Showing posts with label John Green. Show all posts
Showing posts with label John Green. Show all posts

Wednesday, December 17, 2014

Paper Towns - Kota Kertas

John Green
360 Halaman
PT. Gramedia Pustaka Utama, September 2014
Rp. 64.000,-

Saat Margo Roth Spiegelman mengajak Quentin Jacobsen pergi tengah malam––berpakaian seperti ninja dan punya daftar panjang rencana pembalasan––cowok itu mengikutinya. Margo memang suka menyusun rencana rumit, dan sampai sekarang selalu beraksi sendirian. Sedangkan Q, Q senang akhirnya bisa berdekatan dengan gadis yang selama ini hanya bisa dicintainya dari jauh tersebut. Hingga pagi datang dan Margo menghilang lagi.

Gadis yang sejak dulu merupakan teka-teki itu sekarang jadi misteri. Namun, ada beberapa petunjuk. Semuanya untuk Q. Dan cowok itu pun sadar bahwa semakin ia dekat dengan Margo, semakin ia tidak mengenal gadis tersebut.

Cuma ada satu alasan kenapa aku tertarik dengan Paper Towns - Kota Kertas ini, ceritanya diangkat menjadi film layar lebar dan mulai ditayangkan Juni 2015. Tadinya aku mengira akan membaca novel ini tahun depan. Thank God, aku bisa dapetin beberapa minggu lebih cepat. Jadi aku punya waktu sekitar enam bulan untuk ‘melupakan’ isi ceritanya dan fokus ke filmnya nanti. Let’s review it now :D

"Yang indah dari semua ini adalah: dari sini kau tidak bisa melihat karat atau cat yang retak-retak atau apalah, tapi kau tahu tempat apa itu sebenarnya. Kau mengetahui betapa palsunya semua itu. Tempat itu bahkan tak cukup keras untuk tampak terbuat dari plastik. Itu kota kertas." – halaman 69

Quentin ‘Q’ Jacobsen menyukai tetangganya, Margo Roth Spiegelman. Mereka sangat dekat saat masih kecil. Tapi saat mulai bersekolah sampai akhirnya sebentar lagi lulus SMA, mereka seperti tinggal di ‘dunia’ yang berbeda. Margo menjadi salah satu siswa populer dan menjadi pusat perhatian, sedangkan Q hanya siswa biasa saja. Sampai suatu malam, dengan riasan hitam di wajahnya, Margo mengajaknya untuk menyelesaikan sebelas masalah. Mereka berkendara mengelilingi kota dan membalas dendam kepada orang-orang yang menyakiti mereka. Q berharap hubungannya dengan Margo akan berubah setelah perjalanan rahasia mereka itu.

Keesokan harinya, Margo menghilang tanpa kabar. Dia sudah sering melakukan aksi tersebut dan meninggalkan petunjuk yang tidak spesifik, jadi tidak ada yang benar-benar kaget. Orangtuanya tidak mengacuhkannya. Detektif pun menutup penyelidikannya karena secara aturan Margo sudah dewasa. Tapi Q tidak berpikir demikian. Dia menemukan petunjuk yang ditujukan khusus kepada dirinya. Dengan bantuan temannya, Ben, Radar dan Lacey, Q menelaah petunjuk tersebut, mengunjungi tempat-tempat sambil menghilangkan kemungkinan Margo sudah mati. Semakin dalam dia mempelajari petunjuk dan menggabungkannya dengan ingatan orang-orang tentang Margo, Q merasa dia mencari seseorang yang tidak dia kenal sama sekali.

Friday, December 5, 2014

An Abundance of Katherine - Tentang Katherine

John Green
320 Halaman
PT. Gramedia Pustaka Utama, September 2014 (cetakan kedua, ganti cover)
Rp 60.000,-

Katherine V menganggap cowok menjijikkan.
Katherine X hanya ingin berteman.
Katherine XVIII memutuskan Colin lewat email.

Kalau soal pacar, ternyata tipe yang disukai Colin Singleton adalah cewek-cewek bernama Katherine.Dan kalau soal Katherine, Colin selalu jadi yang tercampak.

