Showing posts with label Penerbit Qanita. Show all posts
Showing posts with label Penerbit Qanita. Show all posts

Tuesday, September 3, 2013

The Fault In Our Stars - Salahkan Bintang-Bintang

John Green
424 Halaman
Penerbit Qanita, April 2013 (cetakan kedua)
Rp. 49.000,-

Mengidap kanker pada umur 16 tahun pastilah terasa sebagai nasib sial, seolah bintang-bintang serta takdirlah yang patut disalahkan. Itulah yang dialami oleh Hazel Grace. Sudah begitu, ibunya terus memaksanya bergabung dengan kelompok penyemangat penderita kanker. Padahal, Hazel malas sekali.

Tapi, kelompok itu toh tak buruk-buruk amat. Di sana ada pasien bernama Augustus Waters. Cowok cakep, pintar, yang naksir Hazel dan menawarinya pergi ke Amsterdam untuk bertemu penulis pujaannya. Bersama Augustus, Hazel mendapatkan pengalaman yang sangat menarik dan tak terlupakan.

Tetap saja, rasa nyeri selalu menuntut untuk dirasakan, seperti halnya kepedihan. Bisakah Augustus dan Hazel tetap optimistis menghadapi penyakit mereka, meskipun waktu yang mereka miliki semakin sedikit setiap harinya?

Novel ini membawa kita ke dunia para karakternya, yang sanggup menghadapi kesulitan dengan humor-humor dan kecerdasan. Di balik semua itu, terdapat renungan mengenai berharganya hidup dan bagaimana kita harus melewatinya.

Ada alasan kenapa aku mau beli The Fault in Our Stars – Salahkan Bintang-Bintang ini. Banyak sih sebenarnya. Salah satunya adalah ke-book hangover-an akan Divergent trilogy yang masih aku rasakan. Gimana bisa sembuh coba kalo mendadak ada adegan film tersebut yang muncul di timeline Twitter? Oleh karena itu aku mencoba melakukan sesuatu yang berbeda untuk menyembuhkan sakit ini. Daripada terus menghindar dan jadinya galau sendiri, aku lebih memilih terus-terusan liat hal-hal yang terkait dengan Divergent dengan harapan aku bakal kebal dengan sendirinya. Jadi sebenernya apa hubungan The Fault in Our Stars dengan Divergent? Well, Shailene Woodley yang mendapat peran sebagai Tris Prior ternyata mendapat peran utama juga untuk menjadi Hazel Grace. She’s going to be a big star! Alasan kedua adalah kultwit Clara Ng yang membahas tema novel young adult di Indonesia yang gitu-gitu aja. Dalam salah satu twitnya, Clara menyebutkan novel ini sebagai contoh novel YA yang berbeda dan berani. Alasan terakhir, aku penasaran dengan karya John Green. Novel ini dan novel-novel lain karya Green selalu berseliweran di Goodreads. Makin penasaran, kan? Sebeda dan seberani apa sih novel yang mengangkat kisah gadis penderita kanker ini? Let’s review it now :)

Sebelum ke review, bahas covernya dulu ya. The Fault in Our Stars diterjemahkan dalam bahasa Indonesia menjadi Salahkan Bintang-Bintang ini memiliki cover yang sangat berbeda dengan versi aslinya. Design cover yang dipilih Penerbit Qanita ini menampilkan seorang anak perempuan yang menegadah melihat bintang. Dia duduk disamping seekor kelinci (?) di hamparan rumput dan pepohonan di halaman sebuah rumah. Berbeda dengan design cover versi asli. Hanya warna biru yang menjadi kesamaan diantara kedua cover itu. Saat melihatnya, aku pikir ini adalah buku yang berisi kisah nyata seorang penderita kanker yang mengharukan, bukan sebuah buku fiksi. Tapi begitu aku tau ini adalah buku fiksi dan akan di angkat menjadi film, aku selalu memandang buku ini berbeda dan berharap bisa membelinya suatu hari. Keinginan itu terwujud saat aku berulang tahun bulan lalu. Yap, buku ini menjadi hadiah ulang tahun untukku daru diriku sendiri hehehe

