maxon terus-terusan. Untuk sesaat dia yakin Maxon
memang cocok dengan dirinya. Lalu saat Maxon melakukan atau mengatakan sesuatu
yang mengecewakan atau simply tidak sejalan dengan pikiran America, dia akan
kabur ke Aspen. Aspen menghiburnya, mengingatkannya dengan masa lalu yang penuh
kenangan. America lalu meneguhkan hati kalau cuma Aspen yang mengenalnya luar
dalam. Guess what? America luluh
begitu Maxon datang, meminta maaf dan menyatakan kembali kesungguhan perasaannya.
Begitu terus deh. Capeeeeeeee! Porsi masalah pemberontakan yang semakin
menggila malah kurang. Masih misteri besar siapa dalang dan motifnya.
"Ternyata
aku benar-benar buruk kalau soal berada jauh dari kamu. Ini adalah sebuah
masalah yang sangat serius." – halaman 5
Setelah bagian awal yang mengecewakan,
bagian tengah sampai akhir ternyata menarik. Sekaligus menyesakkan, hiks. Mungkin
itu juga yang bikin aku lama banget nulis review ini. Karena pada dasarnya aku sama
dengan America, ikut terombang-ambing dengan pilihan antara Maxon dan Aspen. Maxon
itu menarik karena dia orang baru, membawa America mengenai hal-hal yang dulu
jauh dari jangkauannya dan out of the box.
Sedangkan Aspen itu nyaman karena terasa familiar, mengingatkan pada sederhana
hidupnya sebelum masuk Seleksi. Semacam confort
zone gitu. Setelah kebimbangan hati America dan sebuah kejadian besar (spoiler, bukan pemberontakan)
hubungan America dan Maxon merenggang. Mereka berbaikan sih, tapi ada yang
berubah. Maxon berubah huhuhuhu. Aku nggak bakal ngasih tau kenapa. Karena ini super spoiler. Yang pasti aku super
duper patah hati. Aku nggak terima. Maxon, why
oh why?
Aku berharap sikap Maxon yang nyebelin
itu terbalaskan atau paling nggak worth a
broken heart lah di buku ketiga nanti. Aku juga berharap terjemahan di buku
ketiganya lebih baik. Sebenarnya hasil terjemahaan di buku sebelumnya dan ini
sudah cukup baik. Hanya saja aku nggak suka menggunaan kata ‘kamu’ yang tidak
cocok saat cerita sedang masuk suasana serius dan penggunaan kata gaul lainnya.
Mungkin itu sebagai penyesuaian agar tidak terbaca terlalu kaku. Tapi mau
gimana lagi, bahasa terjemahaan memang selalu begitu.
At last, The Elite ini
menyenangkan sekaligus menyesakan. Sama seperti menonton reality show yang konfliknya yang nggak jelas hahahaha. Tapi aku
suka banget cerita antara America, Maxon (ugh) dan Aspen ini. Semoga saja buku
ketiganya, versi terjemahaan Bahasa Indonesia, segera keluar karena aku mau
tahu siapa dibalik aksi pemberontakan dan tentunya pemenang Seleksi. Recommended! :D
No comments:
Post a Comment
Thanks for leave your comment :D