Setelah diputuskan Katherine XIX, cowok genius yang hobi mengotak-atik anagram ini mengadakan perjalanan panjang bersama teman baiknya. Colin ingin membuktikan teori matematika karyanya, supaya dapat memprediksi hubungan asmara apa pun, menolong para Tercampak, dan akhirnya mendapatkan cinta sang gadis.

Dalam rangka menyambut (atau menunggu) film adaptasi Paper Town, aku berniat membaca semua karya John Green mulai Januari 2015. Tapinya, aku tidak bisa menunggu sampai tahun berganti. Aku keburu penasaran dengan novel-novel terjemahannya yang punya cover super menarik. Maka aku mulai saja ‘reading challenge’ ini. Pilihan pertamaku jatuh ke An Abundance of Katherine - Tentang Katherine. Kenapa? Sederhana saja. Novel itu satu-satunya novel Green yang available di Pitimoss, hahahaha. Let’s review it now :D

"Tanpa Katherine, tanpa Teori dan tanpa harapan untuk menjadi berarti, Colin hampir tidak punya apa-apa. Tapi ia selalu punya buku. buku adalah Tercampak sejati: letakan saja dan mereka akan menanti sampai kapan pun; pusatkan perhatian dan mereka akan selalu membalas cintamu." – halaman 158-159

Setelah lulus SMA, Colin Singleton dicampakkan untuk kesembilan belas kalinya oleh gadis yang bernama Katherine. Colin sangat sedih dan terpukul. Teman baiknya, Hassan Harbish, mengajaknya untuk melancong. Kemana saja. Hassan juga ingin melupakan masalah perkuliahannya sejenak. Maka dengan mobil Colin yang dinamai, Kereta Jenazah Setan, mereka pergi tanpa tujuan. Sepanjang perjalanan, Colin tidak bisa berhenti memikirkan Katherine XIX, atau delapan belas Katherine sebelumnya. Colin, yang dinilai sebagai anak ‘ajaib’ karena mampu menyerap pengetahuan semenjak kecil, lalu merancang sebuah teori. Teori ini dia rancang untuk mengetahui kapan dan siapa yang mencampakan dan dicampakan dalam sebuah hubungan percintaan.

Di pertengahan jalan, Colin dan Hassan melihat sebuah iklan tentang pemakaman Archduke Franz Ferdinand di Gunshot, Tennessee. Mereka memutuskan untuk mengunjunginya. Seorang gadis yang tak jauh dari umur mereka, Lindsey Lee Wells, memandu mereka. Mereka juga bertemu dengan pacar Lindsey, yang sama-sama bernama Colin dan ibu Lindsey, Hollis. Hollis, yang mengenali Colin sebagai anak ‘ajaib’, menawari mereka sebuah pekerjaan. Mereka hanya perlu mewawancarai penduduk Gunshot ditemani Lindsey.  Gaji yang diberikan sangat besar sehingga Colin dan Hassan sepakat untuk menerimanya.

Tuesday, September 3, 2013

The Fault In Our Stars - Salahkan Bintang-Bintang

John Green
424 Halaman
Penerbit Qanita, April 2013 (cetakan kedua)
Rp. 49.000,-

Mengidap kanker pada umur 16 tahun pastilah terasa sebagai nasib sial, seolah bintang-bintang serta takdirlah yang patut disalahkan. Itulah yang dialami oleh Hazel Grace. Sudah begitu, ibunya terus memaksanya bergabung dengan kelompok penyemangat penderita kanker. Padahal, Hazel malas sekali.

Tapi, kelompok itu toh tak buruk-buruk amat. Di sana ada pasien bernama Augustus Waters. Cowok cakep, pintar, yang naksir Hazel dan menawarinya pergi ke Amsterdam untuk bertemu penulis pujaannya. Bersama Augustus, Hazel mendapatkan pengalaman yang sangat menarik dan tak terlupakan.

Tetap saja, rasa nyeri selalu menuntut untuk dirasakan, seperti halnya kepedihan. Bisakah Augustus dan Hazel tetap optimistis menghadapi penyakit mereka, meskipun waktu yang mereka miliki semakin sedikit setiap harinya?