The Fault in Our Stars – Salahkan Bintang-Bintang menceritakan Hazel Grace Lancaster, gadis enam belas tahun yang menderita kanker paru-paru. Dia bisa bertahan lebih lama karena obat yang dirancang untuk mengobati kanker bekerja dengan baik pada tubuhnya. Tapi Hazel tetap saja harus membawa tangki oksigen kemana-mana untuk membantunya bernafas dan juga mengeluarkan cairan di paru-parunya secara berkala. Hazel mengikuti sebuah kelompok penyemangat penderita kanker dengan dorongan dari ibunya. Hazel lalu bertemu dengan Augustus Waters yang pernah menderita kanker sampai sebelah kakinya harus diamputasi. Mereka mulai berteman, bertukar buku bacaan, bermain games, saling mengunjungi rumah masing-masing dan juga berusaha mewujudkan keinginan-keinginan sebelum kanker merenggut hidup mereka. Salah satunya adalah bertemu dengan penulis kesukaannya yang saat ini menetap di Amsterdam. Mereka berusaha untuk terbang ke kota itu walaupun sadar dengan ancaman kesehatan mereka yang bisa setiap saat menurun.

The Fault in Our Stars – Salahkan Bintang-Bintang menyajikan sebuah kisah Hazel Grace dan Augustus Waters yang mengharukan, memilukan tapi tetap manis dan romantis seperti remaja kebanyakan saat mengenal cinta untuk pertama kalinya. Hubungan pertemanan dan percintaan mereka mulai dan berjalan dengan cara yang terbilang unik dan aneh. Hal itu terlihat dari percakapan mereka. Entah akunya yang tidak tahu tentang topik itu atau entah karena bahasa terjemahannya yang kadang membingungkan, percakapan itu agak aneh dan membosankan hahahaha. Tapi kemudian itu menjadi ciri khas sendiri dalam hubungan Grace dan Augustus. Sulit membayangkan percakapan itu keluar dari sepasang remaja.

Dari percakapan dan juga buku dan film yang keduanya nikmati bersama, pandangan tentang hidup dari penderita kanker terlihat. Mereka tidak ingin dikasihani karena kondisinya dan ingin hidup, sehidup-hidupnya yang mereka mampu dengan kanker tersebut. Mereka tentunya ketakutan dengan sejarah kanker belum bisa disembuhkan. Itu berarti kesehatan mereka bisa memburuk dan mereka bisa meninggal kapan saja. Tapi bukankan kematian itu memang tidak bisa ditebak? Setiap orang, sesehat apapun akan meninggal tanpa ada peringatan sedikitpun. Tapi kanker yang mereka derita dan pandangan orang-orang seakan-akan selalu mengingatkan mereka akan kematian. Namun Grace dan Augustus bereaksi lain dengan keadaan itu. Kanker dianggap sebagai bagian dari tubuh mereka sendiri.  Mereka juga sebenarnya takut tapi mereka berusaha bersenang-senang sampai waktu itu tiba. Banyak hal lainnya yang berbeda mengenai apa yang penderita kanker rasakan dari cerita Hazel dan Augustus. Aku tahu ini hanya fiksi tapi ini bisa membantu para penderita kanker dan kita sendiri untuk tidak meremehkan mereka, penyakit dan perasaannya.

Selain tema kanker di usia remaja, aku tidak bisa berkomentar banyak, terutama gaya bahasa. Susah rasanya menilai gaya bahasa yang sudah diterjemahkan ke bahasa lain. Walaupun isi dan maksudnya sama, perbedaan pilihan kata, struktur dan juga penjelasan tambahan yang diselipkan mengaburkan gaya bahasa yang asli, IMO. Namun aku mengagumi proses penulisan yang dilakukan oleh John Green. Di bagian catatan dari penulis dan juga ucapan terima kasih ada beberapa penjelasan tentang novel ini. Penulis mengungkapkan bahwa novel ini fiktif secara keseluruhan. Dia bahkan mengarang sebuah obat agar Hazel bisa bertahan lebih lama sehingga lebih banyak cerita yang bisa di kembangkan. Hal itu membuat aku sadar bahwa penulis bisa menulis apa saja sampai mengarang obat fiktif sekalipun. Itu tidak berarti penulis pandai mengarang dan mengada-gada, tapi itu adalah proses yang cukup kreatif dan jangan lupa menaruh catatan penjelasan itu sebelum cerita fiktif itu dimulai. Lalu penulis mengungkapkan rasa terima kasihnya kepada sebuah yayasan yang mengizinkannya untuk menulis di Amsterdam. Hmm, Amsterdam adalah salah satu lokasi yang diceritakan dalam novel ini dan dia terbang kesana untuk merasakan dan menulis tentang kota itu. Ini berbeda sekali dengan pilihan penulis-penulis lokal. Mereka memilih untuk observasi lewat internet. Hasilnya tulisannya sih terasa seakan-akan mereka pernah kesana tapi ada juga yang sampai terkena kasus plagiat. Tapi ya penulis luar dan lokal jelas sangat berbeda, khususnya soal royalti. Rasanya rugi kalo jauh-jauh ke luar negeri untuk menulis tentang kota tertentu tapi tidak sebanding dengan penjualan dan royaltinya kelak.

Well, review yang cukup panjang ya. The Fault in Our Stars – Salahkan Bintang-Bintang benar-benar memberi kesan tersendiri tentang penderita kanker, apalagi saat salah satu dari mereka pergi. Lucunya banyak yang ngewanti-wanti aku di Goodreads soal bagian sedih itu. Sehingga aku kebal dengan sendirinya. Tapi ya aku nangis dikit sih hehehe. Baca deh, seriusan. Very recommended!

Monday, February 18, 2013

Coffee Prince

Sunmi Lee
440 Halaman
Qanita/Mizan Publishing House, November 2012 (cetakan kesatu)
Rp. 55.000,-
 Eun Chan
Beginilah kalau berpenampilan mirip cowok. Tapi ada untungnya juga, sih. Aku jadi bisa bekerja sebagai guru taekwondo dan pelayan di Coffee Prince, kafe yang hanya menerima cowok-cowok cakep sebagai karyawan. Meskipun aku harus menyamar jadi cowok ....
Eh, tapi kenapa pria pemilik kafe itu jadi suka sekali memandangiku? Bukannya di matanya aku ini cowok, ya? Jangan-jangan dia ....
Han Gyeol
Kenapa aku jadi merasa akrab dengan karyawan baru itu? Dia kan laki-laki! Sama sepertiku! Lebih baik aku mencari cara menghindari perjodohan yang diatur orangtuaku. Aku tidak mau cepat-cepat menikah—mengurus kafe ini jauh lebih penting. Apalagi di sana ada ....
Ya ampun, kenapa aku jadi teringat Eun Chan terus, sih? Tapi aku merasa ada yang aneh dengan orang itu. Kalau dia memang laki-laki, kenapa garis wajahnya lembut sekali? Dan kenapa gerak-geriknya sangat feminin? Jangan-jangan dia ....
Coffee Prince telah difilmkan dengan bintang utama Yoon Eun-hye pada 2007. Drama serinya mendapat berbagai macam penghargaan, di antaranya Best TV Drama dalam 20thKorean Producers' Award, serta 44th Baeksang Arts Awards untuk kategori Best Actress dan Best New Producer.
Jangan heran jika kamu menemukan banyak novel asal Korea atau yang bertema Korea di toko buku langganan kamu. Karena, ya, demam Korea tidak lagi diam di batas drama romantis, lagu-lagu catchy ataupun gerakan dance yang energik, demam Korea juga mulai melanda daerah sastra. Banyak novel Korea yang sudah wara-wiri tapi tak satupun yang membuat aku mau mengeluarkan dompet. Mungkin karena aku nggak mau terlihat bahwa aku ‘tertular’ demam ini, mungkin masih banyak novel yang lebih menarik, atau mungkin harganya emang mahal hahahaha. Semua kemungkinan itu berakhir saat aku melihat novel Coffee Prince ini. Ya, ini Coffee Prince yang sama dengan drama Coffee Prince yang pernah tayang di salah satu stasiun televisi Indonesia pada tahun 2008 atau 2009, which I love it so much! I even re-watch it on YouTube J Kalo kamu bertanya, ‘Lalu kenapa mau beli, kan udah nonton dramanya dan jalan ceritanya udah ketauan, apa ramenya?’ Ramenya? Novel dan drama jelas-jelas dua hal yang berbeda. Pasti ada beberapa atau banyak hal yang berbeda, bagus atau jelek. Nah karena itulah aku bela-belain beli novel ini J
Setelah mengalami “asyik-akhirnya-aku-beli-novel-Korea-for-the-first-time” moment, aku mulai bisa melihat dan menyadari satu hal yang aku lupakan saat membeli novel ini. Bukan berarti aku nyesel ya, tapi ngerasa aneh aja begitu sadar bahwa novel ini mempunyai cover yang . . tidak menjual? Cover novel yang berwarna orange cerah ini memperlihatkan sepasang (mungkin) kekasih sedang meminum kopi hangat di sebuah kafe yang mempunyai jendela berbentuk hati (which is lame). Keterangan bahwa Coffee Prince ini ada Coffee Prince yang sudah diangkat menjadi sebuah drama ada di cover bagian belakang. Keterangan yang cukup bagus tapi bukankan calon pembaca akan lebih ngeh kalo novel ini menjadikan poster drama tersebut menjadi cover? Itulah yang buku-buku yang sudah diadaptasi ke film lakukan, menjadikan poster sebagai covernya. Tapi kenapa novel ini tidak melakukan hal yang sama? It’s  a big and mysterious questions on my mind :O