Novel ini membawa kita ke dunia para karakternya, yang sanggup menghadapi kesulitan dengan humor-humor dan kecerdasan. Di balik semua itu, terdapat renungan mengenai berharganya hidup dan bagaimana kita harus melewatinya.

Ada alasan kenapa aku mau beli The Fault in Our Stars – Salahkan Bintang-Bintang ini. Banyak sih sebenarnya. Salah satunya adalah ke-book hangover-an akan Divergent trilogy yang masih aku rasakan. Gimana bisa sembuh coba kalo mendadak ada adegan film tersebut yang muncul di timeline Twitter? Oleh karena itu aku mencoba melakukan sesuatu yang berbeda untuk menyembuhkan sakit ini. Daripada terus menghindar dan jadinya galau sendiri, aku lebih memilih terus-terusan liat hal-hal yang terkait dengan Divergent dengan harapan aku bakal kebal dengan sendirinya. Jadi sebenernya apa hubungan The Fault in Our Stars dengan Divergent? Well, Shailene Woodley yang mendapat peran sebagai Tris Prior ternyata mendapat peran utama juga untuk menjadi Hazel Grace. She’s going to be a big star! Alasan kedua adalah kultwit Clara Ng yang membahas tema novel young adult di Indonesia yang gitu-gitu aja. Dalam salah satu twitnya, Clara menyebutkan novel ini sebagai contoh novel YA yang berbeda dan berani. Alasan terakhir, aku penasaran dengan karya John Green. Novel ini dan novel-novel lain karya Green selalu berseliweran di Goodreads. Makin penasaran, kan? Sebeda dan seberani apa sih novel yang mengangkat kisah gadis penderita kanker ini? Let’s review it now :)

Sebelum ke review, bahas covernya dulu ya. The Fault in Our Stars diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi Salahkan Bintang-Bintang ini memiliki cover yang sangat berbeda dengan versi aslinya. Design cover yang dipilih Penerbit Qanita ini menampilkan seorang anak perempuan yang menegadah melihat bintang. Dia duduk disamping seekor kelinci (?) di hamparan rumput dan pepohonan di halaman sebuah rumah. Berbeda dengan design cover versi asli. Hanya warna biru yang menjadi kesamaan diantara kedua cover itu. Saat melihatnya, aku pikir ini adalah buku yang berisi kisah nyata seorang penderita kanker yang mengharukan, bukan sebuah buku fiksi. Tapi begitu aku tau ini adalah buku fiksi dan akan di angkat menjadi film, aku selalu memandang buku ini berbeda dan berharap bisa membelinya suatu hari. Keinginan itu terwujud saat aku berulang tahun bulan lalu. Yap, buku ini menjadi hadiah ulang tahun untukku daru diriku sendiri hehehe

The Fault in Our Stars – Salahkan Bintang-Bintang menceritakan Hazel Grace Lancaster, gadis enam belas tahun yang menderita kanker paru-paru. Dia bisa bertahan lebih lama karena obat yang dirancang untuk mengobati kanker bekerja dengan baik pada tubuhnya. Tapi Hazel tetap saja harus membawa tangki oksigen kemana-mana untuk membantunya bernafas dan juga mengeluarkan cairan di paru-parunya secara berkala. Hazel mengikuti sebuah kelompok penyemangat penderita kanker dengan dorongan dari ibunya. Hazel lalu bertemu dengan Augustus Waters yang pernah menderita kanker sampai sebelah kakinya harus diamputasi. Mereka mulai berteman, bertukar buku bacaan, bermain games, saling mengunjungi rumah masing-masing dan juga berusaha mewujudkan keinginan-keinginan sebelum kanker merenggut hidup mereka. Salah satunya adalah bertemu dengan penulis kesukaannya yang saat ini menetap di Amsterdam. Mereka berusaha untuk terbang ke kota itu walaupun sadar dengan ancaman kesehatan mereka yang bisa setiap saat menurun.