Kemudian aku kubur pertanyaan itu dalam-dalam karena aku mau terjun ke cerita yang ada dibalik cover tersebut. Seperti dugaanku, ceritanya masih sama dan tidak ada perbedaan yang begitu drastis. Hanya saja, karena aku sudah menonton versi dramanya, satu tidak bisa tidak membandingkan keduanya. Both the novel and the drama were good. Tapi dalam versi drama mereka menambahkan beberapa konflik yang tak hanya datang dari sisi Eun Chan dan Han Gyeol, tapi secara tidak langsung mempengaruhi kisah cinta mereka J
The story was fine, but the way it delivered in Indonesia is not that fine. Paling tidak ada tiga hal ‘kecil’ yang mengganggu aku saat menikmati Caffe Latte suguhan Eun Chan. Pertama adalah judul dari setiap bab. Novel ini terbagi menjadi 22 bab (termasuk prolog dan epilog) dan mempunyai judul yang  . . cukup panjang? Oke, sangat panjang. Contohnya saja, ‘Espresso – Kopi yang Dapat Memberikan Kekuatan untuk Sajangnim’ atau ‘Cinta Adalah Rahasia yang Tidak Dapat Disembunyikan’. Judul-judul itu sebenarnya tidak mengganggu kalau setiap bab tidak diakhiri dengan peristiwa atau sebuah pernyataan yang dipaksakan untuk nyambung dengan judul tersebut. Kinda tired of it. Kayaknya lebih baik kalo bab-bab itu dihilangkan saja L
Kedua adalah catatan kaki yang menjelaskan istilah tentang hal-hal ciri khas Korea. Contohnya adalah . .
*Kimchi: Makanan dari sayuran fermentasi dengan berbagai macam bumbu (Sumber:Wikipedia)
*Seonji: Darah lembu beku (Sumber:Wikipedia)
*Kang Ho Dong adalah pembawa acara dan komedian terkenal yang dulunya seorang pegulat (Sumber Wikipedia)
Istilah yang dijelaskan tersebut mengambil semua sumbernya dari Wikipedia. Wikipedia emang nggak dilarang sih karena tidak dipungkiri informasi yang ada disana sangat berguna. Tapi aku lebih suka kalau si penerjemah mencari informasinya dari sumber lain yang lebih kuat dan tidak punya potensi untuk berubah sewaktu-waktu.
Ketiga adalah panggilan khusus yang ada di tata krama Korea. Semuanya juga dijelaskan dalam footnote tapi tidak dicantumkan sumbernya. Wikipedia, perhaps? :p
*Ajussi: Paman, panggilan untuk pria yang jauh lebih tua
*Oppa: Panggilan untuk kakak laki-laki (diucapkan oleh perempuan)
*Eonni: Panggilan untuk kakak perempuan (diucapkan oleh perempuan)
Hal yang menganggu aku adalah kenapa penerjemah tetap menggunakan istilah itu? kenapa tidak pake ‘kakak perempuan’, ‘tuan’, ‘paman’ atau istilah lain dalam bahasa Indonesia? Apa karena ingin menunjukkan keKoreaan dalam novel ini? Tapi kemudian aku sadar bahwa dua panggilan terakhir dalam tiga contoh diatas ada gunanya dan itu sangat mempengaruhi cerita. Karena panggilan tersebut bisa menyembunyikan dan juga membuka identitas asli Eun Chan. Jadi hal ini aku maklumi lah J
At Last, walaupun ada beberapa hal yang tidak sesuai dengan aku sebagai pembaca, Coffee Prince dalam bentuk novel atau pun dramanya sama-sama mempunyai efek yang sama. Hangat, romantis, dan membuka mata, sama halnya dengan segelas kopi. Tak heran ceritanya begitu laris manis dan banyak disukai. Recommended J