The Fault in Our Stars – Salahkan Bintang-Bintang menyajikan sebuah kisah Hazel Grace dan Augustus Waters yang mengharukan, memilukan tapi tetap manis dan romantis seperti remaja kebanyakan saat mengenal cinta untuk pertama kalinya. Hubungan pertemanan dan percintaan mereka mulai dan berjalan dengan cara yang terbilang unik dan aneh. Hal itu terlihat dari percakapan mereka. Entah akunya yang tidak tahu tentang topik itu atau entah karena bahasa terjemahannya yang kadang membingungkan, percakapan itu agak aneh dan membosankan hahahaha. Tapi kemudian itu menjadi ciri khas sendiri dalam hubungan Grace dan Augustus. Sulit membayangkan percakapan itu keluar dari sepasang remaja.

Dari percakapan dan juga buku dan film yang keduanya nikmati bersama, pandangan tentang hidup dari penderita kanker terlihat. Mereka tidak ingin dikasihani karena kondisinya dan ingin hidup, sehidup-hidupnya yang mereka mampu dengan kanker tersebut. Mereka tentunya ketakutan dengan sejarah kanker belum bisa disembuhkan. Itu berarti kesehatan mereka bisa memburuk dan mereka bisa meninggal kapan saja. Tapi bukankan kematian itu memang tidak bisa ditebak? Setiap orang, sesehat apapun akan meninggal tanpa ada peringatan sedikitpun. Tapi kanker yang mereka derita dan pandangan orang-orang seakan-akan selalu mengingatkan mereka akan kematian. Namun Grace dan Augustus bereaksi lain dengan keadaan itu. Kanker dianggap sebagai bagian dari tubuh mereka sendiri.  Mereka juga sebenarnya takut tapi mereka berusaha bersenang-senang sampai waktu itu tiba. Banyak hal lainnya yang berbeda mengenai apa yang penderita kanker rasakan dari cerita Hazel dan Augustus. Aku tahu ini hanya fiksi tapi ini bisa membantu para penderita kanker dan kita sendiri untuk tidak meremehkan mereka, penyakit dan perasaannya.

Selain tema kanker di usia remaja, aku tidak bisa berkomentar banyak, terutama gaya bahasa. Susah rasanya menilai gaya bahasa yang sudah diterjemahkan ke bahasa lain. Walaupun isi dan maksudnya sama, perbedaan pilihan kata, struktur dan juga penjelasan tambahan yang diselipkan mengaburkan gaya bahasa yang asli, IMO. Namun aku mengagumi proses penulisan yang dilakukan oleh John Green. Di bagian catatan dari penulis dan juga ucapan terima kasih ada beberapa penjelasan tentang novel ini. Penulis mengungkapkan bahwa novel ini fiktif secara keseluruhan. Dia bahkan mengarang sebuah obat agar Hazel bisa bertahan lebih lama sehingga lebih banyak cerita yang bisa di kembangkan. Hal itu membuat aku sadar bahwa penulis bisa menulis apa saja sampai mengarang obat fiktif sekalipun. Itu tidak berarti penulis pandai mengarang dan mengada-gada, tapi itu adalah proses yang cukup kreatif dan jangan lupa menaruh catatan penjelasan itu sebelum cerita fiktif itu dimulai. Lalu penulis mengungkapkan rasa terima kasihnya kepada sebuah yayasan yang mengizinkannya untuk menulis di Amsterdam. Hmm, Amsterdam adalah salah satu lokasi yang diceritakan dalam novel ini dan dia terbang kesana untuk merasakan dan menulis tentang kota itu. Ini berbeda sekali dengan pilihan penulis-penulis lokal. Mereka memilih untuk observasi lewat internet. Hasilnya tulisannya sih terasa seakan-akan mereka pernah kesana tapi ada juga yang sampai terkena kasus plagiat. Tapi ya penulis luar dan lokal jelas sangat berbeda, khususnya soal royalti. Rasanya rugi kalo jauh-jauh ke luar negeri untuk menulis tentang kota tertentu tapi tidak sebanding dengan penjualan dan royaltinya kelak.

Well, review yang cukup panjang ya. The Fault in Our Stars – Salahkan Bintang-Bintang benar-benar memberi kesan tersendiri tentang penderita kanker, apalagi saat salah satu dari mereka pergi. Lucunya banyak yang ngewanti-wanti aku di Goodreads soal bagian sedih itu. Sehingga aku kebal dengan sendirinya. Tapi ya aku nangis dikit sih hehehe. Baca deh, seriusan. Very recommended!